Saturday, April 04, 2009

Memeluk Bahagia


Saya menegur salah seorang teman yang tengah online beberapa hari yang lalu. Seorang perempuan yang saya kenal dua tahun yang lalu. Bertemu dengannya pun baru sekali. Sosoknya ramah dan mudah bergaul.

Sore itu saya menanyakan kabarnya, kesehatannya, juga tentang pekerjaannya. Obrolan mengalir begitu saja. Hingga menyangkut masalah jodoh. Ada salah seorang teman kami, desas desusnya memutuskan berpisah dari suaminya. Ia telah mempunyai dua orang anak, dan tanpa pekerjaan pula. Ini memang mengejutkan saya. Karena baru dua bulan yang lalu teman saya yang ingin berpisah ini melahirkan. Pukulan ini pastilah berat baginya. Terlebih, keputusan ini ia ambil ketika anak-anaknya sangat memerlukan perhatian kedua orangtuanya, dan ditengah-tengah usahanya mempertahankan biduk pernikahan mereka. Sempat setahun lalu ia mengeluh ingin segera bercerai, tapi urung, entah apa sebabnya, saya pun tak mempunyai hak untuk bertanya.

“Setidaknya aku bisa bercermin pada kehidupan dia, Mbak! Aku jadi banyak memikirkan pernikahan seperti apa, agar ini hanya cukup sekali,”

Ucapan itu terlontar, ketika panjang lebar ia–tanpa saya minta- mengatakan, telah berpisah dengan tunangannya. Padahal rencana pernikahan mereka tinggal tiga minggu lagi.

Saya terhenyak.

Teman yang saya ajak chatting ini memang telah lama menjalin hubungan dengan seorang pria yang tengah bermukim di luar negeri. Dari kisah-kisahnya selama ini, hubungan mereka sangat baik, walau jarak membentang sangat jauh. Komunikasi mereka bangun, karena pada dasarnya dari masing-masing pihak, menginginkan tidak hanya sekedar hubungan tanpa arah. Hingga saya yang mendengar kala itu pun berpikir, mereka pasti bisa mengarunginya.

Pernikahan bukan satu hal yang gampang. Perlu pemikiran dan tapak kokoh dalam menjalaninya. Konon menyatukan perbedaan itulah yang selalu dijadikan alasan hingga mengakhiri masa lajang selalu terhambat. Kerap seorang perempuan terjegal masalah ketidaknyamanannya membuat segala pola pikirnya selama ini harus dibagi dan terbagi. Belum memikirkan betapa susahnya harus menjajagi pribadi masing-masing, jika prosesnya memang tak seperti kebanyakan. Hanya perkenalan lewat seseorang, mengetahui masing-masing misi dan visi, istikharah, dan memutuskan, lanjut atau tidak. Jadi jangan terlalu berharap dengan gaya harus pacaran atau tunangan. Ini malah akan membuat beban, terlebih bagi saya dan teman-teman di sekeliling saya.

Soal misi dan visi, ketika memutuskan melangkah lebih jauh, saya hanya punya pandangan dasar, lelaki, yang akan mendampingi saya haruslah seiman dan mengerti bagaimana menyolehkan keluarganya nanti. Ia haruslah patuh pada segala aturan Pemiliknya, seperti halnya saya belajar untuk mengalirkannya dalam setiap helaan nafas. Mudah? Tentu tidak! Soal patuh pada aturan ternyata juga banyak benturannya. Kerap ini malah menambah ritme langkah selanjutnya. Hingga kerap harus bertanya-tanya bentuk bahagia seperti apa yang ingin diraih.

Bahagia dalam pernikahan itu terpulang pada masing-masing yang menjalaninya. Karena bahagia itu memang dapat dibentuk sedemikian rupa. Masalah tidak seiring sejalan pun tinggal bagaimana kita selalu mau memberikan separuh hati untuk bisa selebar mungkin memuat kata maaf. Rasanya mustahil, jika dua kepala dan dua pribadi harus selalu sama dalam memandang satu masalah. Untuk itulah ikatan suci ini ada, menyatukannya tanpa harus menggeser menjadi pribadi yang diinginkan masing-masing pihak, namun mampu menerima, melengkapi kekurangan dan mengimbangi segala kelebihan. Bagai rembulan dan mentari, mustahil akan menjadi satu dalam penyempurnaan. Namun lihatlah betapa ia dapat menggantikan fungsi satu dengan yang lain. Mengerti pada masing-masing posisi, dimana setiap kita pun akan demikian. Seiring dengan hal ini, kedewasaan akan berkembang, dan bahagia hakiki bisa tercapai. Hingga tak perlu ada perpisahan jika ikatan ini disandarkan dengan kalimat ‘tak cinta lagi’ atau ’telah berbeda dalam penyelarasan pandangan hidup’.

Memeluk bahagia pun terus diupayakan oleh seorang perempuan. Tak ingin dia menyerah, ribuan langkah pun tak akan ia undurkan untuk menjadi satu bait kekalahan. Karena ia pun sadar, ada Tuhan yang terlibat antara ia dan suaminya. Ia mencintai apa yang Dia pilihkan. Ia berpaling pada apa yang Dia elakkan. Jika sampai detik ini denyut pernikahan berdentang semakin membahana, ia yakin itu hanya sebagian nikmat dari sekian ujian yang akan datang.

Indah bukan?


untuk kekasih hati, Akang Indro, terima kasih mau memeluk bahagia selama 1 dasawarsa ini.

Wednesday, April 01, 2009

Peluncuran Buku Bersama; Behind the Scene

Akhirnya, launching novel Vita, Desau Angin Maastricht juga relaunching buku antologi FLP Sengata, Sangatta, Sangat Banyak Cerita, sukses digelar hari minggu 29 Maret 2009, di hotel mesfa mulia, Sengata.

Jujur, kami sempat terkena phobia akan beberapa masalah yang terjadi pada peluncuran pertama di gedung SD 3 YPPSB. Makanya event organizer Arif (Kadiv Humas) diberdayakan, mengingat beberapa orang pengurus cukup sibuk karena dibetot oleh kegiatan yang menggunung selain acara ini. Tapi, phobia tetaplah phobia. Kalau di lain pribadi, phobia biasanya disikapi dengan menarik diri, enggan melakukan sesuatu, atau malah membuat respon yang kurang baik, alhamdulillah itu tidak terjadi pada pengurus FLP Sengata. Bukankah semua ada masanya? Jadi lebih baik bersikap agresif untuk mensukseskan acara ini, ketimbang diam dalam kephobiaan.

Bicara soal phobia, ada yang menggelitik ketika acara ini dilaksanakan. Peserta yang hampir memenuhi ruangan yang berkapasitas 100 orang itu, masih ada yang meningkahinya dengan pertanyaan yang cukup membuat kami, pembicara merasa memang inilah keunikan Sengata ketika menggelar moment seperti ini. Saya, DH Devita, Narima (anggota juga salah penulis antologi FLP Sengata), juga bu Ani Jayadi (KepSek SD 3 YPPSB), patutnya bersyukur, karena hal-hal seperti ini memang jarang terjadi atau kami temui jika menjadi pembicara di tempat lain, selain Sengata. Diantara peserta, ada saja yang bertanya mengapa desau dijadikan judul, atau mengapa tidak menuliskan kehidupan pribadi dalam novel, atau…mengapa ada tulisan berbau takhyul dalam buku antologi FLP Sengata.

Untuk pertanyaan mengapa ada bau takhyul dalam buku antologi FLP Sengata, sebenarnya telah kami pantau dari terbitnya buku antologi secara independent. Waktu itu saya berpikir, lebih baik membiarkan pemikiran tersebut terlibat langsung dalam FLP sendiri. Karena saya yakin, ketika telah terlibat, pikiran tersebut pelan-pelan akan tersaput bersama kedekatannya bersama kami, baik dalam pelatihan maupun interaksi dalam kepengurusan. Bahkan seorang teman yang disentil telah menuliskan artikel takhyul itu, mengatakan ia tak merasa ini cercaan. Ia menanggapi dengan santai, bahwa seorang yang pandai, perlu belajar mencerna dan membutuhkan jiwa yang bersih, serta pikiran yang distel sedemikian rupa agar bisa cepat tanggap dalam menerima hal apapun.

Jika bicara proses, buku antologi ini sempat membuat saya terengah-engah, berlari terus mengejar deadline waktu pelantikan juga peluncuran, yang sempat mundur hingga beberapa bulan. Saat memutuskan indie pun, para pengurus pun tahu inilah konsekuensinya. Ada beberapa artikel yang harus dirombak, walau tidak secara keseluruhan. Otomatis ini memerlukan dasar pemikiran si penulis, mau kemana artikelnya akan dibawa, atau ending seperti apa yang diharapakan. Satu penulis pun bisa memberikan hingga 6 artikel, yang dalam perjalanannya harus disingkirkan hanya menjadi 3 artikel, karena lagi-lagi butuh waktu untuk sekedar mengeditnya.

Buku antologi ini berisi cinta, itu saja. Pertama kali memandangnya, saya yakin semua penulisnya merasakan betapa perasaan diaduk-aduk, karena bahagia. Hasil kerja keras kami selama 3 bulan, bisa terwujud walau sederhana. Bahkan kami pun tetap tersenyum, jika masih saja ada orang merasa tidak memilikinya, hingga menghamburkan kalimat, yang mungkin saja membuat diantara kami merasa terlukai.

Tapi, biarlah saja. Setiap aksi pastilah ada reaksi. Dan biarkan saja reaksi kami bisa tetap santun. Bisa tetap menghormati siapa saja yang ingin mengeluarkan pendapatnya. Toh, kami memang merasa, masih banyak kekurangan dalam penggarapan buku antologi tersebut. Sebagai pecinta dunia tulis dan baca, kami merasa harus tetap berdiri, mencoba memperbaiki, agar kedepannya, kami tetap tersenyum penuh maaf.



Selamat untuk terbitnya Novel, Vita. Dan untuk penulis-penulis buku antologi FLP Sengata. Jalan kita masih panjang dan penuh hal yang menakjubkan.