Saturday, September 19, 2009

Menemukan Tuhan dalam Ramadhan


“Pernah saya menangis tersedu, mendapati diri harus terpisah bentangan jarak, yang tidak hanya sekedar berbeda waktu, tapi juga suasana dan ramainya, ketika harus berada di tempat sunyi pada saat Ramadhan. Keinginan saya selalu mengakhiri hari demi hari, dengan menyibukkan diri, mengelus mushab dengan sapuan mata, menempelkan dahi serta mencium harum wangi pada lusuhnya sejadah di tiap waktu berharga, tetap saja memagar saya untuk selalu merindukan suasana lain. Betapa sunyinya ditempat saya kini.”

Perempuan itu tetap mengingat bagaimana perjalanan spritualnya. Berada di tengah hutan, menjalani suasana membosankan dari hari ke hari, berujung pada kepasrahannya ketika pilihan di tempat sunyi itu harus ia ambil kala pikuknya ramadhan membahana. Memang ia tak mampu dan tak berkuasa untuk memilih, seperti yang pernah ia akui.

Lalu, benarkah di dunia ini, manusia tidak diberi keleluasaan dalam memilih? Disebut apa namanya, jika ada mudah, setengah sulit dan sulit? Oleh Emha Ainun Nadjib, dari buku “Dari Pojok Sejarah”, dikatakannya, Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya.* Maka tak ayal, hatilah berperan banyak dalam menggerakkan manusia untuk bisa memilih. Menggunakan sinyal dari hati itu sendiri, menuju alam pikiran, lalu berkuasa untuk menentukannya. Lalu cukupkah hati? Kalau memang urusan hati memang susah untuk dielakkan.

Namun, kali ini hati memang tak pernah ingkar pada apa yang disiratkan olehnya. Selalu saja semburat kerinduan justru menjadi salah satu ujung penantian, ketika Ramadhan mulai beranjak, untuk pergi, dan tak pernah berani berjanji untuk bisa datang menemui kita lagi. Hati menjadi pilu, tatkala mendapati diri ternyata tak pernah merasa menjalankan apa yang hati itu sendiri inginkan. Menjadi tak puas dan lalu tak menemukan jalan pulang, ketika begitu banyak pengingkaran dan memudahkan apa yang menjadikan beban, padahal tidak sama sekali.

Tidak rela saya ditinggalkan oleh Ramadhan, tutur perempuan itu lagi. Ia mengakui, keadaan yang memaksanya untuk berada di tempat jauh dari keramaian justru membuatnya begitu mudah membuat lubang pada hatinya, membiarkan Ramadhan menembusnya, beriak-riak masuk dalam aliran darahnya, hingga Ramadhan itu hidup dalam hatinya. Ia bersikukuh, pada Ramadhan ia temukan Tuhan, dan buru-buru ia leburkan diri pada-Nya, walaupun harus terseok-seok. Ia begitu suka cita menunggu kedatangan Ramadhan, sebaliknya, hari-hari menjelang berlalunya Ramadhan ia tangisi, karena merasa masih saja ada yang kurang. Dengan segala ketakberdayaannya, seperti seorang kekasih yang akan ditinggalkan, ia umbar janjinya, akan menunggu hingga kapan pun jua, walau rintangan menghadang, ia bersikeras untuk tetap setia di ujung bumi Tuhan yang terpencil itu. Ia begitu yakin, kecuali ajal yang tak bisa ia singkirkan.

Pada Ramadhan, Tuhan begitu dekat. Indahnya.

Taqaballalahu Minna Wa Minkum
Mina Wa Minkum Taqabbal Ya Karim


Tuesday, September 01, 2009

Malaikat tak Bersayap


Apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Lagi-lagi, pagi itu udara sangat nyaman, semilir, bahkan matahari masih malu-malu menyembulkan pesona emasnya. Pagi itu, bersama seorang teman, seorang istri yang masih belum dikarunia anak, saya menyempatkan waktu diantara hiruknya pekerjaan rumah, untuk pergi ke Sengata Seberang. Tugas kami belum selesai untuk memegang ratusan siswi smp, untuk jadwal pesantren kilat yang terakhir kalinya. Siswi yang jumlahnya ratusan, dan itu berarti ratusan pula tingkah laku mereka, dan runyamnya hanya kami berdua yang bisa datang pagi itu.

“Tidak ada lagi yang bisa dikirim ke seberang?” pagi itu saya menegur salah satu penanggung jawab pesantren kilat ini lewat telepon. Dia hanya meminta maaf, karena beberapa mentor sengaja di taruh di sekolah terdekat, mengingat, hanya kami berdua yang biasanya mau untuk pergi ke pelosok seperti Sengata Seberang.

“Begitu ya? Kami harus memegang ratusan anak itu hanya berdua? Padahal kamu tahu bagaimana mereka, kelakuan mereka yang belum kondusif kan?” saya tidak puas. Suara saya mulai lemas.

Tidak apa-apa, kita akan menanganinya, Mbak, hibur teman seperjalanan. Ya, apapun itu kita hadapi saja. Apapun itu, ini sudah janji. Dan bukan janji asal janji. Ini menyangkut kecintaan, tanpa harus memilih harus ditempat seperti apa kami ditempatkan.

Tapi, semua mesti ada resiko. Semestinya ada satu hal yang harus terjadi, hingga apa yang kita yakini, menjadi kuat dan kokoh. Ban mobil saya tiba-tiba melindas sesuatu ditengah jalan. Sebuah paku besar menancap ajeg dan saya melongo melihatnya. Tempat kami masih jauh dari peradaban bengkel. Telpon genggam kami, langsung mati karena memang baterenya sekarat sejak berangkat. Kami pun berusaha menguatkan hati.

“Mbak, jalan aja pelan-pelan. InsyaAllah akan sampai pada bengkel pertama dijalan besar.” Lagi-lagi teman saya itu menghibur. Tapi wajahnya tidak bisa berbohong. Ia cemas, seperti juga halnya saya. Tapi harus ada keputusan, dan saya mengendarai mobil dengan pelan. Sambil bercerita dan berdiskusi bagaimana hidup kami maknai.

“Aku ingat sekali dengan ucapan suami, jika aku mengeluh dengan segala sesuatu yang saya nggak bisa lakukan. Suami saya selalu bilang, kamu nggak percaya Dia ada? Kamu nggak yakin jika Dia mau, maka apapun kebaikan yang kita inginkan, insyaAllah akan terwujud jika kita berusaha mencapainya. Mbak tahu 'kan, kita memang menyayangi anak-anak disini yang rata-rata jauh dari kesan ramah dan lamban menyerap apa yang kita beri. Kerinduan untuk berada ditengah mereka, terus ada ketika semakin kuatnya kita berusaha memalingkan hati. Kita jaruh cinta, mbak!” terpekur saya mendengarnya. Hingga sebuah bengkel terlihat dari kejauhan, dan kondisi ban mobil sudah tak bisa diselamatkan untuk perjalanan jauh.

Saya menajamkan hati. Otak saya berputar balik pada kejadian beberapa jam lalu sebelum kami berangkat ke tempat jauh ini. Mungkin ada yang tersakiti akan keluhan kami, ada yang hatinya teriris akibat komunikasi yang sedikit melenceng. Mungkin…ya mungkin, teman yang tengah menemani saya, menempuh perjalanan mencari bengkel terdekat, yang sedari tadi menemani duduk bersimpuh dalam mesjid besar yang letaknya di pemukiman penduduk yang padat, adalah seorang malaikat. Dia tidak bersayap, tapi mampu merangkul hati yang mulai basah ketakutan. Dia tidak mempunyai retorika yang teratur namun sanggup membius, menuntun langkah kepercayaan akan satu hal pasti, dimana urutan setelah itu adalah balasan yang setimpal.

Mencapai ikhlas sungguh bukan hal yang mudah untuk bisa dilaksanakan. Terkadang, perlu waktu untuk memahami, mengapa kita harus ikhlas, mengapa kita harus terus memupuknya, memeliharanya, bahkan menjaganya agar tidak tumbang, tetap kokoh, walau apapun yang terjadi. Namun, dari sepagi hingga siang diatas kepala, seorang dapat menjelma menjadi malaikat, meniupkan sepoi makna ikhlas pada relung hati yang mungkin hampir berkarat.

Lalu, apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Saya menemukan malaikat tak bersayap, yang dari bibirnya mengeluarkan mutiara yang sungguh berharga. Dan, ternyata Dia memang ada untuk mencintai.

Tuesday, August 25, 2009

Pijar Cahaya Ramadhan


Apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Jelang Ramadhan, hujan turun seperti ratusan jarum pagi itu. Sedari subuh, tanah sudah basah dan mengeluarkan bau khas. Walau rasanya memang tak menyangka, mendekati Ramadhan, hujan justru tumpah ruah. Padahal sebelumnya, panas hingga mencekik kering tenggorokan kadang menjadi keluhan di siang hari.

Ini anugerah. Ini keajaiban. Sementara harus menyingsing beberapa rapat sebelum pergi, sempat terpikir mengapa kali ini sedikit resah ketika bulan mulia ini mulai dijelang. Sebenarnya bukan karena resah akan kehadirannya, yang sejak berakhir setahun lalu justru selalu dirindukan. Namun resah karena kali ini mengenai persiapan untuk mengisinya, memcoba memberinya arti tak ternilai, tidak begitu maksimal seperti tahun-tahun lalu.

“Entah ini faktor semakin kurangnya kita menghayatinya, ataukah memang ini ujian bagi kita yang merasa selalu gagah ketika bertemu Ramadhan, hingga Tuhan sedikit memberikan sentilan pada kita?”

Teman saya benar. Maka berangkatlah saya meninggalkan Sengata yang biasanya hiruk pikuk menjelang Ramadhan telah dirasa sebulan sebelumnya, namun tidak kali ini. Segelintir agenda penting, malah harus tumpang tindih, berubah jadwal ataupun batal sama sekali, karena tidak terjalinnya koordinasi yang mumpuni. Mungkin inilah keputusan dari sebagian diri saya yang ingin memerdekakan diri dari ketidakpuasan dalam menyikapi, pergi ke satu tempat penting lainnya, dan meninggalkan sedikit semburat bilur yang entah apa namanya.

Hingga sampailah pada perjalanan yang melelahkan, menguras tenaga karena harus menghadapi sidang bermalam-malam, beradu argumentasi, yang justru mampu memberikan nuansa lain. Kegiatan rapat yang baik esensi, juga peserta sangat berbeda dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, memberikan satu warna tersendiri, yang dominan sama-sama dirasakan oleh peserta yang lain.

Tuhan sedang mengajak bercanda, Panas berbulan-bulan, dapat Ia teduhkan dengan derai hujan yang jatuh dari pori-pori langit. Gersangnya perasaan karena merasa tidak mendapatkan keteduhan seperti biasanya, bisa Ia payungi dengan kesempatan mengalami hal-hal diluar batas perkiraan manusia. Jika jauh di ujung timur peta Kalimantan, rutukan serta gerutuan tak jelas ada, namun tidak ditempat lain, yang nun jauh pula. Cahaya itu jelas pada nafas lelah serta gantungan hitam yang menggelayut di mata, akibat tidur yang selalu berakhir malam, hingga tawa kami serta tangisan ketika harus berpisah, semakin terasa. Awal hari-hari menjelang Ramadhan, kami dipertemukan dalam perburuan buku, perburuan di pasar tradisional, perburuan waktu disesela tea break, perburuan dengan peserta lain untuk mendapatkan dukungan, perburuan menggali ilmu dari para senior ditingkahi keragaman tingkah polah, karena asal kedatangan peserta satu dengan yang lainnya berbeda. Uniknya walau kami tak pernah bertemu sebelumnya dengan beberapa peserta dalam satu tim, tapi kebersamaan itu sangat mengikat kuat. Dan.. sekali lagi, benarlah, Tuhan sedang bercanda.

Ini realita. Dimana kita merasa akan kemunduran satu hal, yang pernah sangat begitu dinamis, lalu kemudian jika secuil kecewa ada, sangatlah wajar. Apalagi banyak harapan yang digantungkan pada langit-langit menjelang Ramadhan. Dan disinilah, skenario lain pun dirancang Tuhan. Lalu menjadi pentinglah kepergian ini. Menjadi satu kenyataan, bahwa ada rasa lain di tempat yang berbeda. Menjadi sadar bahwa, tak seharusnya kita selalu berada di area nyaman, dimana selalu mendapatkan kemudahan. Menjadi ingat bahwa dimana pun itu, selama masih di bumi-Nya, pijar-pijar cahaya-Nya dapat dengan mudah diraih, digenggam dan kembali di pendarkan memenuhi relung hati dengan khidmat.

Apa kabar Ramadhanmu kali ini?

Syahdu, penuh dengan luapan rasa dan hanya Dia yang tahu.

Saturday, April 04, 2009

Memeluk Bahagia


Saya menegur salah seorang teman yang tengah online beberapa hari yang lalu. Seorang perempuan yang saya kenal dua tahun yang lalu. Bertemu dengannya pun baru sekali. Sosoknya ramah dan mudah bergaul.

Sore itu saya menanyakan kabarnya, kesehatannya, juga tentang pekerjaannya. Obrolan mengalir begitu saja. Hingga menyangkut masalah jodoh. Ada salah seorang teman kami, desas desusnya memutuskan berpisah dari suaminya. Ia telah mempunyai dua orang anak, dan tanpa pekerjaan pula. Ini memang mengejutkan saya. Karena baru dua bulan yang lalu teman saya yang ingin berpisah ini melahirkan. Pukulan ini pastilah berat baginya. Terlebih, keputusan ini ia ambil ketika anak-anaknya sangat memerlukan perhatian kedua orangtuanya, dan ditengah-tengah usahanya mempertahankan biduk pernikahan mereka. Sempat setahun lalu ia mengeluh ingin segera bercerai, tapi urung, entah apa sebabnya, saya pun tak mempunyai hak untuk bertanya.

“Setidaknya aku bisa bercermin pada kehidupan dia, Mbak! Aku jadi banyak memikirkan pernikahan seperti apa, agar ini hanya cukup sekali,”

Ucapan itu terlontar, ketika panjang lebar ia–tanpa saya minta- mengatakan, telah berpisah dengan tunangannya. Padahal rencana pernikahan mereka tinggal tiga minggu lagi.

Saya terhenyak.

Teman yang saya ajak chatting ini memang telah lama menjalin hubungan dengan seorang pria yang tengah bermukim di luar negeri. Dari kisah-kisahnya selama ini, hubungan mereka sangat baik, walau jarak membentang sangat jauh. Komunikasi mereka bangun, karena pada dasarnya dari masing-masing pihak, menginginkan tidak hanya sekedar hubungan tanpa arah. Hingga saya yang mendengar kala itu pun berpikir, mereka pasti bisa mengarunginya.

Pernikahan bukan satu hal yang gampang. Perlu pemikiran dan tapak kokoh dalam menjalaninya. Konon menyatukan perbedaan itulah yang selalu dijadikan alasan hingga mengakhiri masa lajang selalu terhambat. Kerap seorang perempuan terjegal masalah ketidaknyamanannya membuat segala pola pikirnya selama ini harus dibagi dan terbagi. Belum memikirkan betapa susahnya harus menjajagi pribadi masing-masing, jika prosesnya memang tak seperti kebanyakan. Hanya perkenalan lewat seseorang, mengetahui masing-masing misi dan visi, istikharah, dan memutuskan, lanjut atau tidak. Jadi jangan terlalu berharap dengan gaya harus pacaran atau tunangan. Ini malah akan membuat beban, terlebih bagi saya dan teman-teman di sekeliling saya.

Soal misi dan visi, ketika memutuskan melangkah lebih jauh, saya hanya punya pandangan dasar, lelaki, yang akan mendampingi saya haruslah seiman dan mengerti bagaimana menyolehkan keluarganya nanti. Ia haruslah patuh pada segala aturan Pemiliknya, seperti halnya saya belajar untuk mengalirkannya dalam setiap helaan nafas. Mudah? Tentu tidak! Soal patuh pada aturan ternyata juga banyak benturannya. Kerap ini malah menambah ritme langkah selanjutnya. Hingga kerap harus bertanya-tanya bentuk bahagia seperti apa yang ingin diraih.

Bahagia dalam pernikahan itu terpulang pada masing-masing yang menjalaninya. Karena bahagia itu memang dapat dibentuk sedemikian rupa. Masalah tidak seiring sejalan pun tinggal bagaimana kita selalu mau memberikan separuh hati untuk bisa selebar mungkin memuat kata maaf. Rasanya mustahil, jika dua kepala dan dua pribadi harus selalu sama dalam memandang satu masalah. Untuk itulah ikatan suci ini ada, menyatukannya tanpa harus menggeser menjadi pribadi yang diinginkan masing-masing pihak, namun mampu menerima, melengkapi kekurangan dan mengimbangi segala kelebihan. Bagai rembulan dan mentari, mustahil akan menjadi satu dalam penyempurnaan. Namun lihatlah betapa ia dapat menggantikan fungsi satu dengan yang lain. Mengerti pada masing-masing posisi, dimana setiap kita pun akan demikian. Seiring dengan hal ini, kedewasaan akan berkembang, dan bahagia hakiki bisa tercapai. Hingga tak perlu ada perpisahan jika ikatan ini disandarkan dengan kalimat ‘tak cinta lagi’ atau ’telah berbeda dalam penyelarasan pandangan hidup’.

Memeluk bahagia pun terus diupayakan oleh seorang perempuan. Tak ingin dia menyerah, ribuan langkah pun tak akan ia undurkan untuk menjadi satu bait kekalahan. Karena ia pun sadar, ada Tuhan yang terlibat antara ia dan suaminya. Ia mencintai apa yang Dia pilihkan. Ia berpaling pada apa yang Dia elakkan. Jika sampai detik ini denyut pernikahan berdentang semakin membahana, ia yakin itu hanya sebagian nikmat dari sekian ujian yang akan datang.

Indah bukan?


untuk kekasih hati, Akang Indro, terima kasih mau memeluk bahagia selama 1 dasawarsa ini.

Wednesday, April 01, 2009

Peluncuran Buku Bersama; Behind the Scene

Akhirnya, launching novel Vita, Desau Angin Maastricht juga relaunching buku antologi FLP Sengata, Sangatta, Sangat Banyak Cerita, sukses digelar hari minggu 29 Maret 2009, di hotel mesfa mulia, Sengata.

Jujur, kami sempat terkena phobia akan beberapa masalah yang terjadi pada peluncuran pertama di gedung SD 3 YPPSB. Makanya event organizer Arif (Kadiv Humas) diberdayakan, mengingat beberapa orang pengurus cukup sibuk karena dibetot oleh kegiatan yang menggunung selain acara ini. Tapi, phobia tetaplah phobia. Kalau di lain pribadi, phobia biasanya disikapi dengan menarik diri, enggan melakukan sesuatu, atau malah membuat respon yang kurang baik, alhamdulillah itu tidak terjadi pada pengurus FLP Sengata. Bukankah semua ada masanya? Jadi lebih baik bersikap agresif untuk mensukseskan acara ini, ketimbang diam dalam kephobiaan.

Bicara soal phobia, ada yang menggelitik ketika acara ini dilaksanakan. Peserta yang hampir memenuhi ruangan yang berkapasitas 100 orang itu, masih ada yang meningkahinya dengan pertanyaan yang cukup membuat kami, pembicara merasa memang inilah keunikan Sengata ketika menggelar moment seperti ini. Saya, DH Devita, Narima (anggota juga salah penulis antologi FLP Sengata), juga bu Ani Jayadi (KepSek SD 3 YPPSB), patutnya bersyukur, karena hal-hal seperti ini memang jarang terjadi atau kami temui jika menjadi pembicara di tempat lain, selain Sengata. Diantara peserta, ada saja yang bertanya mengapa desau dijadikan judul, atau mengapa tidak menuliskan kehidupan pribadi dalam novel, atau…mengapa ada tulisan berbau takhyul dalam buku antologi FLP Sengata.

Untuk pertanyaan mengapa ada bau takhyul dalam buku antologi FLP Sengata, sebenarnya telah kami pantau dari terbitnya buku antologi secara independent. Waktu itu saya berpikir, lebih baik membiarkan pemikiran tersebut terlibat langsung dalam FLP sendiri. Karena saya yakin, ketika telah terlibat, pikiran tersebut pelan-pelan akan tersaput bersama kedekatannya bersama kami, baik dalam pelatihan maupun interaksi dalam kepengurusan. Bahkan seorang teman yang disentil telah menuliskan artikel takhyul itu, mengatakan ia tak merasa ini cercaan. Ia menanggapi dengan santai, bahwa seorang yang pandai, perlu belajar mencerna dan membutuhkan jiwa yang bersih, serta pikiran yang distel sedemikian rupa agar bisa cepat tanggap dalam menerima hal apapun.

Jika bicara proses, buku antologi ini sempat membuat saya terengah-engah, berlari terus mengejar deadline waktu pelantikan juga peluncuran, yang sempat mundur hingga beberapa bulan. Saat memutuskan indie pun, para pengurus pun tahu inilah konsekuensinya. Ada beberapa artikel yang harus dirombak, walau tidak secara keseluruhan. Otomatis ini memerlukan dasar pemikiran si penulis, mau kemana artikelnya akan dibawa, atau ending seperti apa yang diharapakan. Satu penulis pun bisa memberikan hingga 6 artikel, yang dalam perjalanannya harus disingkirkan hanya menjadi 3 artikel, karena lagi-lagi butuh waktu untuk sekedar mengeditnya.

Buku antologi ini berisi cinta, itu saja. Pertama kali memandangnya, saya yakin semua penulisnya merasakan betapa perasaan diaduk-aduk, karena bahagia. Hasil kerja keras kami selama 3 bulan, bisa terwujud walau sederhana. Bahkan kami pun tetap tersenyum, jika masih saja ada orang merasa tidak memilikinya, hingga menghamburkan kalimat, yang mungkin saja membuat diantara kami merasa terlukai.

Tapi, biarlah saja. Setiap aksi pastilah ada reaksi. Dan biarkan saja reaksi kami bisa tetap santun. Bisa tetap menghormati siapa saja yang ingin mengeluarkan pendapatnya. Toh, kami memang merasa, masih banyak kekurangan dalam penggarapan buku antologi tersebut. Sebagai pecinta dunia tulis dan baca, kami merasa harus tetap berdiri, mencoba memperbaiki, agar kedepannya, kami tetap tersenyum penuh maaf.



Selamat untuk terbitnya Novel, Vita. Dan untuk penulis-penulis buku antologi FLP Sengata. Jalan kita masih panjang dan penuh hal yang menakjubkan.

Tuesday, February 17, 2009

Unik itu Seni



"Banyak hal-hal yang tidak terduga dari orang-orang yang saya kenal belakangan ini"

Itu kata salah seorang sahabat saya, ketika siang itu saya dan dia ngobrol membahas beberapa hal. Entah, mungkin karena saya dan dia punya hobi dan kesenangan yang sama, lalu itu semua bisa berlanjut pada pemikiran yang juga hampir mirip. Saya pun belakangan ini berpikir hal demikian. Hm...

Kalau hal yang tidak terduga, mungkin terlampau banyak yang telah kami alami, hanya saja, tekanan kalimat itu baru tercetus akhir-akhir ini. Jika kegelisahan ini baru keluar, lebih mengacu kepada situasi yang ternyata tidak terjadi pada satu atau dua orang saja. Justru sepertinya semua orang-orang di sekeliling menjadi kelihatan belang aslinya. Ataukah saya saja yang baru merasa bahwa ini merupakan buah dari segala lingkup pergaulan yang telah dilakoni selama di kota kecil ini.

Salah seorang teman saya malah mentasbihkan dirinya, sebagai orang yang sangat harus dikasihani, memprihatinkan, karena angan-angannya untuk bisa segera keluar kota, demi sebuah ilmu, terhambat, atau malah harus dikubur oleh jabatannya dalam satu keorganisasian. Memang posisinya cukup penting. Namun dampaknya malah saya tak pernah berpikir bahwa kemudian ia berlaku dengan hal-hal yang tak terduga, dengan gayanya yang selama ini santai saja, terlihat jaim dan sedikit jutek. Stres kali ya?

Ini merupakan rangkaian. Rentetan dari jaim dan juteknya berimbas pada teman-teman yang lain, yang menimpali dengan kejutekan dan kejaiman pula. Ada yang sengaja mendiamkan, ada sengaja ikut-ikut saja, ada yang malah tidak merasa sama sekali, saking cueknya. Runyamnya, masing-masing posisi menyalahkan, saling mencoba bikin tameng lalu membesarkannya dengan cara sendiri-sendiri.

Keunikan, itulah yang mungkin bisa dibaca dari gejala seperti ini. bagaimana pun manusia diciptakan dengan pola berpikir yang berbeda. Walau sama-sama mempunyai rambut hitam. Setiap orang pasti punya masing-masing tingkat pemahaman, kalau tidak boleh dibilang perbedaan itu terletak pada tingkat cepat atau tidaknya menangkap satu pesan. Seharusnya memang tidak perlu dirutuki, tapi apa bisa? Kita manusia. Mau menyangkal apa?

Keunikan lain, bagi saya –yang pernah merasa dipaksa untuk menyetir sebuah kendaraan organisasi di jalan yang banyak lubang-, ini merupakan angin segar. Betapa tidak? Posisi ini tentunya sebagai ganti ilmu yang ingin ia kejar di luar sana. Sebuah ilmu yang memerlukan waktu dua atau tiga tahun untuk dipelajari, biaya yang tidak sedikit, dan mungkin akan ada ketidakmampuan menggandakan waktu sambil mengurus hal lain. Tapi untuk posisi yang ia terpaksa ambil? Hm, dalam waktu sebulan saja, ia dituntut untuk tanggap, cepat berkoordinasi, teman-teman mendukung penokohannya dengan menaruhnya didepan barisan, serta tak perlu keluar biaya tinggi. Dan,...bayaran untuk dia tidak dapat dihitung. Kasih sayang Tuhannya yang memberikan kesempatan ini, tentunya.

Hal yang tak terduga itu ternyata unik. Keunikan itu perlu dalam berbagai kesempatan, terlebih dalam sebuah organisasi. Walau reaksi untuk keunikan itu, saya harus tergelak hingga megap-megap, karena harus terlebih dahulu memaksakan hati untuk lebih rasional, tapi itulah seninya.

Ya, unik itu seni, bukan?