Saturday, September 19, 2009

Menemukan Tuhan dalam Ramadhan


“Pernah saya menangis tersedu, mendapati diri harus terpisah bentangan jarak, yang tidak hanya sekedar berbeda waktu, tapi juga suasana dan ramainya, ketika harus berada di tempat sunyi pada saat Ramadhan. Keinginan saya selalu mengakhiri hari demi hari, dengan menyibukkan diri, mengelus mushab dengan sapuan mata, menempelkan dahi serta mencium harum wangi pada lusuhnya sejadah di tiap waktu berharga, tetap saja memagar saya untuk selalu merindukan suasana lain. Betapa sunyinya ditempat saya kini.”

Perempuan itu tetap mengingat bagaimana perjalanan spritualnya. Berada di tengah hutan, menjalani suasana membosankan dari hari ke hari, berujung pada kepasrahannya ketika pilihan di tempat sunyi itu harus ia ambil kala pikuknya ramadhan membahana. Memang ia tak mampu dan tak berkuasa untuk memilih, seperti yang pernah ia akui.

Lalu, benarkah di dunia ini, manusia tidak diberi keleluasaan dalam memilih? Disebut apa namanya, jika ada mudah, setengah sulit dan sulit? Oleh Emha Ainun Nadjib, dari buku “Dari Pojok Sejarah”, dikatakannya, Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya.* Maka tak ayal, hatilah berperan banyak dalam menggerakkan manusia untuk bisa memilih. Menggunakan sinyal dari hati itu sendiri, menuju alam pikiran, lalu berkuasa untuk menentukannya. Lalu cukupkah hati? Kalau memang urusan hati memang susah untuk dielakkan.

Namun, kali ini hati memang tak pernah ingkar pada apa yang disiratkan olehnya. Selalu saja semburat kerinduan justru menjadi salah satu ujung penantian, ketika Ramadhan mulai beranjak, untuk pergi, dan tak pernah berani berjanji untuk bisa datang menemui kita lagi. Hati menjadi pilu, tatkala mendapati diri ternyata tak pernah merasa menjalankan apa yang hati itu sendiri inginkan. Menjadi tak puas dan lalu tak menemukan jalan pulang, ketika begitu banyak pengingkaran dan memudahkan apa yang menjadikan beban, padahal tidak sama sekali.

Tidak rela saya ditinggalkan oleh Ramadhan, tutur perempuan itu lagi. Ia mengakui, keadaan yang memaksanya untuk berada di tempat jauh dari keramaian justru membuatnya begitu mudah membuat lubang pada hatinya, membiarkan Ramadhan menembusnya, beriak-riak masuk dalam aliran darahnya, hingga Ramadhan itu hidup dalam hatinya. Ia bersikukuh, pada Ramadhan ia temukan Tuhan, dan buru-buru ia leburkan diri pada-Nya, walaupun harus terseok-seok. Ia begitu suka cita menunggu kedatangan Ramadhan, sebaliknya, hari-hari menjelang berlalunya Ramadhan ia tangisi, karena merasa masih saja ada yang kurang. Dengan segala ketakberdayaannya, seperti seorang kekasih yang akan ditinggalkan, ia umbar janjinya, akan menunggu hingga kapan pun jua, walau rintangan menghadang, ia bersikeras untuk tetap setia di ujung bumi Tuhan yang terpencil itu. Ia begitu yakin, kecuali ajal yang tak bisa ia singkirkan.

Pada Ramadhan, Tuhan begitu dekat. Indahnya.

Taqaballalahu Minna Wa Minkum
Mina Wa Minkum Taqabbal Ya Karim


Tuesday, September 01, 2009

Malaikat tak Bersayap


Apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Lagi-lagi, pagi itu udara sangat nyaman, semilir, bahkan matahari masih malu-malu menyembulkan pesona emasnya. Pagi itu, bersama seorang teman, seorang istri yang masih belum dikarunia anak, saya menyempatkan waktu diantara hiruknya pekerjaan rumah, untuk pergi ke Sengata Seberang. Tugas kami belum selesai untuk memegang ratusan siswi smp, untuk jadwal pesantren kilat yang terakhir kalinya. Siswi yang jumlahnya ratusan, dan itu berarti ratusan pula tingkah laku mereka, dan runyamnya hanya kami berdua yang bisa datang pagi itu.

“Tidak ada lagi yang bisa dikirim ke seberang?” pagi itu saya menegur salah satu penanggung jawab pesantren kilat ini lewat telepon. Dia hanya meminta maaf, karena beberapa mentor sengaja di taruh di sekolah terdekat, mengingat, hanya kami berdua yang biasanya mau untuk pergi ke pelosok seperti Sengata Seberang.

“Begitu ya? Kami harus memegang ratusan anak itu hanya berdua? Padahal kamu tahu bagaimana mereka, kelakuan mereka yang belum kondusif kan?” saya tidak puas. Suara saya mulai lemas.

Tidak apa-apa, kita akan menanganinya, Mbak, hibur teman seperjalanan. Ya, apapun itu kita hadapi saja. Apapun itu, ini sudah janji. Dan bukan janji asal janji. Ini menyangkut kecintaan, tanpa harus memilih harus ditempat seperti apa kami ditempatkan.

Tapi, semua mesti ada resiko. Semestinya ada satu hal yang harus terjadi, hingga apa yang kita yakini, menjadi kuat dan kokoh. Ban mobil saya tiba-tiba melindas sesuatu ditengah jalan. Sebuah paku besar menancap ajeg dan saya melongo melihatnya. Tempat kami masih jauh dari peradaban bengkel. Telpon genggam kami, langsung mati karena memang baterenya sekarat sejak berangkat. Kami pun berusaha menguatkan hati.

“Mbak, jalan aja pelan-pelan. InsyaAllah akan sampai pada bengkel pertama dijalan besar.” Lagi-lagi teman saya itu menghibur. Tapi wajahnya tidak bisa berbohong. Ia cemas, seperti juga halnya saya. Tapi harus ada keputusan, dan saya mengendarai mobil dengan pelan. Sambil bercerita dan berdiskusi bagaimana hidup kami maknai.

“Aku ingat sekali dengan ucapan suami, jika aku mengeluh dengan segala sesuatu yang saya nggak bisa lakukan. Suami saya selalu bilang, kamu nggak percaya Dia ada? Kamu nggak yakin jika Dia mau, maka apapun kebaikan yang kita inginkan, insyaAllah akan terwujud jika kita berusaha mencapainya. Mbak tahu 'kan, kita memang menyayangi anak-anak disini yang rata-rata jauh dari kesan ramah dan lamban menyerap apa yang kita beri. Kerinduan untuk berada ditengah mereka, terus ada ketika semakin kuatnya kita berusaha memalingkan hati. Kita jaruh cinta, mbak!” terpekur saya mendengarnya. Hingga sebuah bengkel terlihat dari kejauhan, dan kondisi ban mobil sudah tak bisa diselamatkan untuk perjalanan jauh.

Saya menajamkan hati. Otak saya berputar balik pada kejadian beberapa jam lalu sebelum kami berangkat ke tempat jauh ini. Mungkin ada yang tersakiti akan keluhan kami, ada yang hatinya teriris akibat komunikasi yang sedikit melenceng. Mungkin…ya mungkin, teman yang tengah menemani saya, menempuh perjalanan mencari bengkel terdekat, yang sedari tadi menemani duduk bersimpuh dalam mesjid besar yang letaknya di pemukiman penduduk yang padat, adalah seorang malaikat. Dia tidak bersayap, tapi mampu merangkul hati yang mulai basah ketakutan. Dia tidak mempunyai retorika yang teratur namun sanggup membius, menuntun langkah kepercayaan akan satu hal pasti, dimana urutan setelah itu adalah balasan yang setimpal.

Mencapai ikhlas sungguh bukan hal yang mudah untuk bisa dilaksanakan. Terkadang, perlu waktu untuk memahami, mengapa kita harus ikhlas, mengapa kita harus terus memupuknya, memeliharanya, bahkan menjaganya agar tidak tumbang, tetap kokoh, walau apapun yang terjadi. Namun, dari sepagi hingga siang diatas kepala, seorang dapat menjelma menjadi malaikat, meniupkan sepoi makna ikhlas pada relung hati yang mungkin hampir berkarat.

Lalu, apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Saya menemukan malaikat tak bersayap, yang dari bibirnya mengeluarkan mutiara yang sungguh berharga. Dan, ternyata Dia memang ada untuk mencintai.