Friday, September 28, 2007

Keajaiban Ramadhan


“Sibuk itu indah, maka berbahagialah orang yang disibukkan pada hal-hal yang bermanfaat”

Sebelumnya, saya selalu berpikir-pikir, betapa sibuknya saya akhir-akhir ini, hingga ramadhan terasa cepat berlalu dengan segala aktivitas yang memerlukan stamina lebih fit. Dari awal ramadhan saya sudah mulai menjadi mentor pesantren kilat pada sekolah menengah pertama. Siap dengan segala materi yang bisa saja berubah menjadi sebuah sharing ketika menemukan ‘segmen’ dakwah yang kadang-kadang diluar kendali kita. Melelahkan? Jelas iya. Saya dituntut lebih bisa membagi waktu yang seperti kurang saja. Mulai membuka-buka buku materi, bahkan kadang saya nyeleneh membaca majalah ataupun buku-buku oase yang menumpuk didekat saya. Piuhh! Dilain pihak, saya harus lebih bisa mampu membagi kasih sayang, kesibukan dirumah, dengan selalu mendampingi si sulung yang sudah mulai menikmati ‘nikmatnya’ berpuasa, atau si bungsu yang harus selalu digiring-giring ke tempat-tempat yang jauh untuk sebuah kajian.

Tapi, jangan ditanya, mengenai rasa ‘keajaiban’ dan kekaguman saya pada bulan yang mulia ini. Banyak hal yang indah manakala saya mulai menapaki dengan langkah kecil. Baru dengan langkah kecil, belumlah bisa saya berlari-lari meraihnya. Namun, bahagia saya meluap tanpa bisa dibendung.

Berawal sebelum ramadhan, saya diminta oleh murobbi untuk mengikuti pelatihan menjadi mentor atau dalam bahasa sehari-harinya pembimbing agama islam bagi siswa sekolah atau kampus. Jujur, saya merasa agak kikuk. Bukan apa-apa, tapi lebih pada usia saya yang nggak bisa dibilang muda lagi, apakah mampu membaur dengan siswi sekolah, menjadi aktivis dan membimbing mereka mengenal juga mengarahkan mereka untuk lebih tahu islam sebenarnya? Ragu-ragu, maju mundur, takut tidak mampu sempat saya rasakan. Wajar kan? Saya juga manusia. Tapi, sangat tidak wajar jika perasaan itu dipupuk hingga tumbuh subur, karena saya yakin ragu-ragu adalah tipu daya setan. Jadi jangan ragu! Murobbi saya mengatakan, “Saya memilih anti, karena lebih pas, pas = untuk wawasan (yang suka nge-net biasanya wawasannya luas), untuk gaya bicara dan pergaulan, aktivitas”. Suka nge-netnya yang membuat saya tersenyum-senyum simpul. Dan mulailah, di otak saya terbayang tingkah polah siswi-siswi yang akan saya pegang. Pastilah mereka sangat aktif dengan keingin-tahuan mereka, dan biasanya tidak akan puas dengan hanya satu jawaban. Bukankah seperti itu kita dulu ketika masih dalam predikat siswi sekolah menengah pertama sampai atas?

Apa yang dirasakan untuk pertama kali memulainya di kalangan pelajar? Kikuk? Gugup? Subhanallah, kikuk dan gugup pasti ada. Tapi begitu memasuki kelas, dan melihat wajah siswi yang jumlahnya hampir 30 orang, saya malah merasa tenang, dan memulai sesi 1 jam pertama dengan benar. Maksudnya dengan benar adalah saya berusaha memposisikan pribadi layaknya teman berbagi dengan mereka. Menyentuh nurani mereka dengan kalimat-kalimat yang halus dan cair, mampu menyedot respon baik dari mereka. Mencoba menyikapi seabreg pertanyaan mereka dengan berbagai pendekatan. Memang tidak gampang, tapi saya berusaha tetap memegang filosofi, ‘memberikan bukan karena pandai, bukan karena lebih bisa, tapi lebih ingin berbagi, sama-sama memperbaiki, sama-sama mengingatkan, memberi nasehat, karena seharusnyalah seperti itu seorang muslimah jika hanya ingin ridho dari Allah’. Subhanallah. Saya malah merasa 90 menit setiap sesinya serasa kurang, perasaan dekat dan sayang pada mereka hanya karena Allah mulai terasa. Lalu benarlah, tebar pesona pastilah akan meninggalkan bekas yang mendalam.

Jadilah, saya yang pada dasarnya selalu ingin mencoba dulu, dan tidak akan menyerah sebelum memulai, bismillah mengambil profesi ini, yang bagi saya memang tidak mudah. Profesi ini mempunyai tanggung jawab besar, berhubungan langsung dengan Sang Pemilik Kehidupan. Sebuah profesi yang tak mampu dinilai dengan mata uang dari negara mana pun. Namun, bagi saya, inilah pembelajaran untuk mencapai kesempurnaan memegang amanah sebagai hamba-Nya. Sepatutnya saya bersyukur, karena masih bisa merasakan salah satu dari sekian 'keajaiban' di bulan penuh barokah ini.

Sekarang, bertambah yakin apa yang pernah saya dengar, bahwa jangan merasa tidak mampu jika kita belum pernah mencobanya. Jangan pernah menilai kekurangan pada diri sendiri. Jangan pernah mundur untuk suatu hal yang baik, tapi dengan mengasah dan menempatkan pada porsinya itulah sebaiknya yang harus kita jalani dengan maksimal.

(teruntuk adik-adik mentis di SMP 1 Negeri Sengata, really miss all of our conversation)

Friday, September 07, 2007

Ramadhan adalah Pesantren


Menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, selalu ada sesuatu yang mengharu biru bermain pada kisi kecil dalam jiwa saya. Sesuatu yang selalu membuat saya rindu, dan ingin terus berada dalam suasana khidmatnya bulan penuh maghfirah itu. Sesuatu yang mampu menghantarkan saya pada syahdunya ‘pertemuan’ yang selalu dinanti.

Bukan pemandangan yang baru lagi, kalau bulan ramadhan hampir menjelang, dikota-kota besar, segerombolan orang-orang dengan niat kuat mulai mengumpulkan bahan makanan pokok, berbelanja ini itu, mengeluh dengan melonjaknya kenaikan harga, berkerut-kerut memikirkan menu-menu apa yang akan dihidangkan selama satu bulan ramadhan nanti. Bahkan itu tetap saya temukan hingga saat ini. Di beberapa milis kuliner, bahkan sudah ada promosi kue kering dan katering selama ramadhan. Duh, belum juga ramadhan mulai, sudah pada promosi kue kering segala? Please deh ah…

Hal begini, tak pelak pernah saya alami juga, ketika masih tinggal dengan kedua orangtua. Mulai berbelanja kebutuhan, dan ngider ke toko-toko yang mulai disesaki manusia. Layaknya anak kecil, saya merasa senang saja pada waktu itu. Kue-kue kering sudah saya ancer-ancer yang mana saja. Makanan dan minuman yang enak sudah bermain-main dimata saya. Lalu tanpa sadar cap ‘beginilah ramadhan’ mulai nempel pada otak saya. Walaupun dalam sebulan nantinya, saya dan keluarga berusaha untuk tidak absent taraweh dan tadarus, tapi tetap ada ruang kosong. Hikmah dari ramadhan rasanya kok susah banget didapatnya?

Kemudian tidak berlebihan, kalau saya katakan, khidmat dan hikmah bulan ramadhan bisa benar-benar saya rasakan ketika saya telah berusia 21 tahun. Ketika itu saya dengan beraninya terbang dan hidup ketengah hutan Kalimantan demi sebuah idealisme. Jauh dari peradaban kota, dengan relanya dikelilingi oleh bau asap pabrik, setumpuk kertas, sederet data dan kehidupan monoton serta banyak bergaul dengan kaum adam. Lalu, dimana letak penjelasan pada kalimat ‘khidmat dan hikmah ramadhan bisa benar-benar dirasakan ketika telah berusia 21 tahun’? Coba deh bayangkan! Ditengah hutan yang minim fasilitas, nggak mungkin ada pasar ramadhan, apalagi mau belanja ini itu, lebih baik tidak pernah punya harapan seperti itu deh. Yang ada, malam menjelang ramadhan, di asrama, tempat tinggal saya dan beberapa karyawan wanita, kami mulai berkumpul, saling menangis, saling menguatkan, saling meyakinkan. Menangis karena jauh dari orangtua dan sanak saudara, menangis karena tidak pernah menyangka akan melewatkan ramadhan ditengah hutan. Saling menguatkan dan meyakinkan karena datangnya ramadhan tidak akan membuat kita merugi setitik pun, justru sebaliknya, akan bertaburan pahala dan keberkahan bagi umat manusia yang bertaqwa, gemar bersyukur dan mencintai sesama. Akhirnya kami pun sadar dan melalui malam-malam selanjutnya dengan tadarus bersama. Subhanallah indahnya! Kegiatan setelah itu nggak kalah indah. Setiap subuh, selesai sahur bersama, saya dan beberapa teman wanita akan bergegas ke masjid yang jaraknya sekitar 2km, melewati aliran sungai kecil, melewati rimbunnya pohon besar, melawan rasa kantuk, hanya ingin bisa berjamaah subuh. Lalu ketika masuk saat berbuka puasa, walau hanya dengan secangkir teh hangat, semangkuk mie rebus/goreng, rasanya tetap sama, indah banget. Berlomba ke masjid untuk taraweh pun nggak kalah seru, kami bahkan selalu dinanti oleh sebuah bis besar –yang kasian melihat kami, para wanita jalan di jalanan berdebu- dengan setianya mengantar kami kemesjid. (really miss that moment)

Kalau dipikir-pikir, dimana letak nikmat dan indahnya, jika seperti itu saja cerita yang saya panjang lebarkan?
Mari saya tuntun untuk meraba dan merasakan dimana letaknya. Ketika memasuki bulan ramadhan, kita kerap lupa untuk apa kita masih dipertemukan dengan bulan suci ini. Kita kerap lengah, akan agung dan banyaknya kemudahan yang Sang Pemilik Kehidupan berikan pada kita. Untuk sampai pada bulan ini pun, kita terkadang alpa bahwa ini sudah merupakan awal kebaikan yang DIA berikan. Siapa yang bisa menjamin kita akan dipertemukan pada bulan penuh rahmat ini untuk tahun depan? Adakah yang bisa mencium bau umur akan berhenti dimana?

Memasuki bulan suci ini, kita harus bisa lebih mempersiapkan diri, baik jasmani, mengisi ruh agar bisa lebih bersabar dan ikhlas dalam menjalankannya. Memperbanyak istigfhar dan berupaya lebih mesra berdekatan dengan-Nya. Tidak ada larangan untuk berbelanja ataupun mempersiapkan menu-menu selama satu bulan, tidak ada halangan untuk mengais rejeki dengan mulai mempromosikan usaha, karena saya pun yakin itu untuk kebaikan juga, dan bulan ini memang bulan yang terbaik dari segala bulan. Namun tidak berlebih-lebihan, itu yang lebih penting. Lebih bisa menahan nafsu yang bisa menelan kita hidup-hidup. Lebih mampu menjadikan bulan ramadhan sebagai pesantren, sebagai tempat pembelajaran kita, agar bisa lebih bisa menempa ilmu hidup akhirat.

Insya Allah, kita masih diberi kenikmatan untuk merasakan indahnya ramadhan sampai saat ini. Dengan kemurahan-Nya, menjangkau dan meraih, mengingatkan bahwa kita masih memiliki amanah untuk selalu menyebar ilmu kebaikan. Insya Allah kelak akan dibagikan menjadi wasiat.

"Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lainnya. Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim, Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya pada Hari Kiamat." (HR. Muttafaq 'Alaih)

Marhaban ya Ramadhan…
Selamat menunaikan ibadah shaum ramadhan 1428 H
Minal aidin wal faidzin