Saturday, June 14, 2008

Curhat si Penulis


Hey Now, Hey Now
Don’t dream its over
Hey now, Hey now
With the world comes in
They come, they come
To build a wall between us
We know, they won’t win
(Don’t’ dream its over by crowded house)

Perputaran waktu sungguh tak terduga. Kembali mengingat setahun lalu saya harus istirahat sejenak dari rutinitas di tempat terpencil, sekarang, saya pun bersiap, sedikit ingin menyandarkan punggung sejenak, menghalau penat yang tiba-tiba saja mendera. Kelelahan yang terkadang diluar batas kendali emosi saya sebagai manusia biasa, membuat orang-orang di sekeliling saya merasa sedikit ‘teraniaya’.

Yup, saya memang akan mengambil jatah ‘cuti’, untuk sekedar istirahat di kota kelahiran. Berkumpul dengan ibu yang –sering- saya layangkan hati penuh rindu padanya. Berkumpul sejenak sebelum saya bergegas lagi untuk menyiapkan segala sesuatu di kota lain (Kutai Kertanegara) dalam rangka RakorWil FLP. Berkelanjutan dengan keberangkatan ke acara SilNas FLP di Jakarta. Piuh, tetap saja saya ditumpuk tugas.Tapi, no problemo, cinta memang mengalahkan segalanya, inilah tanggung jawab saya sebagai seorang dari pucuk pohon yang sedang mencoba berkembang, menebar daun dan membuat wangi kelopak-kelopak bunganya. Ah, bahasa aneh!

Kemaren, saya sempat menerima SMS dari seorang teman, yang saya kenal setahun lalu dari acara kopdar di Jakarta, “Asslkm, Mbak Rien, lagi dijakarta ya? Ketemuan yuk! Wass.” Jadi senyum-senyum sendiri, jadi pengen senyum selebar mungkin. Ternyata saya masih punya teman yang –juga- rindu akan hadirnya saya. atau terbiasa kopdar jadi siapa aja diajak kopdar? Hehehe,…jangan marah ya neng! Lalu my dear Uwie, udah nelpon (walau sekali tidak bisa saya angkat karena saya sedang syuro –rapat), menanyakan,"Kamu dimana Rien?" saya yang kebingungan dengan tanpa dosa menjawab, “Di Sangatta!” dan kami pun tertawa lirih, karena kesalahan informasi, yang ia kira saya sudah dijakarta sejak tanggal 10 juni lalu. Hm…

Saya memang akan berangkat, itupun dalam rangka ‘kerja dinas singkat’ yang harus saya tunaikan. Tanpa pasangan romantis, seperti setahun yang lalu. Karena, kami punya masing-masing tugas pada masa liburan kali ini.

Hh...postingan kali ini, sekedar mencoba melepas beban di segala penjuru tulang belulang yang saya miliki. Biarlah ia menguap, membekas menjadi tanda, bahwa banyak cinta dalam mengukir peradaban.

Teman,
Maaf jika banyak hal dan tugas yang ku pacu untuk gerak kita
Maaf jika kuabaikan segala resah serta gelisahmu dalam ruang lain
Teman
Seperti halnya nafas yang ku persembahkan demi Maha Pemilik Cinta
Langkah kita pun sengaja ku arahkan pada tujuan yang sama
Yakinlah,
Banyak cinta dalam setiap tegur sapaku
Banyak cinta dalam setiap tatapanku
Banyak cinta di setiap lekuk ukiran yang kita pahat
Percayalah,
Aku pun masih berjalan di garis ‘belajar’
‘Belajar’ untuk membangkitkan cinta dalam pergerakan kita
Dan…
Maafkan diri yang fana ini
Jika kalimat cinta belum tersampaikan seluruhnya


teruntuk sahabat seperjuangan di FLP Sangatta, tersenyumlah walau onak duri masih ada di jalan yang kita lalui

Monday, June 02, 2008

Colour of My Sons


Tahun ajaran baru kali ini, selain kegembiraan untuk 2 buah hati saya, juga kesedihan (nggak penting) buat saya. Bisa berlibur, bertemu keluarga besar di luar kota Sengata, sekaligus meregangkan otot yang telah –hampir- kaku selama kurang lebih 6 bulan bergelut dengan kehiruk-pikukan kota sengata, pastinya ditunggu. Namun perasaan lain ada, ketika mengingat tahun ajaran baru besok adalah semakin sorenya si sulung, Jihad, bisa pulang kerumah. Sudah menjadi konsekuensi. Dari taman kanak-kanak, kami memilih menyekolahkannya di sekolah islam terpadu, yang jam belajarnya selesai pada pukul 14.00 atau jam 2 siang. Hingga kelas 2 ini, Jihad sangat menikmati untuk tetap berada di sekolah hingga jam 2. Bahkan beberapa hari ini, dia sangat susah untuk tidur siang. Staminanya seakan berada pada tingkat ‘habis di-charge’, semakin ada saja energinya untuk menolak istirahat siang. Walaupun, rutinitasnya setelah di rumah dia lakukan, namun yang satu ini, seperti ia kondisikan untuk kelas 3 nanti.

Maksudnya?

Ya, kelas 3 nanti, Jihad akan berada disekolah hingga jam 4 sore. Otomatis, kebersamaan kami harus lebih terletak pada kualitas. Ditambah kesibukkan sebagai aktivis pun telah menyita saya selama hampir setahun ini. Kadang di akhir pekan pun, saya habiskan sedikit waktu untuk berinteraksi dengan kegiatan yang seakan mudah menggunung. Serta merta, saya pun telah siap dengan jadwal untuk bulan berikutnya.

Membicarakan kesedihan (paragraf sebelumnya bukan kesedihan), saya sebenarnya telah berlaku egois pada bungsu saya, Kareem. Sejak akhir tahun lalu (awal tahun ini), Kareem sibuk merengek ingin sekolah. Segala pernik sudah sering ia kumpulkan. Tas pun siap dengan isinya setiap pagi, mengawali kesibukan saya selain mempersiapkan yang lain. Dimana egoisnya? Saya masih menahannya untuk bisa menemani saya selama dirumah. Segala cara saya kerahkan agar kareem melupakan keinginan sekolahnya untuk sementara waktu. Setiap ia mulai dengan rengekannya, saya mulai berdendang dan berlaku seolah-olah menjadi guru yang menyambanginya dirumah. Kareem kadang terkecoh, namun banyak tidaknya.

Ketika Jihad ingin sekolah, usianya 2,10thn. Saya dan suami, dengan suka cita menyekolahkannya di sebuah Play Group Islam pada tahun 2003. Kemajuannya memang pesat. Dari seorang guru yang berpredikat ’ummi, dia telah ’mengantongi’ beberapa hal sebelum mulai masuk sekolah. Jihad sudah mengenal huruf (latin maupun hijaiyah), mengenal bilangan angka, serta do’a-do’a pendek. Alhamdulillah. Lalu bagaimana dengan Kareem? Kemampuannya kurang lebih sama dengan Jihad, sedikit ’cepat’ dengan melihat contoh yang diberikan kakaknya. Usia hampir 3.5thn, dia dengan PD’nya mengetik namanya pada tuts komputer. Seorang yang mandiri, karena sejak usia 2 tahun dia telah memaksa saya melepas diapersnya, 2.5thn terbiasa buang air kecil pada tempatnya. Mandi dan berpakaian sendiri. Akan sangat tidak suka jika kita –yang sudah besar ini- mencoba membantunya.

Jika pada akhirnya egois saya tidak bisa dipertahankan, saya pun harus rela melepasnya untuk segera (pertengahan juli) memasuki masa sosialisasi, dunia disiplin, dan wawasan luas, di sebuah PG Islam. Dia pun sumringah. Ketika iseng saya dan dia ngobrol, tetap saja saya bisa melihat kemandiriannya;
”Ade nanti sekolah ya? Mau ditungguin sama Mi?”
”Anter aja. Ummi pulang aja lagi, nanti kalau sudah waktunya pulang baru jemput ade ya?”
Ups
,...belum dewasa saja, saya sudah memikirkan ”apakah kamu masih memerlukan ummi, Nak?” Konyol ya!

Saya sangat bisa merasakan, setiap anak mempunyai ciri dan ke’khas’an mereka masing-masing. Setiap anak mempunyai daya pikir dan nalar sendiri. Setiap anak berbeda. Namun kita yang dipanggil orang tua, kadang selalu terjebak pada status kita sebagai ‘orang tua’. Penempatan orang tua yang semestinya semakin bertambah umur akan berubah menjadi ‘teman’ bagi mereka. Kadang terjebak pada kasih sayang yang begitu meluap. Menjadi enggan membiarkan mereka bermain pada dunia yang akan mereka miliki, dan lupa melihat fungsi kita, menyelamatkan dunia mereka baik kini maupun nanti.

For sons of mine
I do love you
I do really want to share my colour with you
Much colour in yours
Colour of Love
Love from the Creator