Thursday, July 26, 2007

some stories...

Gambar ini saya ambil sekitar jam 9 malam, daerah gunung sahari, Jakarta. Apa yang menarik? Saya sudah memperhatikan lelaki penjual ini sejak kendaraan saya berhenti karena macet, dan dia lewat, berjalan ditrotoar busway sambil menghitung rupiah yang ada ditangannya. Lalu apa yang menarik? Tidak ada yang menarik! Saya hanya prihatin, pastilah berat kehidupannya. Udara yang dingin bercampur dengan polusi, dia sanggup berjalan sambil menjajakan dagangannya yang saya pikir sangat sulit menarik minat pembeli (who knows?).

Berbanding terbalik pada suatu senja. Saya (lagi-lagi) terjebak macet didaerah kemang. Padahal jalan yang diambil sudah bisa dibilang jalan tikus. Masih saja terdengar tet tet klakson kendaraan. Pada beberapa cafĂ© yang saya lewati, malah duduk beberapa eksekutif muda, baik itu wanita dan pria, berkelakar sambil memegang gelas minuman. Pemandangan yang biasa mungkin. Tapi bagi saya pribadi, miris! Saya tidak tahu apakah mereka mendengar suara adzan atau tidak, apakah mereka bisa membaca jam dipergelangan tangan mereka, yang jelas-jelas mengisyaratkan waktu panggilan “KEKASIH” menggema membelah cakrawala. Mereka terlihat santai dan nggak rikuh. Apa yang menarik? Saya melihatnya dan sadar, dimana sebenarnya kita masih hidup dijaman jahiliyah.

Begitu pahit dan beratnya hidup dikota metropolitan sekelas Jakarta. Kehidupan jalanan yang tidak bisa dikatakan makmur. Gepeng (gembel dan pengemis) dengan mudah kita temui. Menghiba sambil memasang wajah memelas. Ibu-ibu yang membawa-bawa anak balitanya, bahkan yang masih merah, turun kejalan hanya sereceh dua receh penyambung hidup. Masih mampu kita tidak bersyukur dengan kehidupan kita sekarang? Ada satu pemandangan yang ketika itu bisa membuat saya menangis. Pada sebuah pengambilan tiket security di sebuah hypermarket, seorang anak menghampiri kendaraan saya dan berniat menjual sebuah korannya. Abi mengeluarkan *dam’nya karena pada hari itu tidak bisa melakukan sesuatu yang sudah beliau sepakati dalam liqo, memberikannya pada si bocah sembari mengambil korannya, dan berucap, “Untuk kamu semua”. Reaksi si bocah diluar dugaan saya, dengan terbelalak dia memandangi uang itu dan setengah berteriak, “Makasih oom!! Makasihhh!! Heiii aku dapet seginiiiii!!!” pada temannya. Subhanallah, uang itu mungkin bernilai milyaran bagi dia. Dan saya merasa paling miskin di dunia, dengan –sering- tidak sadar menghitung-hitung titipan’NYA.

Ada seorang temen pernah bertanya pada saya, “Seperti apa kehidupan disangatta? Ngapain aja? Nggak ada mall dong ya?”. Kehidupan di Sangatta tidak secepat cahaya, dan tidak selamban keong. Sangat wajar. Bagi pribadi saya, ini ‘dunia sunyi’ saya. Saya bisa mendengar bunyi jangkrik dan burung pada pagi hari. Bahkan dibelakang rumah saya, seekor orang utan malu-malu mau menampakkan dirinya. Di Sangatta saya tidak pernah menemukan gepeng pada setiap perhentian rambu. Udaranya bersih jauh dari polusi. Dan yang pasti saya merasa tenang bisa berdekatan mesra dengan SANG PEMILIK. “Lalu nikmat-KU yang mana yang ingin engkau ingkari?”

Dimana pun kita ‘terlempar’, dibelahan bumi mana pun, tidak seinci pun yang bukan kepunyaan SANG PEMILIK. Lebih bisa dan mampu menggenggam dunia pada tempatnya dan lebih merunduk pada waktu yang semakin menua, adalah sikap bijaksana yang seharusnya kita miliki.


Ps: Jazakumullah khoiron katsiro dihaturkan kepada teman-teman yang sudah mau bertemu dan melepas kangen ketika saya di Jakarta (Rini/bunda Shazma, Shella, Rey, Luky, Uwie/Bunda Key), menyempatkan diri dalam kemacetan dan hujan deras. Juga teteh-teteh nu aya dibandung, akhirnya bisa berjumpa setelah 9 tahun terpisahkan, hatur nuhun pisan. Dan satu neng geulis di Balikpapan (Nita). Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan kalian dan mempertemukan kita pada kesempatan lain. Maaf saya tidak memberi liputannya (remember, I’m not the clever one who can tell some details) , karena sudah ada yang dengan baik hatinya memposting met and greet’nya (Ukhty Luky, Shella, dan Neng Nita)

*Dam: denda berupa uang/barang karena melalaikan satu kesepakatan