Friday, December 21, 2007

Syurga itu ada didirimu, Ibu


“Siang berganti malam, hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Banyak hal yang terjadi, banyak hal berubah kearah yang yg lebih baik adalah manfaat untuk umat. Tapi satu hal yang tidak akan pernah berubah, bahwa saya dilahirkan oleh seorang ibu. Terima kasih ibu, telah menjadikan kami orang yang bermanfaat, itulah nanti yang akan menentramkan dunia akhiratmu kelak, amin. Terima kasih ibu…”(22 Desember 2006)

Pesan singkat diatas adalah pesan singkat setahun yang lalu. Sebuah pesan singkat dari saya -setelah saya menikah- yang kerap menghampiri telepon genggam milik ibu. Sebuah pesan yang terburai dengan menguntai kalimat yang sebenarnya tidak pernah saya rekayasa sebelum hari-hari menjelang hari ibu. Untaian kalimat itu biasanya spontan keluar ketika saya mengingatnya. Ya, hanya dengan mengingat ibu. Dan pesan-pesan singkat itu selalu berubah setiap tahunnya.

Setelah saya menikah, untuk setiap sms yang saya kirim, selalu beliau balas dengan sesegukan diseberang telepon. Tangisnya pun pecah, dan selalu mengatakan, ‘Kamu tidak pernah berubah, sejak kecil hingga dewasa seperti sekarang, selalu menyejukkan ibu’, kemudian telpon akan ditutup pelan. Tinggal saya yang kembali berurai mata. Saya takut membuat ia sedih. Takut akan kerinduannya tidak akan tertahan. Ah ibu!

Keping-keping kenangan bersamanya masih saya miliki. Sejak saya tahu dan merasakan, bahwa inilah orang yang melahirkan dan membesarkan saya. Seseorang yang merelakan kulit mulusnya lecet karena terjatuh dari motor akibat terlalu bersemangat mengantarkan saya, pada hari pertama masuk ke Taman Kanak-Kanak. Seseorang yang menyisakan tenaganya setelah seharian berkutat dengan berbagai perangai pasien-pasiennya demi memegang tangan saya untuk berlatih menulis indah. Hingga masih bersusah payah menemani saya ketika pernah ‘anjlok’ pada masa krisis tidak bisa menerima akan ‘kuat’ kasih sayang-NYA. Keping-keping itu masih tersusun rapi pada album memori di otak saya. Keping-keping yang akan menghantarkan saya bahwa sepatutnya bersyukur bahwa masih diberi keindahan untuk bisa bergelayut manja dan menatap wajahnya. Subhanallah.

Mengapa setelah menikah saya menjadi sentimentil dalam memperlakukan ibu?

Terkadang, kita kebanyakan lengah ketika masa muda tengah bergelora. Perpindahan atau masa transisi dari seorang anak yang ingin di’aku’i bisa menimbulkan gejolak pada segumpal egoisme. Segumpal rasa yang terkadang banyak menorehkan luka pada batin seseorang. Seseorang yang mempunyai jalan panjang tanpa putus untuk selalu bisa mendekap kita dalam cinta.

Banyak hal telah saya pelajari ketika saya mulai mengenal dunia luar, selain dunia indah suguhan ibu. Warna-warninya bisa membentuk pola pikir saya yang terkadang dirasa tajam oleh beliau. Kemerincing iramanya bahkan mampu membuat gerakan saya tidaklah seperti ibu inginkan. Saya sadar itu. Bahkan sangat sadar! Tapi untuk mengelak dan membuang mimpi ibu, bukan jalan satu-satunya untuk membuktikan bahwa saya pun punya mimpi lain. Saya berusaha tidak pernah melalaikan keinginan ibu. Arahannya pun selalu saya ikuti, walau saya mesti mengubur gelisah diri untuk sementara waktu. Karena saya pun masih sadar, saya bukan apa-apa jika ibu tidak merestui.

Memang langkah saya tidak searah dengan ibu, tapi saya yakin dan pasti, inilah hasil pembelajaran saya terhadap bagaimana ibu bersikap dan mencurahkan pengabdiannya pada keluarga. Saya yakin inilah pantulan ibu sebenarnya. Terlalu indah hingga kami tidak bisa melukiskannya pada segaris senyum.

Jika kemudian langkah saya semakin jauh seperti apa yang ibu citakan. Jika kemudian saya mempersembahkan hasil dambaannya, lalu pergi untuk membuka liang kubur gelisah, bukan berarti ibu tidak bisa melihat hasil didikannya terhadap saya. Walaupun saya bukan menjadi wanita karir seperti dia, tapi gamblang saya katakan,
“Bu, saya punya impian yang tidak mudah untuk dinalar. Impian masa lalu yang kemudian saya korek lagi bukan karena saya tidak bisa membangun mimpi ibu. Tapi karena saya ingin kita bermimpi pada satu titik yang kelak kita sama-sama tuju. Satu titik yang akan membawa ibu dan saya pada keabadian. Disitulah saya sedang membangun mimpi untuk ibu.”

Sangat jelas, saya melihat binar bahagia di mata miliknya. Walaupun senyumnya tidaklah selebar seperti yang saya harapkan, karena harus menahan tangis. Tapi saya bisa menangkap aliran deras darahnya dengan cepat, tanda bahagianya yang tersembunyi.

Membahagiakan ibu, bukanlah terletak pada mampu atau tidaknya kita mewujudkan segala mimpinya. Bukanlah bisa atau tidaknya memberi berlembar-lembar mata uang untuk kebutuhannya. Namun lebih pada sanggup atau tidak kita menentramkan hati dan jiwanya. Mau mengerti setiap sudut pemikirannya. Dan bisa membuktikan bahwa kita adalah buah kasih dan cintanya yang rela menjadi penyejuk mata batinnya.

“Bunda, terbayang raut wajahmu, lelah menggelayut disana. Sekian puluh umurku, masih saja membasahi wajahmu dengan air mata. Sekian puluh umurku, masih saja memberikan penat pada tubuh rentamu. Seluas samudera tidak akan mampu mengganti kasihmu. Bulir kasih penuh cinta, penuh sayang, tidak akan pernah menyamai agungnya milikmu. Aku memang anak yang tidak bisa dibanggakan. Tapi, ketahuilah bunda, aku akan memelukmu erat dan menarikmu kencang, berlari ke arah syurga” (21 Desember 2007)

teruntuk bunda tersayang...so happy to have you in this world

Thursday, December 13, 2007

Until now, I'm so in love

First time I saw my son
I knew I was in love

Pernah dengar lirik itu? Iya, itu sedikit lirik jingle dari satu iklan, yang hanya sekilas saya denger. Saya suka dengan lirik itu. Mengingatkan masa-masa bayi dari kedua anak saya.

Mereka sekarang sudah bukan bayi lagi, beranjak menjadi seorang lelaki muda dan bisa jadi assisten saya. Eits, bukan saya memanfaatkan, tapi naluri seorang anak ketika saya sedang sibuk, lalu ada dering telepon yang berbunyi, mereka dengan senang hati mengangkat dengan mengucap salam terlebih dahulu. Atau, ketika saya sedang kelelahan dan ketiduran, tiba-tiba saya pun merasa heran, “kenapa begitu hening?”, ternyata si bungsu sedang asik menyapu dan mengepel bekas tumpahan bedak, sedang si sulung dengan gesitnya menumpuk-numpuk barang yang berserakan. Subhanallah.

Mendidik anak butuh energi berlebih. Saya dulu sempat berdalih, “Berikan setumpuk pekerjaan dan saya sanggup mengerjakannya! Kalau masalah anak? Bisa nggak ya?” Ternyata memang keahlian ini lebih kepada naluri. Sekarang, Jihad sudah menginjak usia 7 th lebih 4 bulan. Tubuhnya bongsor, dengan kulit sawo kematangan (mirip akung ya?). Tipe dia adalah penurut sebenarnya, namun ada beberapa hal yang sekarang ini menganggu. Dia terlampau cuek. Pernah suatu ketika, saya jemput sekolah, teman perempuannya menghampiri saya, dan berkata,

“Tante, tadi Jihad dicium sama ceweq, namanya Risma!”

Saya melirik Jihad. Wajahnya biasa, tidak ada rona merah, yang ada dia tetap santai menjawab,
“A’a udah laporin ke ustadzah. A’a juga udah bilang sama Risma, A’a nggak suka digituin!”

Atau laporan lain dari ustadzahnya, bahwa anak saya satu ini, selalu menarik perhatian para kakak kelasnya yang berjenis kelamin perempuan, datang menengok ke kelas, dan berteriak,
“Jihad ada yang titip salam yaaaa.”
Ustadzahnya pun sewot, dan langsung menegaskan,

“Tidak ada menerima ataupun memberi salam, ingat itu ya. Tidak boleh ya anak-anak. Bukan muhrim!”

Dan Jihad tetap cuek, tanpa merasa bersalah tetap tidak peduli dengan salam itu. Ketika saya tanya,
“A’a dapet salam ya?”
“Salam apa? Nggak tahu tuh.”

Atau yang paling membuat saya heran, Jihad selalu mendapat hadiah dari temannya, baik penghapus, rautan pensil atau penggaris.
“A’a nggak pernah minta Mi. teman-teman yang ngasi dengan sukarela.”
Ummm…. Baiklah, Nak!

Kalau si bungsu, Kareem, kulitnya masih putih, giginya mirip gigi kelinci. Sekarang sedang gemar-gemarnya menunjukkan ke’pede’annya. Setiap tayangan yang dia tonton, selalu diiringi dengan pertanyaan,
“Ini boleh Mi? nggak malu?”
Jika saya membolehkan, dia akan nurut. Jika saya bilang ‘itu malu!”, dia pun akan merubah channel tanpa terpaksa. Apa yang dimiliki oleh kakaknya, pastilah ingin dia miliki juga. Dan pembela nomor wahid! Ketika A’anya saya nasehatin ketika ada kesalahan yang dia perbuat, Kareem selalu membela,
“Ummi nggak boleh marah atuh! Ummi nakal!”
"Aih... nyundanya lumayan gape, ngangge atuh sagala euy..."
"Ihh...Ummi nakal!"
Ummm… Baiklah, Nak!

Mendidik anak adalah keahlian yang dimiliki oleh setiap wanita. Setiap wanita pun meyakini bahwa anak adalah ibarat sebuah gelas kosong, yang gampang diisi oleh apa saja. Dan saya, seorang wanita yang sedang belajar mengisi gelas kosong ini. Mereka saya isi dengan penuh kalimat Allah. Isian yang kelak dapat memantulkan rasa malu pada saya pribadi apabila saya lalai atau malah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Saya membiasakan mereka untuk meminta maaf, saya pun harus mudah meminta maaf kepada mereka. Saya mengajari mereka untuk mengungkapkan kasih sayang, dan saya pun tidak pernah enggan dan malu memberi ungkapan sayang saya pada mereka. Saya ingin mereka memakaikan mahkota kepada saya kelak dengan pelan-pelan menjaga hapalan mereka, saya pun ingin memberi mahkota kepada ibu saya dengan istiqomah menjaga hapalan saya.

Mereka adalah jundi saya. Segala hidup mereka, telah tergaris dalam janji saya, kelak hanya dipersembahkan pada Sang Pemilik Kehidupan. Karena mereka adalah kesayangan sekaligus ujian buat saya, untuk itu mereka tidak akan pernah dijadikan excuse, ketika kemalasan untuk ‘berjuang’ tiba-tiba mendera saya.

Was, until now
I'm so in love
Semoga mereka tetap mengingatkan saya akan Sang Pemilik yang memang memiliki mereka.

Sunday, December 02, 2007

Karena Kau Perempuan

Dalam satu minggu ini, saya sudah dengan lahapnya ‘memakan’ 3 buku non fiksi. Lapar sekali? Bukan lapar, tapi memang saya manusia pencinta dunia ini. Maka dengan ringannya, buku-buku itu sudah berpindah makna dan hikmah kedalam otak saya.

Dan kemaren malam, saya baru akan memulai satu buku non fiksi lagi, persembahan FLP Yogyakarta, oleh-oleh dari Ika (jazakillah ya Ka! Ternyata oleh-oleh juga harus dibeli ya hehehe). Seperti kebiasaan aneh yang telah saya jalani sejak kecil, saya pasti akan memulai membaca dari belakang buku ke arah depan. Jujur, dari situlah titik poin keputusan, dimana saya akan melanjutkan untuk terus atau meletakkannya lagi.

Sampai pada judul artikel Baru Mandi yang ditulis Ika, saya seperti disentak. Seperti disengat. Lalu otak saya disesaki oleh bintang-bintang yang bertuliskan, ‘Kamu telah lalai! Kamu tidak menyayangi saudaramu sesama muslimah!’ Duh, harus bagaimana ini?

Apa sebab?

Beberapa waktu lalu, ketika sedang bertandang pada salah satu blog milik sahabat saya. Ia seorang muslimah, seorang ibu, dan telah menjalankan kewajibannya sebagai seorang perempuan, yaitu mengenakan hijab atau kerudung (so proud of you). Pada salah satu postingannya kala itu, ia mengingat kembali masa pertemuannya dengan sang suami, ayah dari anak-anaknya, yang ceritanya cukup unik. Hingga album mereka berdua dipajang jelas. Dan… sahabat saya memperlihatkan dirinya pada foto itu, dalam keadaan belum mengenakan kerudung. Waktu itu, saya pun berpikiran dan berinisiatif untuk menegurnya. Tapi apalah daya (kelemahan seorang manusia) suara putih dan hitam terus mempengaruhi,

“Beuu… sok baek luh! Biarin aja, toh nggak ngerugikan kamu!”
“Tegur Ukh! Bukankah sesama muslim harus menegur jika salah satu dari mereka berlaku tidak ihsan (ihsan=baik)”
“Udah lah! Entar kamu malah dianggap ikut campur lagi! Malah kehilangan teman kan?”
“Kehilangan teman itu hanya sementara ukhti. Lebih baik takut pada siksa di hari akhir karena kita telah lalai”

Dan…saya pun belum menegurnya! Sungguh saya menyesal! Perlakuan saya padanya jelas telah merugikan dia. Tidak seperti ketika saya menemukan beberapa foto adik saya di dalam telpon genggamnya kemudian menegurnya dengan judes. Kenapa demikian? Dia telah berhijab, dan fotonya bisa saja dilihat oleh teman-temannya yang iseng ingin tahu bagaimana jika dia dalam keadaan tidak berkerudung. Adik saya pun waktu itu sedikit takut dan sedih. Tapi setelah saya jelaskan dia mau mengerti. Saya menyayanginya, untuk itulah saya mengingatkannya.

Ketika seorang perempuan telah mengerti dan mengenakan hijab sebagai wujud kepatuhannya pada Sang Pemilik, hal-hal lain pastilah akan mengikuti dengan sendirinya. Mempelajari bagian-bagian dari ilmu berlaku sebagai muslimah yang baik, serta menjalankannya secara maksimal membutuhkan dukungan serta sarana memadai. Salah satu hal sepele, namun terkadang bisa menelantarkan kita pada lantai dosa, kembali mempertontonkan aurat kita pada masa dulu tanpa merasa salah sedikit pun. Malah sama halnya, kembali membuka hijab di khalayak ramai, padahal jelas kita tahu batasan aurat seorang muslimah. Dalam kasus ini adalah masih memajang foto di jaman jahiliyah dengan tanpa perasaan malu dan dosa. Bukankah kita telah berhijab? Membiarkan orang lain yang bukan muhrim, membayangkan bagaimana bentuk rambut kita pun tidak diperbolehkan sama sekali, apalagi kemudian jelas-jelas kita masih mengedarkan helai demi helai bentuk dan rupa bagaimana kita pada masa dulu.

Ah itu kan dulu? Sekarang kan sudah memakai jilbab?

Saya yakin kalimat di atas akan ada jika saya paparkan masalah ini. Sebenarnya bukan dulu atau sekarang. Bukan itu "foto dulu dan aslinya tidak demikian lagi". Namun, aduhai perempuan, cukuplah dunia kelam kita yang masih tanpa malu memamerkan lekuk setiap tubuh, tertinggal semakin jauh. Cukuplah hanya suami dan orang-orang yang mempunyai ‘hak’ bisa melihat kita apa adanya. Dan cukuplah kita terus melihat ke arah depan. Biarlah foto-foto ‘manis’ jaman dulu hanya menghiasi album kenangan pada memori kita sendiri. Karena memang terlalu ‘manis’ untuk kembali dikuak.

Karena kau perempuan
Maka kau dikotakkan demikian rapi pada bingkai kristal
Karena kau perempuan
Maka hanya cinta suci milik-NYA bisa menyentuhmu
Karena kau perempuan
Maka aku datang membisikkan surat cinta ini
paragraph demi paragraph berisi wasiat
Karena aku dan kau perempuan
And I Love you just because of GOD

Thursday, November 29, 2007

...just drop me a line

Saya tidak berubah…
Saya masih seperti dulu…
Masih suka menatap hujan…
Masih suka tertidur pada tumpukan buku…
Masih menyeruput kopi dengan mata terpejam…
Iya,…
Saya tidak berubah…
Tatapan saya pun masih sama…
Senyum saya masih sama…
Kerlingan saya masih sama…
Lalu,…
Kenapa takut untuk berbagi?
Kenapa mesti enggan bersandar?
Kenapa harus terjegal oleh kesibukkan saya?
Itu tidak akan selesai jika selalu diukur
Tidak akan pernah bisa melegakanmu
Karena,
Saya masih sama
Saya tidak berubah
Saya masih disini
Masih setia berbagi jika kau ingin

Saya selalu bertandang pada pintu-pintu sunyi milik sahabat saya. Saya kangen! Sepadat dan secepat diri berlari untuk menyelesaikan tugas-tugas yang pernah saya abaikan waktu dulu, harus saya lakukan sekarang. Karena inilah berlarinya saya ke tujuan akhir. Ah susah banget untuk dicerna ya?

Ya, beberapa teman dan sahabat saya menegur, baik lewat email dan sms, “Duhai kasih, dikau tenggelam seperti ditelan bumi, padahal aku tahu, pesan ini akan sampai kepadamu, dan akan kau balas walau dengan rentang waktu yang lama, tapi aku tahu, sayang dan cintamu, masih ada untukku.”
Lalu mereka pun dihinggapi rasa tidak enak untuk mengganggu, yang biasa mereka ciptakan pada hari-hari saya sebelumnya.

Padahal…come on, just drop me a line...

Teruntuk sahabat-sahabat yang selalu datang pada kerlip kalimat sedih, mengapa ragu menyapa?

Teruntuk sahabat yang jauh dari pelupuk mata, jangan pupuk rindu untuk tidak mendongeng, karena saya pun masih ingin mendengarnya.


Teruntuk sahabat yang sering melayangkan emailnya, bergelut dengan segala nestapa, saya tidak akan gentar oleh depakanmu, ketika kau katakan, “Aku ingin kamu melihatku bahagia, karena aku tidak layak ditangisi, aku ingin kamu memberiku bahagia, seperti aku berusaha memberimu bahagia dengan tidak mengeluh denganmu.”

Percayalah, itu tidak akan menyurutkan langkah saya untuk mendekapmu.

Saturday, November 24, 2007

Arung Jeram ria

Lagi nostalgia sama seabreg poto-poto jaman dahulu kala, nemu satu yang belum jadul banget. Foto ini diambil sekitar pertengahan Juni 2007 kemaren. Pada waktu saya sekeluarga liburan ke parung kuda, menyalurkan adrenalin yang berlebih (bisa berlebih gitu?).

Foto ini diambil oleh orang yang professional (baca : udah biasa motret diatas batu gede ditengah arus liar). Baru mau mulai, udah disuruh pasang aksen. Hasilnya, ya bisa dilihat sendiri. Ada yang menunduk takut cakepnya ketahuan, ada yang senyum manis, karena emang disuruh senyum, dan para bocah pada ceceungiran takut, karena it was for the first time for them.

Waktu itu, inginnya sih ambil rute yang 3 jam. Setelah ajak sana-ajak sini (sampe ngajak beberapa blogger yang dijakarta), yang bisa hanya si Richard, sepupu yang terakhir ketemu 7 yang lalu dan harus balik ke Munchen, ditambah Jihad dan Kiki (adiknya Richard) melengkapi acara arung jeram versi pemula. Hanya 1 jam lebih dikit, dengan perjalanan sepanjang 4km, cukuplah buat senang-senang dengan keluarga. Asyik! Dan ini bisa dikatakan farewell party’nya Richard Gotz.

Mau-maunya juga saya ambil resiko olahraga ini?

Ah ini sebenarnya sedikit dari kegilaan saya yang masih tersisa (bangga banget kesannya yak?!?). Sejak SMP hingga SMU dihabiskan untuk yang namanya meng ’olah-raga’. Mungkin karena saya adalah anak yang sangat disayangi oleh berbagai macam penyakit hingga harus lebih sering menggerakkan tubuh, supaya mereka bisa terpental jauh.

Jaman dulu, saya hobi banget ngebasket. Setiap hari latihan. Pergi turnamen hayo ajah. Gak mati semangat deh. Masuk SMU mulai deh melirik Softball. Tambah asyik! Malah saya aktif luar biasa disini. Hingga bisa masuk pada jajaran atlet daerah. Diikut-sertakan untuk pada beberapa kejuaraan. Rasanya emang masa muda yang menyenangkan. Jadi jangan heran ketika dikatakan jiwa saya sama seperti lagu celine dion, yah...ada benarnya juga.

Kenapa bisa?

Setiap kali memberikan kajian pada binaan yang masih SMP, saya selalu tekankan;

‘Habisi masa mudamu dengan bisa lebih berprestasi. Jangan jadikan kota sempit dan pengap seperti Sengata menjadi halangan bagimu. Karena dengan begitu pikiran-pikiran kotor dan emang lumrah biasa terjadi bisa ditepis, dan bisa hilang bersama kesibukan yang lebih bermanfaat.’


Betul gak? Karena emang gak jarang, mereka selalu bertanya, ‘boleh gak pacaran?’ atau ‘boleh ga dua-dua’an?’. Saya rasa demikianlah kita bisa menolak segala kegiatan buruk. Dengan banyak kegiatan dan menjadikan diri lebih bisa memandang hidup lebih indah dari hanya ber 'dua-dua' an, yang belum tentu akan ber 'dua' nantinya.

Jadi kalau ada yang bilang sengata gak ada kegiatan yang bisa memompa semangat hidup? Siapa bilang? Saya yang sudah berbuntut 2 aja, mesti pinter-pinter membagi waktu untuk segala aktifitas diluar rumah.

Jadi ngelantur ke binaan deh…

Anyway, kalau saya nanti pulang liburan kejakarta lagi, dan ada yang saya ajak berarung jeram selama 3 jam, mau ya? Rugi loh nolak. Kapan lagi, melepas teriakan dengan sekencang-kencangnya dialam terbuka. Heueheueheuheu…

Wednesday, November 21, 2007

Sekilas pada Acara Bedah Buku

kemanakah dikau, hai sang pemilik blog?

Tenang... saya masih disini. Masih tertimbun segala macam kejaran dan tumpukan tulisan yang harus segera diedit

Duh segitu sibukkah dirimu?

Inilah pilihan saya, yang kata salah seorang peserta bedah buku kemaren minggu, 18 November 2007, pilihan yang aneh dan langka. Pilihan dimana saya bisa saja menenggelamkan diri pada rutinitas kantor, ruangan berAC, dengan duduk manis dibelakang meja. Mengingat study saya yang bukan main-main (emang saya kuliah gak main-main kok). Mengingat pengalaman karir saya pun bukan pekerjaan gampang yang diraih. Tapi mengapa justru dengan rela berkasak-kusuk menekuni profesi penulis yang…yah berapa sih pendapatannya? (ihhh belom tau ajah lagi…)

Begitulah, acara bedah buku yang –dengan ikhlasnya- saya ketuai, berjalan dengan lancar dan menggembirakan. Jam 8.30 pagi peserta sudah antusias memenuhi stand bazaar, tempat dimana buku Sebab Cinta tak Kenal Waktu –serta buku-buku FLP lain- bisa didapatkan. Acara dimulai sekitar pukul 9.30 pagi (biasa molor, kami kan orang Indonesia!!). Beberapa acara dilalui dengan baik, hingga sampai pada sesi inti dari acara itu, yaitu membedah 2 buku sekaligus, Bercermin pada Hatimu serta Sebab Cinta tak Kenal Waktu.

Pembedah memang khusus saya dan Vita pilih. Pertama adalah Pak Sony, General Manager ESD KPC, karena beliau adalah penulis non fiksi (ilmiah) ketika masih di Freeport, juga yang memberikan endorsement pada bukunya Vita, serta Ustadz M. Lili Nur Aulia. Beliau adalah redaktur Majalah Tarbawi, pada kolom ruhaniyat. Pas banget dengan karya non fiksi kami yang memang berkisah tentang perjalanan ruh kami hingga bisa menghasilkan tulisan penuh cinta.

Ada tukilan dari obrolan para pembedah pada waktu itu yang menarik. Buku Sebab Cinta... dikatakan adalah buku dimana isinya curhat yang bisa membiaskan sesuatu yang lain bagi si pembaca. Dimana curhat adalah obat yang paling manjur bagi orang stres. Dan jika bisa menuangkannya dalam tulisan, inilah salah satu terapi yang ampuh, dimana sang penulis bisa memberi terapi pada dirinya sendiri juga kepada orang lain. Boleh dikatakan, dengan menulis sama halnya memperbaiki emosi kita agar lebih terkendali dan ini salah satu kemampuan otak yang setiap orang memilikinya. Ketika itu tergali, itulah hasil dari cara kerja otak yang optimal.

Salah satu pembedah pun mengatakan, ibaratkan sebuah cangkir, yang terus-terusan diisi oleh air, hingga pada akhirnya meluber keluar dari tempatnya, seperti itulah orang yang mau menulis. Isi dari cangkir adalah kegemaran dan keterlibatannya langsung pada media yang disebut buku. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin banyak pula isi kepala dari si pembaca, semakin sering pula ia mengimplementasikannya pada bentuk tulisan.

Lalu tulisan seperti apa sebaiknya?

Tergantung apa yang ia harapkan pada si pembaca. Ingin fun, maka tulisan yang menggembirakan akan ada. Ingin berimajinasi, maka tulisan yang mempunyai daya khayal kuat akan tersampaikan.

Lepas dari itu semua, buku Sebab Cinta… adalah buku yang ringan. Orang tidak perlu berkerut-kerut untuk membacanya. Orang tidak perlu membuka kamus ketika menemukan kata-kata aneh. Orang tidak perlu menyimpannya ketika selesai dibaca. Orang tidak perlu membacanya dari awal hingga akhir secara runut. Tapi justru, ketika selesai membaca, buku ini akan kembali bisa dibaca sebulan, setahun atau sepuluh tahun lagi. Karena buku ini bukanlah kisah yang sedang marak sekarang ini. So simple.

@@@

Sedang memberi tanda tangan (asli saya gak nyangka akan diminta tanda tangan!!!), seorang bocah lelaki menyeruak diantara orang-orang, tingginya hampir sebahu saya, dengan senyum khasnya, dia berucap,
“Mimi, Aa boleh beli buku Sebab Cinta, terus kasi tanda tangan ya!”
Ummi pun ceuceungiran…

Teruntuk semua teman blogger, terimakasih masih mau berkunjung keblog yang sunyi senyap ini, semoga tali kasih kita tetap terjalin kuat
Poto-poto acara bisa diliat dirumah saya yang lain

Monday, November 12, 2007

Sebab Cinta Tak Kenal Waktu

Akhirnya, salah satu sesi menjelang launching dan bedah buku saya dan Vita serta Ika (FLP transfer dari Yogya) telah dilewati dengan baik kemaren pagi. Yup! On air disalah satu radio swasta dengan harapan FLP sengata bisa menggebrak (eh jadi inget soto gebrak di Tebet?!) semangat para pengurus serta anggotanya.

On air selama 2 jam, mengasyikkan juga. Biasanya kami bercerita dan merangkai kalimat diujung pena, tapi sekarang menghadapi pendengar yang tidak terlihat. Buat saya, ini bukan pengalaman pertama untuk berbicara di sebuah corong radio. Tapi kali ini sangat menyenangkan. Selain memperkenalkan FLP juga menceritakan sedikit dari isi buku juga berbagi pengalaman kenapa kami bertiga sangat gemar membaca bisa dimulai dari usia anak-anak. Dari kegemaran kami melahap buku hingga menghasilkan satu lagi pekerjaan yang tidak main-main, yaitu menulis.

Ada satu kejadian yang menggelikan sehari sebelum on air. Ketika itu, saya dan teman-teman aktivis sedang dalam perjalanan ke Sengata Selatan dalam rangka silaturahim. Dalam perjalanan, terpantik cerita akan gencarnya mereka woro-woro ke adik-adik binaan mereka bahwa di sengata sebentar lagi akan ada bedah buku dan kedatangan penulis dari luar. Reaksi hahahihi dan ledek-ledekan malah muncul ketika mereka tahu sayalah salah satu penulis yang mereka kira dari luar itu.

“Ya Allah Ukh, anti kah? Ga nyangka euy, sekarang disetirin sama penulis”
“Ayo ukh, mana buku gratisannya? Sama tanda tangannya sekalian ya?”
“Eh ayo, sekarang puas-puasin ngeledek Mbak Rien, besok-besok mana bisa kita bisa kayaq gini. Hahahahhahaha”

Saya yang terpojok, bukannya GR, malah balik melancarkan serangan ;
“Iya, ayo mumpung saya belom tenar banget. Mumpung kemana-mana masih bisa disetirin, mumpung masih bisa jadi PJ binaan, puasin deh foto bareng dan tanda tangannya. Entar-entar maaf deh, kayaqnya akan sibuk merilis buku lagi dan lebih sering on air dan masuk TV”
semua pun serentak ngakak (ngakaknya cuman bisa dikalangan akhwat loh).

Kami memang kompak. Dimulai sejak awal ramadhan sudah sibuk sekali membina. Hubungan kami bukan sekedar teman, lebih dari itu. Hubungan cinta dan kasih sayang yang sangat tulus karena kami berjuang untuk tetap lurus dalam dakwah. Hubungan cinta yang terus menggelora selalu mengingatkan bahwa haruslah ada peningkatan kebaikan dalam diri kami. Hubungan sayang yang hanya semata mengharap sayang dan cinta-NYA bisa selalu mengiringi langkah kami.

Dan buku ini perwujudan rasa sayang dan kasih yang telah hadir pada kehidupan saya. Rasa yang bukan hanya milik manusia yang berbeda kelamin. Bukan hanya milik antara laki-laki dan perempuan. Tapi lebih universal. Karena setiap kejadian yang saya alami, cinta itu selalu menggelora memenuhi hati dan sanubari. Membuncah, meruah memadati jiwa… Karena memang, ...cinta tak kenal waktu...

dan rinduku untukmu
selalu berderu
dalam gairahku
menuju cinta Rabb-ku,
lewat lisanku,
sampaikan doaku-
dalam malamku-
untukmu.


Terimakasih pada seorang akhi (ya kamu! Ah lagi-lagi…) yang mau berbagi warna dalam hidupku bersama dua cinta. Allah telah memberi kesempatan-NYA melaluimu, dengan bisa memberiku banyak hal yang bisa kucurahkan.


Tuesday, November 06, 2007

Cinta Itu Ada yang Punya

Jangan katakan engkau patah hati…
Jika belum pernah mengenal cinta-NYA…


Tidak ingin sebenarnya membahas masalah cinta atau kepatahannya yang tidak berkesudahan, jika masalahnya ada pada diri kita sendiri. Rasanya bagi saya hanya akan menambah luka yang serasa terus diperciki buliran garam. Pedih! Tapi, jika terus dipendam, bukan tidak mungkin akan membuat hati yang patah menjadi putus asa, memendam rasa yang tak sampai, mengakibatkan kotornya hati yang memang harus selalu bersih.

Saya pun pernah jatuh cinta. Walau yang kata eyang titiek puspa ‘berjuta rasanya’ tidaklah selamanya bisa saya rasakan. Jatuh cinta bagi saya adalah suatu unsur ketertarikan seseorang yang sangat abstrak. Hingga, terkadang sangat abstraknya saya menganggapnya biasa saja. Jika demikian, bila saya bisa menganggapnya biasa, lalu pastinya sangat langka untuk menemukan saya patah hati, atau layu karena cinta tak terbalas? Yup! Memang langka. Seingat saya, hanya satu hari saya habiskan untuk menangis karena dilukai oleh sifat ke’playboy'an seorang cowoq pada masa SMU. Hanya satu hari, setelah satu hari itu, saya bisa melupakannya dan ‘aku baik-baik sajaaa’ (pake irama RATU), kemudian membingkainya sebagai memori keterpurukan iman saya.

Begitu gampang? Susahnya untuk dilakukan…

Cinta memang begitu dahsyatnya hingga bisa membuat seorang gadis terus-terusan menangis setiap kali melihat pujaan hatinya berlalu begitu saja didepannya, setelah mengungkapkan kata putus. Atau merananya seorang lelaki yang ditinggal gadis pujaan hatinya, menikah dengan pria lain, pilihan hatinya. Atau membuat layu seluruh taman bunga yang ada dalam hati seorang perempuan. Begitu layunya, hingga selalu mencoba menyiramnya agar bisa mekar lagi. Gak bisa terima kenyataan?

Cinta memang menakjubkan, hingga tidak pernah mengenal satu golongan pun untuk disandari olehnya. Dikalangan ikhwah pun gak lepas dari terjangan kata ‘cinta’ atau ‘patah hati’. Seorang gadis yang biasa mengenakan kerudung, memakai gamis, ikut tarbiyah, baru-baru ini mengeluhkan betapa hatinya serasa nyilu diiris sembilu. Bertemu dengan saya pun selalu dalam keadaan mata yang beungeb (lebam kata sunda teh!), wajah yang kuyu, senyumnya ketika dulu masih akrab dengan seorang lelaki udah hilang bersama putusnya tali ‘ta’aruf’ mereka. Gadis ini sangat memelihara rasa sakit hatinya, hingga walopun udah jelas ditinggal sang pujaan, tapi masih saja ngotot untuk terus mengenangnya. Maka setiap kali dia datang, selalu saya berikan senyuman yang paling mesra, sambil nyanyi;
...Hatiku hancur mengenang dikau...
...berkeping-keping jadinya…
Secepat kilat senyum dan tawanya merekah bak bunga matahari. Manis banget! Tapi gak lama mendung lagi, dan hujan deras menyiram basah kedua pipinya.

Neng, setiap perjumpaan pastilah ada perpisahan. Setiap ada bahagia pastilah ada duka. Tapi bukan berarti hidupmu harus berhenti, harus stuck tanpa ada prestasi. Kenapa justru untuk seorang lelaki yang tidak mampu menjaga hatimu, harus kamu tangisi? Jelas-jelas dia telah mengkhianatimu, memberikan janji palsu, merobek segala harga dirimu. Masih ingin ditangisi? Apa dia terlalu baik? Itu dulu. Tau gak? Kenapa dalam islam, tidak ada pacaran? Ya seperti ini akibatnya, futur neng! Jangan khawatir deh! Jodohmu sudah tertulis jelas pada diary hidupmu yang sudah dikeep sama Allah. Kenapa masih ngotot ingin bersama lelaki yang telah berani menyelewengkan aqidah?”

Umm…masih inget sama lagunya Celine Dion yang judulnya “My Heart will go on”?. Saya inget banget, semasa masih dalam status ‘sendiri’, seorang lelaki mengatakan, "perempuan kok gampang banget ya melupakan kisah manisnya sama pria? Coba deh dengerin lagunya celine, my heart will go on, ada baitnya yang bikin temenku pada marah loh, gini nih, …and you here in my heart and my heart will go on, tuh kan sadis banget." Saya waktu itu senyum-senyum saja, dikatakan sebelas duabelas (baca=sama) dengan lagu itu. Lalu apa yang salah dengan salah satu bait lagu itu? Emang mesti gitu kan? Orang yang udah pergi, gak perlu ditangisi sepanjang hayat. Orang yang sudah pergi dan gak akan kembali, untuk apa dinanti? Apalagi secara nyata tidak memilih kita, nyata tidak ingin bersama kita. Buang waktu!

Ketika cinta mulai terasa, seharusnya ada saling menguatkan akan kemurnian cinta itu sendiri. Kemurnian dari Dzat yang telah memilih kita untuk merasakannya. Cinta bukan berarti harus diumbar secara berlebihan. Cinta bukan berarti bisa menghalalkan segala cara untuk diraih. Cinta itu suci, hingga penempatannya pun tidak akan pernah salah. Namun, jika pada kenyataannya cinta diibaratkan sebuah kanker yang ganas dan bisa membuat mati pemiliknya, itu hanya karena terbatasnya kemampuan diri untuk menata letak, dimana seharusnya cinta berada.

Cintaku hanya 3% untukmu…
Sisanya adalah kesiapanku untuk menerima kodratku jika bukan takdirmu…
Dan…aku pun tidak akan patah hati olehnya…
Karena, masih ada cinta yang siap aku berikan seutuhnya…
Kepada si Pemilik Cinta…

Kamu (ya kamu!), si pemilik 3%, terima kasih telah bersedia mengarungi takdirku bersama kodratmu hingga detik ini...
ps: para akhwat, laa tahzan...be strong!

Tuesday, October 30, 2007

Bahagia di Libur Raya


Cukup 2 minggu saya telah mengalami ‘kegemukan’. Wah apa ya? Pasti pada mikir-mikir, gemuk apanya? Cukup, 2 minggu memang saya mengalaminya, baik dari segi fisik maupun otak. Wah otak bisa gemuk juga ya?


Cukup 2 minggu saya tinggalkan aktivitas rutin saya selama di Sengata. Mudik ke tempat orang tua saya tinggal. Bermanja-manja dengan mereka. Banyak bercanda dan menghibur ibu yang tetap saja menangis ketika melihat saya harus pergi kembali ke Sengata. Tapi, ternyata walau hanya 2 minggu, banyak hal yang bisa saya dapatkan. Banyak hal yang mampu membuat senyum saya mengembang, tertawa, bahkan menangis. Walau hanya 2 minggu.

Libur Raya kemaren, saya sempat berkumpul dengan salah satu saudara sepupu saya yang baru sweet seventeen. Seperti layaknya gadis muda –jaman sekarang- lainnya, pakaiannya seru banget buat saya. Hampir semua pakaian yang ia kenakan keliatannya -bagi saya- serba mengecil. Entah dia beli pada stand baju anak-anak, atau mengecil akibat seringnya masuk mesin cuci. Pokoknya ngepas aja di tubuhnya. Sebenarnya saya hampir sakit mata juga, dengan ada pemandangan gadis si pemakai baju kekecilan itu yang selalu wara-wiri didalam rumah. Lalu bisa ditebak, dari awal, saya sindir-sindir mesra dan halus. Sangat halus, sutra mungkin lewat deh saking halusnya.

Pertama dia hanya cengar-cengir, mesem-mesem kuda. Kedua dia mulai bereaksi dengan bertanya-tanya (mungkin telinganya mulai meradang juga nih?!). Ketiga dia minta waktu pada saya untuk berbicara.
“Selama ini, aku memang takjub melihat kakak begitu rapi dan tertutupnya. Sampe-sampe gak ada celah yang bisa terlihat dari balik kerudung kakak. Sebenernya aku iri, banget! Kenapa kakak bisa, tapi aku tidak bisa?”
Deg,…dia tidak boleh saya abaikan. Seseorang kadangkala memerlukan penyemangat dan dorongan yang kuat untuk berbuat maksimal dalam hidupnya. Right?

Akhirnya saya dan dia diskusi kecil, di dalam dapur bersih milik ibu. Pagi hari sambil ngopi (ngopi? saya banget!). Banyak hal yang ingin dia tahu dan korek dari saya. Saya pun memberi kelonggaran-kelonggaran baginya untuk bisa mengeksplore segala keinginannya. Apalagi dia tinggal di daerah hulu pinggiran sungai Mahakam, yang jaman dulu harus ditempuh satu hari satu malam dengan sebuah kapal. Tapi jangan tanya soal budaya. Para ABG’nya dengan cepat akan menyerap segala trend dan asyik-masyuknya metro yang bisa-bisa tanpa mereka saring. Pergaulan bebas dan barang-barang menggiurkan serta memabukkan bisa dengan mudah didapat, karena akses para turis asing yang sering keluar masuk. Dia pun sebenarnya berusaha kuat menghindari, dengan ingin segera memakai hijab pada dirinya juga hatinya. Inti dari segala permasalahan, keinginannya untuk segera mengenakan kerudung terhalang karena ketakutannya akan lingkungan tempat ia tinggal, takut pada orang tuanya, takut akan dijauhi oleh teman-temannya, etcetera, buntut dari ketidak PD-annya.

Pelajaran bagi saya, bahwa terkadang, manusia sering banget banyak mikir jika ingin berbuat kebaikan. Banyak excuse yang lama-lama akan menjebak diri sendiri dalam memubazirkan waktu. Lebih condong kepada hal yang popular dan lebih digemari, takut dijauhi dan dianggap aneh. Manusia sering banget menyepelekan apa yang sudah dijanjikan oleh-Nya, demi sesuatu dengan mengkambing hitamkan kalimat, ‘belum dapat hidayah’, atau, ‘entar aja kalu dah tua!’. Terus, gimana kalau belum dapat hidayah sampai ajal, atau belum keburu tua udah keburu meninggal? Who knows? Bahkan ada ucapan yang menusuk,’hari gini masih mau koar-koar memperbaiki masalah orang lain? Please deh!’. Nusuk kan? Banget!

Bagi saya, dengan mau mengerti masalah orang lain, mau menerima segala jenis curhat, dengan senang hati menerima sms malam-malam, lebih kepada perbaikan diri sendiri. Menjadikannya cermin bagi saya, bahwa masih banyak diluar sana yang ingin berbagi cerita. Menjadikannya pantulan, bahwa kita masih beruntung dengan tetap bisa tegar menjalani hidup dengan layak. Masih sangat beruntung banget!

@@@


Lalu, beberapa hari lewat, setelah diskusi kecil kami, saudara sepupu saya ini harus kembali ke kampung halamannya. Pagi-pagi buta, saya lihat dia sudah berbenah. Mengenakan baju lengan panjang, celana jeans, dan…memasang kerudung.

Senyumnya sumringah...
Bahagianya…

Tuesday, October 09, 2007

Eid Mubarak from my soul...

Heart : Ramadhan hampir berakhir…merasa kehilangan?

Human : Iya, tentu! Rasanya nggak bisa dilukiskan oleh seorang masterpiece pun…

Heart : Sudah lengkapkah ramadhanmu kali ini?

Human : Bicara soal lengkap, bisa menyangkut masalah puas nih! Dan manusia memang gudangnya ketidak-puasan. Saya merasa masih ada yang kurang saja. Bukan dimana-mana, tapi pada menjalani ramadhan kali ini.

Heart : Lakukan saja semampunya, bukankah Dia seperti prasangka kita juga. Disini tuh pembelajaran dimulai.

Human : Bener! Tapi mengapa kita selalu bertanya, ‘sudah cukupkah kita memanfaatkan bulan ramadhan sebaik mungkin?’. Apalagi, akhir-akhir ini, saya malah merasa tidak tahu diri. Dihari akhir-akhir ramadhan saya malah dibalut kecewa oleh rasa sakit yang mengakibatkan tidak ‘merdeka’nya saya dalam beribadah. Saya mesti mengernyitkan wajah saya menahan rasa sakit, banyak melakukan aktivitas hanya sambil duduk saja, karena untuk berjalan pun saya hanya bisa memberi waktu beberapa menit, kemudian satu kaki saya akan berteriak, ‘aku tidak mampu, jangan kau paksa!’. Duh, sungguh egoisnya!

Heart : Bersyukurlah kamu seharusnya, karena dengan sakit itu kamu jadi ngeh betapa sayangnya Dia padamu, masih mau menegurmu yang terlampau bersemangat dalam beraktivitas. Masih mau menyisakan waktu bagimu untuk beristirahat, dan inilah kesempatan untuk menghapus dosa-dosamu.

Human : Iya, tapi tetaplah seorang egois masih selalu mempertanyakannya.

Heart : Allah Maha berkehendak. Hanya Dia yang tahu tepat atau baiknya buat kita.

Human : Saya banyak dosa, mungkin kurang silaturahimnya, sering tidak sempat untuk menulis diblog, waktu yang makin mepet untuk BW, sering tidak mampu meluangkan waktu untuk satu blog teman yang loadnya lama sekali, jarang menyapa walo hanya diSB (wah ini masalah ‘dunia maya’ yak?!?), saya sering tenggelam pada setumpuk pekerjaan menulis, membimbing adik-adik disekolah, rapat yang hampir tiap hari, belum buku baca’an yang pengennya dilirik mulu…tuh kan, sudah kurang silaturahim, mengakibatkan menumpuknya banyak dosa ya?

Ramadhan…
Kau hampir melangkah
Tapi debar rindu telah mendera disetiap pembuluh darahku
Kegugupan akan jauhnya perjalanan mulai menyeretku
Hingga, tersimpuh memohon
Siramilah rindu agar selalu bersemi dan merebak
Hingga tiba saatnya, “Dia” berkenan mengijinkan kita untuk bertemu

Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Taqabballallahu Minna WaMinkum
Taqbbal Ya Karim
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H

Ila Liqo Fii Amanillah
Salam Ukhuwah dan Cinta selalu dari Ummi Rien, Abi Indro, Aa Jihad dan Ade Kareem

Monday, October 08, 2007

Ibu, Rinduku di Akhir Ramadhan...


Seperti tersihir, kita sudah berada pada hari-hari menjelang berakhirnya ramadhan. Shaf-shaf didalam mesjid mulai kelihatan longgar, tidak sepenuh ketika awal ramadhan, kajian-kajian islam pun hanya dihadiri oleh segelintir orang. Seakan-akan banyak duri tajam yang tersebar sepanjang jalan kemesjid, sedangkan karpet merah nan lembut ketika dipijak membentang sepanjang arah pusat perbelanjaan. Miris!

Namun, ada satu suasana lain ketika memasuki masa-masa berakhirnya ramadhan dengan dijelangnya hari nan bersih, penuh kemenangan bagi mereka yang lulus dalam ramadhan, yaitu Idul Fitri. Suasana hati mulai merindu, padahal ramadhan belum berlalu, berat hati melepaskan dan begitu ingin direngkuh selamanya. Seperti halnya suasana rindu serta membayangkan segala keindahan pada waktu ketika masih kanak-kanak. Rindu pada satu sosok yang selalu setia menemani, memberikan sentuhan sayang, penuh kasih menuntun. Sosok yang selalu tidak bisa lepas dari segala bayangan keindahan mana pun, menyeruak membayangi pelupuk mata. Ibu. Ya, sosok seorang ibu.

Ketika kecil, saya masih mempunyai rekaman, betapa ibu bagaikan seorang yang tiada lelah. Mempersiapkan rumah, menyajikan segala hidangan, menyisihkan sedikit uangnya untuk membelikan pakaian layak pakai pada hari Idul Fitri. Tergopoh-gopoh melayani kerabat dekat maupun yang jauh, yang berdatangan pada hari itu. Dan senyum selalu mengembang disudut bibirnya, walaupun jelas kelelahan tampak diwajahnya. Indah, mengenang ibu seperti mengenang taman surga yang pernah kita miliki sewaktu kecil. Surga yang ia ciptakan memang penuh pesona. Ibu, tidak hanya berarti bagi kita pada masa kecil, tapi tetap agung, walaupun kita bukanlah lagi anak kecil.

Saya memang sedang membayangkan sosok ibu. Sosok yang sekarang jauh dari tempat keberadaan saya. Sosok yang semakin menua, semakin mengguratkan rasa letih. Saya dan ibu memang semakin dekat ketika masa-masa saya mulai melepaskan diri dari keluarga. Jauh dari ibu dimulai ketika saya mengambil pekerjaan ditempat yang jauh, menikah hingga mempunyai anak pun saya tetap jauh dari keberadaan ibu. Hingga jika lebaran tiba, saya selalu mengusahakan untuk bisa berada disampingnya. Melebur segala kerinduan kami, melebur segala kisah manis dan indah, hasil kenangan saya dan ibu pada masa kami masih tinggal bersama.

Dilain pihak, saya pun mengenang seorang teman yang juga seorang ibu. Ia telah pergi setahun yang lalu. Ia yang saya kenal sangat energik, penuh kasih pada anak-anaknya, selalu mencurahkan segala perhatiannya untuk keluarganya. Hingga masa-masa terakhirnya, ia masih bisa habiskan bersama orang-orang yang ia kasihi. Ah, di hari lebaran nanti, pastilah rindu kehadirannya yang hangat akan dirasakan oleh anak-anak juga suaminya. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan menyambangi makamnya, menuturkan kerinduan, memberikan doa agar selalu lapang ‘tempat tinggalnya’ sejak setahun yang lalu.

Lalu, saya pun membayangkan banyak sosok anak-anak yang kini berada di panti-panti asuhan. Mata mereka kian basah ketika memasuki akhir ramadhan dan menjelang datangnya Idul Fitri. Dekapan dan ciuman dari ibu yang telah melahirkan mereka, tidak dapat mereka rasakan. Meluapnya kegembiraan sebagian orang dalam menyambut hari kemenangan itu, hanya bisa membuat mereka menerawang, merindukan ibu, yang kedua telapak tangannya tidak dapat mereka cium mesra.

Pada hari-hari terakhir ramadhan ini, banyak hal yang ingin kita tarik ulang. Tetap bisa bertemu pada bulan suci ini, menjadi orang yang istiqomah, bertaqwa dengan selalu berbakti kepada orang tua, terutama pada sosok seorang ibu. Pada setiap akhir ramadhan, banyak hal yang harus bisa kita jadikan hikmah dan pembelajaran, dengan semakin bisa membuat kita menjadi umat yang ikhlas. Ikhlas dalam menjalani hidup, ikhlas menjadi seorang ibu, ikhlas menyayangi ibu, ikhlas dalam mengayomi ibu yang semakin tua, ikhlas pada kepergian sosok ibu jika kelak tiba masanya, juga ikhlas untuk menjadi ibu bagi mereka yang merindukan sosok ini.

Semoga, kita bisa menjadikan akhir-akhir ramadhan ini sebuah prestasi yang kelak akan dapat mengangkat derajat kita di mata Sang Pemilik Kehidupan. Insya Allah.

Ibu,…
Pada akhir-akhir ramadhan
Rindu membuncah akan indahnya bulan ini
ingin selalu khidmat didalamnya
Seperti rindu pada dirimu
Ingin selalu dekat disampingmu

Monday, October 01, 2007

Anak Berpuasa? Perkenalkan dan Biasakan!

Postingan ini bukan didasari niat untuk riya atau membanggakan sesuatu yang mutlak milik Sang Pemilik Kehidupan, tapi lebih kepada penyemangat para ummi, bunda, mommy, ibu serta panggilan lain yang mewakili kita sebagai ummahat.

Sulung saya, Jihad, ramadhan ini sangat menikmati puasanya. Bahkan terlihat enjoy dengan aktivitasnya yang biasa dilakukan anak-anak umumnya. Bermain, lari kesana kemari, bahkan tidak tidur dari subuh. Sempat, terpikir rasa khawatir akan susahnya mengajak dia untuk menunaikan rukun islam yang ke 3 ini, yang saya mulai ketika usianya mulai menginjak 4thn. Malahan, waktu itu orang tua saya menegur, ‘Apa nggak terlalu dini ngajarin Jihad puasa? Nanti kan dia akan tahu kewajibannya ini kalau dewasa nanti.” Umm..mungkin saja dia akan mengerti atau malah sebaliknya? Justru hal sebaliknya ini yang sebisa mungkin saya tekan agar tidak memperburuk akhlaqnya nanti. Wallahu alam.

Sebenarnya kalau saya putar ulang memori saya dan Jihad alami, mengenalkan kata puasa sudah saya lakukan ketika dia masih bayi. Waktu itu saya selalu katakan, ‘Jihad buka puasa ya?’ ketika dia mulai merengek minta susu pada saya. Pada saat itu saya yakin, suatu saat kelak, kata-kata puasa akan menempel pada ingatannya. Bukankah, masih didalam perut pun kita selalu mengajak bayi kita berbicara? Apalagi jika sang bayi sudah bisa menangkap komunikasi kita, berbicara apa saja dalam hal positif saya yakini akan mempengaruhi bagaimana mereka berpikir nantinya.

Lalu ketika usianya 4thn, usia TK A, saya sudah mulai kenalkan dengan berbuka dan sahur. Tidak mempersilakan dia makan pada siang hari, kecuali dia minta. Dan seperti waktu ia bayi, saya masih selalu katakan, ‘Aa buka puasa ya?. Sepele ya kedengarannya? Tapi dampak psikologinya yang akan berperan bagus. Alhamdulillah, kemaren menjelang ramadhan, saya sempat dikejutkan oleh keinginan Jihad untuk saum sunnah senin kamis, ‘biar terlatih Mi, bentar lagi kan puasa 1 bulan’. Subhanallah. Percaya atau tidak, tapi inilah yang menggembirakan saya. Walau terselip rasa khawatir, apa nantinya bisa dengan senang dan nikmat dia lewati puasanya? Jangan-jangan bisa banyak bolongnya? Biasa deh, namanya seorang ibu, banyak ragam kekhawatiran dalam menghadapi buah hatinya.

Lalu suatu hari, “Tips-tips dong Mi, biar anak saya bisa diajak puasa!”, seorang ibu memintanya diselingi keluhan akan anaknya yang susah sekali puasa sedangkan usianya lebih tua dari Jihad. Ehem…ehem, tidak ada tips khusus sebenarnya, karena saya yakin anak memiliki karakter mereka masing-masing. Dan setiap karakter yang mereka miliki hanya seorang ibu yang lebih mampu memahami mereka dengan baik. Usaha-usaha saya yang sudah saya urai diatas juga bisa dijadikan percobaan, karena usaha demikian sudah umum bagi ibu-ibu. Mungkin lebih pada keep try don’t be bored yang mesti diingat. Karena jika kita sudah mulai menyerah dan mengatakan, ‘Ah nanti juga setelah dewasa dia akan bisa memahaminya sendiri’, akan berdampak tidak baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang tua terlebih pada si anak. Siapa yang bisa menjaminnya?

Mengapa saya bisa mengatakan demikian?

Saya mengenal seorang anak yang tidak bisa dikatakan anak-anak lagi, tapi sudah pada masa peralihan dari remaja ke usia dewasa. Dia pun masih tidak bisa mengekang keinginan-keinginannya pada ramadhan kali ini, bahkan pada ramadhan-ramadhan yang telah berlalu. Dia selalu saja mengeluh tidak dapat menahan rasa haus dan laparnya, padahal telah diberikan kesempatan untuk tidak berpuasa baginya ketika ia mendapat haid. Saya pun mencoba memahami dengan mengorek sedikit masa kecilnya, dan ternyata memang dari dulu, orang tuanya sangat bisa memaklumi dan melonggarkan peraturan dan tidak mengingatkan kewajiban berpuasa pada bulan ramadhan. Dampaknya tentu saja mengakibatkan ibunya merasa tidak berhasil serta bingung bagaimana anaknya ini bisa dilatih kembali, bahkan beliau bisa merentangkan kedua tangannya dan berucap, ‘rasanya aku bingung harus gimana lagi, nyerah kale!’. Masya Allah, kasian ya? Lebih kasian kalau kita hanya diam saja. Maka sebisanya saya mencoba memberi sedikit masukan pada si ibu, bahkan saya mengatakan, ‘doa ibu itu tidak ada hijabnya loh. Hayo, berdoalah yang terbaik untuk anak-anak kita.’ (syukron jazakallah seorang ustadz pernah mengatakannya)

Jadi ya Ummi, anak kita ibarat sebuah gelas kosong, yang isinya telah diserahkan sepenuhnya kepada kita sebagai pemegang amanah. Tentunya isi yang terbaik dan yang menjadikan mereka menjadi anak soleh dan soleha’lah yang selalu kita impikan. Jika demikian, jangan pernah surut langkah dalam hal memperkenalkan dan memperteguh keimanan anak kita. Tidak ada dalam kamusnya kebaikan kalimat ‘terlalu dini’, tapi yang ada mulailah ‘sedini’ mungkin yang pernah saya tahu dan buktikan sendiri. Dan yang paling penting, perkenalkan, membiasakan, lalu akan timbul rasa rindu dan mencintai. Seperti pepatah jawa 'witing trisno jalaran ...., tidak kenal maka tak sayang.

Bungsu saya, Kareem, juga pelan-pelan saya ajarkan hal-hal yang harus kita tingkatkan dalam bulan ramadhan. Terlalu dini? Tentu tidak! buktinya, dia akan dengan senang hati merebut segala benda yang saya baca, dan komat-kamit membacanya.

Friday, September 28, 2007

Keajaiban Ramadhan


“Sibuk itu indah, maka berbahagialah orang yang disibukkan pada hal-hal yang bermanfaat”

Sebelumnya, saya selalu berpikir-pikir, betapa sibuknya saya akhir-akhir ini, hingga ramadhan terasa cepat berlalu dengan segala aktivitas yang memerlukan stamina lebih fit. Dari awal ramadhan saya sudah mulai menjadi mentor pesantren kilat pada sekolah menengah pertama. Siap dengan segala materi yang bisa saja berubah menjadi sebuah sharing ketika menemukan ‘segmen’ dakwah yang kadang-kadang diluar kendali kita. Melelahkan? Jelas iya. Saya dituntut lebih bisa membagi waktu yang seperti kurang saja. Mulai membuka-buka buku materi, bahkan kadang saya nyeleneh membaca majalah ataupun buku-buku oase yang menumpuk didekat saya. Piuhh! Dilain pihak, saya harus lebih bisa mampu membagi kasih sayang, kesibukan dirumah, dengan selalu mendampingi si sulung yang sudah mulai menikmati ‘nikmatnya’ berpuasa, atau si bungsu yang harus selalu digiring-giring ke tempat-tempat yang jauh untuk sebuah kajian.

Tapi, jangan ditanya, mengenai rasa ‘keajaiban’ dan kekaguman saya pada bulan yang mulia ini. Banyak hal yang indah manakala saya mulai menapaki dengan langkah kecil. Baru dengan langkah kecil, belumlah bisa saya berlari-lari meraihnya. Namun, bahagia saya meluap tanpa bisa dibendung.

Berawal sebelum ramadhan, saya diminta oleh murobbi untuk mengikuti pelatihan menjadi mentor atau dalam bahasa sehari-harinya pembimbing agama islam bagi siswa sekolah atau kampus. Jujur, saya merasa agak kikuk. Bukan apa-apa, tapi lebih pada usia saya yang nggak bisa dibilang muda lagi, apakah mampu membaur dengan siswi sekolah, menjadi aktivis dan membimbing mereka mengenal juga mengarahkan mereka untuk lebih tahu islam sebenarnya? Ragu-ragu, maju mundur, takut tidak mampu sempat saya rasakan. Wajar kan? Saya juga manusia. Tapi, sangat tidak wajar jika perasaan itu dipupuk hingga tumbuh subur, karena saya yakin ragu-ragu adalah tipu daya setan. Jadi jangan ragu! Murobbi saya mengatakan, “Saya memilih anti, karena lebih pas, pas = untuk wawasan (yang suka nge-net biasanya wawasannya luas), untuk gaya bicara dan pergaulan, aktivitas”. Suka nge-netnya yang membuat saya tersenyum-senyum simpul. Dan mulailah, di otak saya terbayang tingkah polah siswi-siswi yang akan saya pegang. Pastilah mereka sangat aktif dengan keingin-tahuan mereka, dan biasanya tidak akan puas dengan hanya satu jawaban. Bukankah seperti itu kita dulu ketika masih dalam predikat siswi sekolah menengah pertama sampai atas?

Apa yang dirasakan untuk pertama kali memulainya di kalangan pelajar? Kikuk? Gugup? Subhanallah, kikuk dan gugup pasti ada. Tapi begitu memasuki kelas, dan melihat wajah siswi yang jumlahnya hampir 30 orang, saya malah merasa tenang, dan memulai sesi 1 jam pertama dengan benar. Maksudnya dengan benar adalah saya berusaha memposisikan pribadi layaknya teman berbagi dengan mereka. Menyentuh nurani mereka dengan kalimat-kalimat yang halus dan cair, mampu menyedot respon baik dari mereka. Mencoba menyikapi seabreg pertanyaan mereka dengan berbagai pendekatan. Memang tidak gampang, tapi saya berusaha tetap memegang filosofi, ‘memberikan bukan karena pandai, bukan karena lebih bisa, tapi lebih ingin berbagi, sama-sama memperbaiki, sama-sama mengingatkan, memberi nasehat, karena seharusnyalah seperti itu seorang muslimah jika hanya ingin ridho dari Allah’. Subhanallah. Saya malah merasa 90 menit setiap sesinya serasa kurang, perasaan dekat dan sayang pada mereka hanya karena Allah mulai terasa. Lalu benarlah, tebar pesona pastilah akan meninggalkan bekas yang mendalam.

Jadilah, saya yang pada dasarnya selalu ingin mencoba dulu, dan tidak akan menyerah sebelum memulai, bismillah mengambil profesi ini, yang bagi saya memang tidak mudah. Profesi ini mempunyai tanggung jawab besar, berhubungan langsung dengan Sang Pemilik Kehidupan. Sebuah profesi yang tak mampu dinilai dengan mata uang dari negara mana pun. Namun, bagi saya, inilah pembelajaran untuk mencapai kesempurnaan memegang amanah sebagai hamba-Nya. Sepatutnya saya bersyukur, karena masih bisa merasakan salah satu dari sekian 'keajaiban' di bulan penuh barokah ini.

Sekarang, bertambah yakin apa yang pernah saya dengar, bahwa jangan merasa tidak mampu jika kita belum pernah mencobanya. Jangan pernah menilai kekurangan pada diri sendiri. Jangan pernah mundur untuk suatu hal yang baik, tapi dengan mengasah dan menempatkan pada porsinya itulah sebaiknya yang harus kita jalani dengan maksimal.

(teruntuk adik-adik mentis di SMP 1 Negeri Sengata, really miss all of our conversation)

Friday, September 07, 2007

Ramadhan adalah Pesantren


Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, selalu ada sesuatu yang mengharu biru bermain pada kisi kecil dalam jiwa saya. Sesuatu yang selalu membuat saya rindu, dan ingin terus berada dalam suasana khidmatnya bulan penuh maghfirah itu. Sesuatu yang mampu menghantarkan saya pada syahdunya ‘pertemuan’ yang selalu dinanti.

Bukan pemandangan yang baru lagi, kalau bulan ramadhan hampir menjelang, dikota-kota besar, segerombolan orang-orang dengan niat kuat mulai mengumpulkan bahan makanan pokok, berbelanja ini itu, mengeluh dengan melonjaknya kenaikan harga, berkerut-kerut memikirkan menu-menu apa yang akan dihidangkan selama satu bulan ramadhan nanti. Bahkan itu tetap saya temukan hingga saat ini. Di beberapa milis kuliner, bahkan sudah ada promosi kue kering dan katering selama ramadhan. Duh, belum juga ramadhan mulai, sudah pada promosi kue kering segala? Please deh ah…

Hal begini, tak pelak pernah saya alami juga, ketika masih tinggal dengan kedua orangtua. Mulai berbelanja kebutuhan, dan ngider ke toko-toko yang mulai disesaki manusia. Layaknya anak kecil, saya merasa senang saja pada waktu itu. Kue-kue kering sudah saya ancer-ancer yang mana saja. Makanan dan minuman yang enak sudah bermain-main dimata saya. Lalu tanpa sadar cap ‘beginilah ramadhan’ mulai nempel pada otak saya. Walaupun dalam sebulan nantinya, saya dan keluarga berusaha untuk tidak absent taraweh dan tadarus, tapi tetap ada ruang kosong. Hikmah dari ramadhan rasanya kok susah banget didapatnya?

Kemudian tidak berlebihan, kalau saya katakan, khidmat dan hikmah bulan ramadhan bisa benar-benar saya rasakan ketika saya telah berusia 21 tahun. Ketika itu saya dengan beraninya terbang dan hidup ketengah hutan Kalimantan demi sebuah idealisme. Jauh dari peradaban kota, dengan relanya dikelilingi oleh bau asap pabrik, setumpuk kertas, sederet data dan kehidupan monoton serta banyak bergaul dengan kaum adam. Lalu, dimana letak penjelasan pada kalimat ‘khidmat dan hikmah ramadhan bisa benar-benar dirasakan ketika telah berusia 21 tahun’? Coba deh bayangkan! Ditengah hutan yang minim fasilitas, nggak mungkin ada pasar ramadhan, apalagi mau belanja ini itu, lebih baik tidak pernah punya harapan seperti itu deh. Yang ada, malam menjelang ramadhan, di asrama, tempat tinggal saya dan beberapa karyawan wanita, kami mulai berkumpul, saling menangis, saling menguatkan, saling meyakinkan. Menangis karena jauh dari orangtua dan sanak saudara, menangis karena tidak pernah menyangka akan melewatkan ramadhan ditengah hutan. Saling menguatkan dan meyakinkan karena datangnya ramadhan tidak akan membuat kita merugi setitik pun, justru sebaliknya, akan bertaburan pahala dan keberkahan bagi umat manusia yang bertaqwa, gemar bersyukur dan mencintai sesama. Akhirnya kami pun sadar dan melalui malam-malam selanjutnya dengan tadarus bersama. Subhanallah indahnya! Kegiatan setelah itu nggak kalah indah. Setiap subuh, selesai sahur bersama, saya dan beberapa teman wanita akan bergegas ke masjid yang jaraknya sekitar 2km, melewati aliran sungai kecil, melewati rimbunnya pohon besar, melawan rasa kantuk, hanya ingin bisa berjamaah subuh. Lalu ketika masuk saat berbuka puasa, walau hanya dengan secangkir teh hangat, semangkuk mie rebus/goreng, rasanya tetap sama, indah banget. Berlomba ke masjid untuk taraweh pun nggak kalah seru, kami bahkan selalu dinanti oleh sebuah bis besar –yang kasian melihat kami, para wanita jalan di jalanan berdebu- dengan setianya mengantar kami kemesjid. (really miss that moment)

Kalau dipikir-pikir, dimana letak nikmat dan indahnya, jika seperti itu saja cerita yang saya panjang lebarkan?
Mari saya tuntun untuk meraba dan merasakan dimana letaknya. Ketika memasuki bulan ramadhan, kita kerap lupa untuk apa kita masih dipertemukan dengan bulan suci ini. Kita kerap lengah, akan agung dan banyaknya kemudahan yang Sang Pemilik Kehidupan berikan pada kita. Untuk sampai pada bulan ini pun, kita terkadang alpa bahwa ini sudah merupakan awal kebaikan yang DIA berikan. Siapa yang bisa menjamin kita akan dipertemukan pada bulan penuh rahmat ini untuk tahun depan? Adakah yang bisa mencium bau umur akan berhenti dimana?

Memasuki bulan suci ini, kita harus bisa lebih mempersiapkan diri, baik jasmani, mengisi ruh agar bisa lebih bersabar dan ikhlas dalam menjalankannya. Memperbanyak istigfhar dan berupaya lebih mesra berdekatan dengan-Nya. Tidak ada larangan untuk berbelanja ataupun mempersiapkan menu-menu selama satu bulan, tidak ada halangan untuk mengais rejeki dengan mulai mempromosikan usaha, karena saya pun yakin itu untuk kebaikan juga, dan bulan ini memang bulan yang terbaik dari segala bulan. Namun tidak berlebih-lebihan, itu yang lebih penting. Lebih bisa menahan nafsu yang bisa menelan kita hidup-hidup. Lebih mampu menjadikan bulan ramadhan sebagai pesantren, sebagai tempat pembelajaran kita, agar bisa lebih bisa menempa ilmu hidup akhirat.

Insya Allah, kita masih diberi kenikmatan untuk merasakan indahnya ramadhan sampai saat ini. Dengan kemurahan-Nya, menjangkau dan meraih, mengingatkan bahwa kita masih memiliki amanah untuk selalu menyebar ilmu kebaikan. Insya Allah kelak akan dibagikan menjadi wasiat.

"Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lainnya. Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya pada Hari Kiamat." (HR. Muttafaq 'Alaih)

Marhaban ya Ramadhan…
Selamat menunaikan ibadah shaum ramadhan 1428 H
Minal aidin wal faidzin

Wednesday, August 22, 2007

Sister, I love you just because of GOD

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah pesan singkat, dari seorang ukhti yang dekat banget dengan kehidupan saya, “I knocked heavens door last night. GOD asked: what can I do for you?, I said please love, protect and bless one who is reading this message. GOD smiled and replied…guaranteed”. Saya bengong! Dia tidak seperti biasanya menulis seperti ini kepada saya. Saya pun tidak langsung membalas apa yang dia kirim. Sebenarnya, saya bingung mau balas apa? Akhirnya, sedikit sore, dan sebelum berangkat liqo saya sempatkan membalas, “Syukron, anti tumben nulis beginian? Ada apa?” Lalu ia membalas, hanya sebagai penyemangat jalinan sayang antara kami.

Saya phobia sekali!

Jujur, bukan phobia yang saya rasakan, tapi saya tidak ingin kejadian setahun lalu terulang. Sepinya sebuah persahabatan, dengan hanya sekali-sekali berkirim kabar, dan hanya tercetus “Kangen euy, cerita-cerita dong! Tapi ntar ya, aku mau packing-packing dulu”. Almarhum dan saya selalu membalas setiap pesan singkat ataupun email dengan singkat. Padahal ketika salah satu memerlukan sesuatu, yang lain akan sigap bergerak. Ketika salah satu dari kami sakit, secara nggak sadar, menanyakan kabar lewat pesan singkat. Sepinya persahabatan hingga sebulan setelah ber ’say hai’ lewat email, dia pergi. Lalu bagimana dengan sahabat saya yang mengirim pesan singkat ini? Saya dan dia mulai pada tingkat kesibukan yang lumayan menguras waktu dan tenaga. Dia salah satu murrobiyah dan aktif dalam dewan. Saya juga mulai kasak-kusuk nulis dan kegiatan diluar. Jadi bisa dipastikan quantitas percakapan kami tidak sesering dulu.

Terdengar seperti menyesal akan kehilangan sesuatu?

Tidak ada yang perlu disesali. Setiap detik sebenarnya kita telah kehilangan banyak, termasuk sisa umur yang semakin sedikit, menyempit dan mengecil. Apa yang bisa dan sudah kita lakukan untuk membawa bekal kepergian nantinya. Sadar atau tidak, kita sudah berada pada jalur antrian yang pasti. Tiket keberangkatan pun sudah di approve! Dan nggak mungkin ada tiket untuk kembali lagi. “Seandainya Tuhan memberitahu dimanakah ujung dunia ini berakhir, pastilah segala bekal akan dipersiapkan. Namun terkadang, begitu pemurahnya DIA hingga kita tidak pernah sadar akan tanda-tanda yang diberikanNYA”.

Dalam kisah Kitab Irsyadul ‘bad lil Isti’dad li Yaumil Ma’ad karya Abdul Azis Muhammad Salman, Nabi Yaqub as. meminta kepada malaikat maut agar berkenan memberi tanda ketika ajalnya telah dekat, dan malaikat maut pun menyanggupi, berjanji akan mengutus dua atau tiga utusan. Hal ini tetap membuat Nabi Yaqub as gugup ketika malaikat maut datang lagi setelah beberapa waktu, sedang ia belum melihat satu pun utusannya. Beliau protes karena malaikat maut itu datang untuk mengunjunginya sekaligus mencabut ruhnya. Hingga dijawab oleh malaikat maut itu:
“Apakah kau tidak sadar, aku telah mengutus padamu tiga perkara dan engkau merasakan dan melihat dengan mata kepala sendiri akan perubahan yang terjadi pada dirimu? Bukankah rambutmu sebelumnya berwarna hitam, kemudian berubah menjadi beruban? Bukankah sebelumnya badanmu kuat dan kokoh, hingga akhirnya sekarang menjadi lemah dan loyo? Bukankah sebelumnya tulang tubuhmu lurus, kemudian berubah menjadi bungkuk? Maka ketahuilah, mereka adalah utusanku pada setiap anak Adam sebelum ajal menjemput.”
Rasulullah bersabda, "Tidak beriman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." Untuk itu, saya katakan pada semua teman serta sahabat terkasih, jangan ada satu pun keraguan di hati, untuk mengungkapkan perasaan kasih dan sayang kita pada sahabat kita, sekecil apapun itu. Dan, jika tidak ada yang tersampaikan, jadikanlah sebagai pelajaran untuk tidak ada lagi kata sesal, sekecil apapun itu.

My sister,
Jangan kelu untuk sebuah salam
Jangan kelu untuk sebuah kabar
Jangan kelu untuk sebuah tanya
Jangan pernah kelu untuk sebuah ikatan kasih

My sister,
Punggungku membawa keluhmu
Tanganku mengusap airmatamu
Senyumku menghapus perihmu
Hatiku terbuka untuk setiap lukamu
…terlebih pada bahagiamu…

sejauh apapun langkahmu dariku
just believe in your heart
that I always try to stay closed besides you
I always hold your hand
I always wipe your tears
I always try to feel for what yours

You should know that I care and love you just because of GOD

in memoriam, jelang setahun teman, sahabat, saudara, Anna Siti Herdiyanti. Uhibbuki fillah ya ukhti.

Tuesday, August 14, 2007

Tidak Naif, Tidak Konyol dan...Real

“Sepertinya, abang berbicara dan bertanya dengan abu nawas nih!”, lalu icon tertawa terbahak-bahak muncul pada id YM’nya.

Dia seorang ikhwan, dan menyebut dirinya abang pada saya. Bertemu pada ruang chatting pun tidak sering. Kerap, dialah yang memulai percakapan. Seperti siang menjelang sore itu, karena saya online, mulailah dia menegur dan bertanya, “Sedang apa?” Saya katakan, saya sedang dalam conference room bersama kajian muslimah.

Kembali saya asyik berbicara dengan seorang teman pada kajian muslimah, lalu dia kembali dengan pertanyaan, “Menurutmu berapa persen di Indonesia ini yang bisa disebut wanita sholehah?”. Muncullah kebiasaan saya, membalik pertanyaannya, “Menurutmu seperti apa wanita sholehah itu?”
“Wanita sholehah adalah wanita yang beriman.” Sang ikhwan menjawab.
“Seperti apa wanita yang beriman itu?”, saya keukeuh balik lagi.

Maka keluarlah pernyataan pada paragraph awal. Dia mengatakan semua persepsi tentang beriman itu sama saja pada setiap kepala individu. Pada kenyataannya, ketika saya beri pandangan tentang beriman dan bertaqwa -saya ketahui dari membaca dan murrobiyah- itu seperti kata sahabat Umar (semoga Allah memberi rahmat), “Bagaikan berjalan pada sebuah jalanan penuh kerikil, hingga sangat berhati-hati agar tidak menginjak kerikil-kerikil itu.” Lalu ikhwan ini kembali dengan, “Jadi kamu ingin bilang seperti itu beriman?” Nah, bukankah dari sini sudah jelas, dua orang individu beda dalam melihat apa itu ‘beriman’?

Trik (ia katakan saya memakai trik ini) saya membalik-balik pertanyaannya sungguh tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin tahu dengan jelas bagaimana pemikiran lawan bicara saya, terlebih menyangkut ‘keyakinan’. Saya juga hanya ingin menjaga apa yang keluar dari mulut saya bisa dipertanggung-jawabkan. Tidak mudah! Ini masalah nggak main-main.

“Banyak wanita yang mengaku beriman tapi masih tidak mau tunduk walau sekedar untuk mengenakan kerudung. Wanita mengaku sholat tapi masih memakai pakaian yang kekurangan bahan. Wanita berucap mencintai Pemiliknya, tapi tidak bersedia mengerjakan sebagian perintah-Nya. Beriman dan sholehah tidak bisa dipersenkan, kadar itu sudah menyangkut hubungan kita dengan Sang Pemilik Kehidupan. Tidak akan bisa kita mengkalkulasikannya, sedang ‘hati’ itu ada pemiliknya, sang pemilik kehidupan. Kita tidak patut dan tidak berhak untuk berlagak pandai mempersenkannya.”

Demikian jawaban saya. Di katakan oleh ikhwan ini, “Ia sudah bagus dan…Naif!” Alasanya, saya hanya menjawab garis besar dan tidak sesuai dengan realitas. Saya malah senyum. Berdoa agar hati saya tidak menjadi ‘marah’ dan merasa ‘terancam’. Saya juga manusia biasa. Saya harus mempunyai bukti kuat, agar kaum saya dan pergerakannya tidak dianggap sekedar memenuhi ruangan diskusi.

“Akhi yang disayang Allah. Sesungguhnya Allah Maha tahu apa yang kami lakukan. Salah satu contohnya, saya melihat serta bisa merasakan sendiri, teman-teman saya pergi untuk mengisi halaqoh, jauh kepelosok, menembus jalan yang nggak ngenakin perut, masuk ke tempat lokalisasi, memberikan materi pada pelacur-pelacur juga mucikarinya, terpencil dan bisa membuat bulu roma merinding, ditatap dengan mata yang pernuh tanya, kami berusaha untuk tetap khusnuzhon. Teman-teman saya pun rela demi sebuah penghargaan dan cintanya pada Sang Pemilik Kehidupan, walau harus membawa dan menggendong anaknya yang usianya masih bulanan. Kalaupun ini disebut konyol, kami rela, asal tidak konyol dimata Dia. Asal tidak membuang waktu kami konyol begitu saja. Asal kami tidak terpuruk karena telah dicecar sebagai muslimah yang hanya bisa duduk manis di ruang diskusi tanpa usaha memperbaiki muslimah lain. Dan jika masih dikatakan konyol, Dia memberikan kemudahan kepada beberapa ‘PSK’ nya untuk berniat kuat agar stop dari pekerjaannya karena sadar telah salah tempuh selama ini.”

Dalam hati paling dalam, saya sebenarnya sangat bersyukur, lewat seseorang yang mengatakan jawaban saya naif, konyol, tidak sesuai realitas, saya telah ‘ditegur’ dan diingatkan untuk tetap berkubang lebih dalam, memberikan manfaat pada sisa hidup saya yang saya sendiri tidak tahu selesainya. Supaya waktu saya bisa digunakan maksimal. Agar tidak terjerumus dalam kebanggaan diri yang jelas sangat fana. Walaupun manusiawi, perasaan seperti itu, tapi bukankah hanya menyia-nyiakan waktu yang tersisa semakin sedikit? Saya pun hanya bisa berlindung pada Sang Pemilik Kehidupan, apa-apa yang saya paparkan pada ikhwan ini, semoga bukan diterima sebagai keinginan untuk mengumbar-ngumbar. Semoga bisa diterima, sebagai bahan agar kami tidak dikatakan hanya boneka yang siap dipajang, dan kami hanya ingin fitnah tidak berkepanjangan.

Bisakah antum terima?

Kegiatan perempuan pun nggak bisa dikaitkan dengan harus secara nyata turun langsung untuk membantu muslimah lain. Menjadi ibu rumah tangga, memberikan sisi nilai baik pada kehidupan, membimbing anak-anaknya, dan kegiatan yang tak terhitung pada sekali 24 jam, bisa memacu muslimah lain bisa sadar dan ‘melek’, bahwa seorang ibu rumah tangga itu pun bisa kebanggaan tersendiri.

Bisakah antum terima?

Terima kasih jika antum mengerti bahwa begitu berkahnya hidup kami sebagai wanita yang ditaruh pada sudut terpencil seperti ini. Karena, hidup kami bisa sangat keras, bertarung dengan ‘misi-misi’ lain, dalam membenahi kehidupan kami sendiri.

Tidak ada yang konyol dalam hidup jika kita mengusahakannya hanya untuk meraih cinta-Nya.

Jadi teringat apa yang ditulis oleh Abu Fauzan, pada edumuslim.com:
“Sudah berapa banyak, riya’ merusak aktivitas ibadah, dan amaliyah dakwah kita. Ingatlah, dimana ada keikhlashan, disitu ada riya’… yang selalu membayangi, mengancam, dan mengotori niat. Riya’ itu, ibarat semut hitam, diatas batu hitam, di malam yang gelap. Sangat tidak tampak!” (Abu Fauzan)

Tuesday, August 07, 2007

Just a little note...of my soul

Just one click, dan titlenya pun telah berubah…jika kemaren masih ‘welcome to my sweet home’, setelah saya renungi, lebih tepat dengan ‘Just a little note…of my soul’. Ya, seperti itulah yang saya ingin berikan dan pendarkan.

Postingan saya kebanyakan berkisar bagaimana jiwa saya memberikan cermin pada diri saya sendiri. Semampunya, saya mencoba berbagi, karena saya pun tidak tahu dimana ujung dari dunia ini.

Jika, ada yang hanya melengos dan matanya hanya berkelebat menikmati pemandangan dari isi dari blog ini, bisa dimaklumi. Saya tidak akan protes. Seperti itulah fitrahnya. Masing-masing individu berusaha mencari cerita seperti apa yang mereka ingini.

Jika, melihat isi blog ini, masih belum menemukan postingan yang baru, itu bukan kesalahan pada keinginan individu yang dengan baik hatinya mampir kesini. Lebih karena penulis sedang dalam proses merapikan ‘sesuatu’. Menjalani sebuah profesi yang telah dipilihnya. Berlari-lari dengan deadline, yang hampir membuatnya ‘dead’. *smile*

Sekali lagi, just a little note of my soul.

Thursday, July 26, 2007

some stories...

Gambar ini saya ambil sekitar jam 9 malam, daerah gunung sahari, Jakarta. Apa yang menarik? Saya sudah memperhatikan lelaki penjual ini sejak kendaraan saya berhenti karena macet, dan dia lewat, berjalan ditrotoar busway sambil menghitung rupiah yang ada ditangannya. Lalu apa yang menarik? Tidak ada yang menarik! Saya hanya prihatin, pastilah berat kehidupannya. Udara yang dingin bercampur dengan polusi, dia sanggup berjalan sambil menjajakan dagangannya yang saya pikir sangat sulit menarik minat pembeli (who knows?).

Berbanding terbalik pada suatu senja. Saya (lagi-lagi) terjebak macet didaerah kemang. Padahal jalan yang diambil sudah bisa dibilang jalan tikus. Masih saja terdengar tet tet klakson kendaraan. Pada beberapa cafĂ© yang saya lewati, malah duduk beberapa eksekutif muda, baik itu wanita dan pria, berkelakar sambil memegang gelas minuman. Pemandangan yang biasa mungkin. Tapi bagi saya pribadi, miris! Saya tidak tahu apakah mereka mendengar suara adzan atau tidak, apakah mereka bisa membaca jam dipergelangan tangan mereka, yang jelas-jelas mengisyaratkan waktu panggilan “KEKASIH” menggema membelah cakrawala. Mereka terlihat santai dan nggak rikuh. Apa yang menarik? Saya melihatnya dan sadar, dimana sebenarnya kita masih hidup dijaman jahiliyah.

Begitu pahit dan beratnya hidup dikota metropolitan sekelas Jakarta. Kehidupan jalanan yang tidak bisa dikatakan makmur. Gepeng (gembel dan pengemis) dengan mudah kita temui. Menghiba sambil memasang wajah memelas. Ibu-ibu yang membawa-bawa anak balitanya, bahkan yang masih merah, turun kejalan hanya sereceh dua receh penyambung hidup. Masih mampu kita tidak bersyukur dengan kehidupan kita sekarang? Ada satu pemandangan yang ketika itu bisa membuat saya menangis. Pada sebuah pengambilan tiket security di sebuah hypermarket, seorang anak menghampiri kendaraan saya dan berniat menjual sebuah korannya. Abi mengeluarkan *dam’nya karena pada hari itu tidak bisa melakukan sesuatu yang sudah beliau sepakati dalam liqo, memberikannya pada si bocah sembari mengambil korannya, dan berucap, “Untuk kamu semua”. Reaksi si bocah diluar dugaan saya, dengan terbelalak dia memandangi uang itu dan setengah berteriak, “Makasih oom!! Makasihhh!! Heiii aku dapet seginiiiii!!!” pada temannya. Subhanallah, uang itu mungkin bernilai milyaran bagi dia. Dan saya merasa paling miskin di dunia, dengan –sering- tidak sadar menghitung-hitung titipan’NYA.

Ada seorang temen pernah bertanya pada saya, “Seperti apa kehidupan disangatta? Ngapain aja? Nggak ada mall dong ya?”. Kehidupan di Sangatta tidak secepat cahaya, dan tidak selamban keong. Sangat wajar. Bagi pribadi saya, ini ‘dunia sunyi’ saya. Saya bisa mendengar bunyi jangkrik dan burung pada pagi hari. Bahkan dibelakang rumah saya, seekor orang utan malu-malu mau menampakkan dirinya. Di Sangatta saya tidak pernah menemukan gepeng pada setiap perhentian rambu. Udaranya bersih jauh dari polusi. Dan yang pasti saya merasa tenang bisa berdekatan mesra dengan SANG PEMILIK. “Lalu nikmat-KU yang mana yang ingin engkau ingkari?”

Dimana pun kita ‘terlempar’, dibelahan bumi mana pun, tidak seinci pun yang bukan kepunyaan SANG PEMILIK. Lebih bisa dan mampu menggenggam dunia pada tempatnya dan lebih merunduk pada waktu yang semakin menua, adalah sikap bijaksana yang seharusnya kita miliki.


Ps: Jazakumullah khoiron katsiro dihaturkan kepada teman-teman yang sudah mau bertemu dan melepas kangen ketika saya di Jakarta (Rini/bunda Shazma, Shella, Rey, Luky, Uwie/Bunda Key), menyempatkan diri dalam kemacetan dan hujan deras. Juga teteh-teteh nu aya dibandung, akhirnya bisa berjumpa setelah 9 tahun terpisahkan, hatur nuhun pisan. Dan satu neng geulis di Balikpapan (Nita). Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan kalian dan mempertemukan kita pada kesempatan lain. Maaf saya tidak memberi liputannya (remember, I’m not the clever one who can tell some details) , karena sudah ada yang dengan baik hatinya memposting met and greet’nya (Ukhty Luky, Shella, dan Neng Nita)

*Dam: denda berupa uang/barang karena melalaikan satu kesepakatan

Monday, June 04, 2007

Romantic in my Mind

“Ukhty, aku ingin tau seperti apa romantisnya anti dengan abi. Seperti apa ini bisa dirasakan oleh pasangan yang sudah 8thn kenal pribadi? Bisakah anti memberikan masukkan buatku? Aku begitu ingin pasangan romantis seumur hidupku. Kira-kira mungkin ngga ukh?”

“Anti punya bayangan seperti apa romantis itu?”

Wanita ini kemudian mengernyit. Pasti sibuk dengan bayangan sifat romantis yang ada dikepalanya. Saya jadi mencoba meraba-raba juga, hmmm…seperti apa ya romantis ini? Seperi mawar indah merekah nan merah? Seperti manis dan kinclongnya hadiah yang terbungkus ketat oleh kertas kado? Seperti untaian kalimat yang menggelitik telinga membuat dada bergemuruh?

“Mungkin dengan kejutan-kejutan manis ketika pasangan kita memberi kita kado ukh? Atau kata-kata indahnya yang merayu? Dengan setangkai mawar merah, berbisik puitis ‘wajahmu bagaikan rembulan yang membuat darahku berkelebat hilir mudik dalam denyut yang tak terarah’?”

“Bisa saja. Sah dan wajar jika romantis itu dikaitkan dengan hal duniawi seperti ini ukh. Jika demikian, sebaiknya bersiap-siaplah untuk tersentak bahwa Allah itu MAHA PECEMBURU, ketika gelora menyapu dada dan perasaan, sekejap akan sirna oleh kelengahan diri yang lemah. Susah ya ukh, bahasa saya?”

“Anti terlalu puitis dan sedemikian rumitnya memberikan romantis yang anti simpan. Huh! Ayolah ukh, aku tahu, didalam pribadi diammu, pasti ada romantis yang anti ukirkan” memaksa dan menyenandungkan rayuan yang membuat saya tersenyum. Tapi bagaimana romantis itu?

Wujud romantis adalah hal-hal diatas yang pernah bersarang di pemikiran saya pada satu masa dimana segalanya dipandang hanya untuk dunia indah ini. Tidak peduli seperti apa makna romantis itu sebenarnya. Padahal saya sendiri sangat tidak bisa menikmati romantis yang umum terjadi. Ketika seorang pria datang membawa bunga, saya malah sibuk berpikir “Gimana biar bunga ini tidak layu? Tanganku tidak dingin untuk dapat membuatnya terus hidup dan mekar” atau jika seorang teman datang membawa sekotak coklat, saya malah sibuk makan dengan secangkir capucino. Atau jika bingkisan kecil datang, dengan kartu bertulisan “You’re my light, you’re my sunshine, you’re my destiny” saya malah sibuk mencari kata-kata ini pada sebuah lagu.

Saya tidak romantis! (menulis tentang romantis ini pun harus diiringi only hopenya switchfoot, sambil ngopi, biar sisi romantisnya keluar). Tapi saya seorang pengingat yang –cukup- baik (Alhamdulillah). beberapa detil yang terjadi pada kehidupan, bisa dipastikan terekam dengan baik. Walaupun kadang terdengar soak jika diibaratkan sebuah kaset usang. Saya malah tersenyum geli ketika ada surat melayang dengan kata-kata pujian dan sanjungan. Tidak nyata! Pernah ada sebuah tulisan seperti ini “bahagiakanlah dirimu, akan kutunggu kau digerbang –nama perusahaan- dengan sebongkah hati yang merindu”. Tebak apa yang terjadi? Saya celingak-celinguk mencari si penulis ketika saya mulai memasuki gerbang yang dikatakannya sehabis pulang dari cuti. Tidak nyata sama sekali kan? Padahal jika sekarang terjadi, akan maklum dan berpikir, inilah sebuah prosa pengungkapan hati jika berkata dalam bahasa pujangga.

Seorang yang tidak romantis akan mendapatkan pasangan yang tidak romantis atau sebaliknya? Mana yang lebih nyaman? Bisa dibilang soulmate?

Romantis yang ada dalam persepsi saya adalah kesamaan misi dan visi, dan dengan segala kerendahan mau menghormati segala pemikiran dan hijab. Tidak peduli dia dari kalangan mana, dari suku mana, setinggi dan setebal apapun perbedaan yang ada. Saya justru percaya bahwa dari perbedaan itulah romantis tercipta. Memperbaiki sifat yang kurang baik pada pasangan kita juga adalah romantisme yang dibangun atas dasar ingin menerima. Menerima, tapi tidak dengan mata hati yang buta.

Bagaimana saya akhirnya mendapatkan romantisme itu sendiri? Ketika saya akhirnya ‘pacaran’ setelah menikah. Bisa makan berdua, pulang larut, membeli buku, semua dilakukan setelah akad ijab kabul dilaksanakan. Disinilah sisi romantis pada awal pernikahan terjadi. Perasaan asing dan mulai belajar mengenal masing-masing karakter, justru menambah getaran bumbu dari romantis itu. Tahun-tahun dilalui dengan semakin banyak belajar dan menerima, disertai memahami dan bisa mengubah kearah yang lebih baik. Hal-hal ini juga saya temukan pada postingan si penulis - saya banyak belajar dari beliau- tentang romantis.

Bagaimana dengan kalimat yang biasanya juga ingin didengar oleh seorang wanita? Apakah didapatkan pada masa 8thn itu?

“Saya pengen menjadi pacarmu, tapi kita harus menikah dulu”; “Ngga yakin saya menyayangimu? Tidak perlu dijawab, kita belum boleh untuk itu” ; “Saya sedang resah, saya tidak bisa curhat dalam denganmu, sebelum menikahimu” ; ”Saya dan kamu tidak perlu menunggu pendidikan saya selesai, mencintai Rasul adalah menunaikan sunahnya” ; ”Saya belum mengenalmu, baik dalam dan luar pribadimu, jadi tolong ijinkan saya mengetahuinya setelah menikah”. Romantis? Silakan menilai sendiri.

Atau, inilah sedikit ceritanya yang mungkin bisa dikatakan romantis. Ada seorang pria yang dari kecilnya sudah berkecimpung dalam IT World, memberikan beberapa lagu dalam bentuk mp3 pada pasangan wanitanya, berharap sisi romantisnya bisa terkoyak dan tumbuh dengan alami. Meremote lagu-lagu itu langsung pada stasiun kerja teman wanitanya. Bisa memberikan pekikan kecil yang kadang hanya dalam hati wanita. Si wanita pun berpikir, mungkin inilah yang bisa dikatakan romantis. Padahal, pria ini selalu bergumam “Thanks to technology, that I can make your opinion about romantic side in me”. Karena dia sadar dia tidak romantis sama sekali. Lain pihak, si wanita juga pernah terkaget-kaget, ada sebuah benda segiempat terbungkus kertas bendera merah putih, dan catatan kecil dari pemberinya “selamat hari kemerdekaan”. Akhirnya didapati bungkusan itu berisi coklat, dan merdekalah wanita itu dengan mengunyah coklat.

Setelah 8thn kenal pribadi masing-masing? Sisi romantis yang paling dahsyat adalah ‘aku mencintaimu karena pecipta dan pemilikmu”

Tidak akan dinafikan bahwa wanita juga masih ingin romantis yang tidak gombal sama sekali, bukan hanya ingin menyenangkan saja, tapi lebih pada bisa menguatkan dan memberikan ghirah (semangat) pada pribadi masing-masing. Juga mencoba ngga munafik, wanita (saya wanita loh) masih ingin mendengar ‘aku sayang kamu’, bukan hanya diucapkan ketika sedang berdua’an, tapi juga ketika menemukan kesenangan bahkan kepedihan pada diri pasangan kita. Dan bukankah getaran juga bisa didapatkan ketika pasangan kita bisa berubah kearah yang lebih baik, positif dan manfaat. Misal yang biasa terjadi, ketika pasangan kita mulai bisa mengurangi kebiasaan membludaknya emosi, kita harus bisa asih memberinya penghargaan romantisme dengan mengatakan "aku bangga dan menyayangimu".

“Ukhty, bisakah aku seperti dirimu?”
“Anti berhak atas apa-apa yang diridhoi oleh Allah. Anti juga berhak menentukan romantis seperti apa yang anti ingin dapat dan ciptakan. Jadikan perjalanan hidupmu menyenangkan juga membuatmu nyaman. Insya Allah. May Allah bless u and yours”


Saya sedang bersiap-siap ke kota tempat kami bisa menikmati romantis pertama kali. Pulang kampung sekaligus recharge.