Thursday, October 23, 2008

Hidup itu Menakjubkan


Hidup itu menakjubkan, bukan?

Seorang perempuan, selama beberapa minggu kembali mengambil jatah cuti, pada libur Raya kemaren. Pulang dan sungkem pada kedua orangtua, serta berkumpul lagi dengan kedua adik perempuannya. Menyenangkan, menyedihkan, menggemaskan serta banyak rasa yang ia rasakan. Menyenangkan bisa berkumpul setelah sekian tahun tak pernah selengkap ini. Menyedihkan karena ketika bisa berkumpul, ada musibah lain yang justru menggemaskan. Ketika takbir bergema, rumah dinas orang tuanya dibobol pencuri, ketika rumah itu mereka tinggalkan untuk berlebaran ke rumah ’asli’ milik orang tuanya. Beberapa barang berharga disikat. Tanpa ampun! Orang tuanya syok. Karena memang tak pernah menyangka akan ada kejadian seperti ini. Setiap tahun beliau berdua memang mengkhususkan untuk ’hijrah’ ke rumah mereka (bukan dinas), merasakan sebentar lalu kembali ke rumah dinas, karena tempat kerja tinggal melangkah dari rumah dinas itu. Dan peristiwa kebobolan itu sedikit menyedihkan bagi salah satu adik perempuan itu. Dia yang baru tahun ini bisa berkumpul, merasa terabaikan. Kehadirannya tak membuat syok orang tua mereka terobati. Setidaknya itulah perasaannya. Dan bagi perempuan itu sangat menggemaskan. Gemas karena tak jelas harus berbuat apa.

Inilah hidup bukan? Apalagi, memang sang penggoda tak akan senang jika kita telah berhasil keluar dari pesantren bernama ramadhan, suci serta bersih dari syak wasangka. Mereka terus bergiat membuat kita lengah, bahkan berpaling dengan memberikan sedikit centilan, hingga kita lupa pada makna serta hikmah yang bisa kita dapatkan. Contoh? Bayangkan ketika kita mengalami serta menghayati hari-hari khusyuk dalam bulan ramadhan. Begitu indah serta segala kegiatan kita benilai ibadah. Rasa lapar serta haus tak pernah dapat menyiksa. Marah, ghibah, mencaci juga membuat orang lain terluka, sedapat mungkin kita hindari. Karena itulah pencapaian yang menjadi mimpi diakhir ramadhan. Hingga di hari suci bernama idul fitri, kita bisa tetap meluruskan apa yang telah kita pupuk selama ramadhan. Namun kenyataan memang tak seindah harapan. Terkadang kita malah mengumbar hawa nafsu. Menyediakan banyak makanan. Berlimpah segala tetek bengek menjelang idul fitri sepertinya pamali jika dilewatkan. Serasa tak akan ada lebaran atau idul fitri jika segala rupa tak tersaji. Atau hal lain, seperti hal ini. Dalam sekejap, segala jerih payah yang orang tua mereka kumpulkan ludes tak bersisa, kesyukuran itu tak lengkap ibu mereka rasakan. Ditambah bertubi-tubi ujian datang. Ibunya seperti tak mempan menerima ucapan pelipur lara dari anak-anaknya. Semua sirna, kebahagiaan lain tak dapat dipandang, pun oleh sebelah mata. Termasuk kebahagiaan dapat berkumpul dengan orang-orang terkasih; diberikan kesehatan; disampaikan pada terakhir ramadhan; serta banyak hal yang kadang tak pernah kita pikirkan.

Inilah hidup bukan?

Hidup, impian yang ternyata tak permah terlintas, bahkan untuk menjadi angan-angan lain dalam benak perempuan itu, juga kedua adiknya. Pastinya, juga tak pernah terpatri dalam pikiran kedua orang tua mereka. Kehilangan benda juga kehangatan dalam suasana suka cita.


Menggemaskan. Karena perempuan itu pun tak bisa berbuat apa-apa, selain membuat ibunya tertawa dengan segala cerita ataupun tingkah konyol, akibat bias rasa itu.

Bahkan dengan kekonyolan ini, saya bertanya, ”Masih bisa kamu tertawa, bahkan seperti tak ingin merasakan ketidak-nyamanan ini?”

”Bukan,” jawabnya lirih, ”Bukan karena saya tak punya rasa empati. Cukuplah saya nelangsa sebentar. Merasakan kesedihan mereka sekejap, lalu segera beranjak untuk tak terlalu terlena pada kesedihan mendalam. Mereka butuh seorang penghibur, dan...hidup terlalu indah untuk diwarnai dengan lara, bukan? ”

Ya, hidup itu menakjubkan!

Teruntuk saudara perempuan tercintaku