Wednesday, February 27, 2008

Ketakutan akan Tua


Saya tidak mau tua!

Benarkah? Kesannya egois sekali. Padahal tua akan dilewati dengan pasti oleh setiap makhluk bernyawa. Lalu kenapa tidak mau tua? Jelas-jelas ketuaan adalah hal yang pastinya tidak akan kita dapat tolak.

Iya, banyak yang mengatakan, mereka (kaum perempuan) takut akan ketuaan mendera nantinya. Ketuaan seperti momok mengerikan, hingga diciptakanlah berbagai macam produk, guna menyamarkan kerutan-kerutan wajah. Dari produk pemutih hingga penghilang flek. Dari produk menghaluskan kulit hingga mengencangkannya. Dari harga sekian hingga harga dua kian. Urusan wanita ya?

Saya tidak mau tua!

Mungkin perkataan seperti ini kemudian memacu beberapa pemikiran orang-orang dibalik penciptaan inovasi berbagai macam produk kecantikan. Dengan embel-embel wanita adalah keindahan tiada tara, maka patut diberi pelindung agar keindahan itu tetap terjaga dengan sempurna. Dengan embel-embel seperti itu maka lahirlah kata-kata ‘seni’ jika saja wanita mau saja dieksploitasi dengan hanya selembar benang pada dirinya. Seni darimana? Naudzubillah.

Saya tidak mau tua!

Tapi apakah bisa tidak tua, jika enggan dan tidak terbiasa menyentuh produk-produk yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Apakah bisa tidak keriput, kalau bedak pun masih bedak baby? Apakah bisa tetap mempesona, jika lipstick hanya sebagai pajangan –yang entah kemana sekarang- saja? Ummm…mari saya berpikir sebentar. Oya ya…pernah tahu cerita saya kan? Yang akhirnya untuk pertama kalinya membawa saya pada Top Post Indonesian Spiritual Blog? *jadi malu-malu meong*…

Tuh kan saya nggak pernah berubah. Kalau pada akhirnya ada postingan ini, itu karena saya mengalami lagi kejadian memalukan, ketika sedang berbicara dihadapan siswi-siswi SMP. Waktu itu tanpa dinyana-nyana mereka menanyakan umur saya, ketika menemukan kalimat spontan saya,
“Saya ini udah pernah menjalani usia seperti kalian, udah belasan tahun yang lalu”
lalu salah seorang dari mereka nyeletuk, “Mbak ini umurnya berapa sih? Kok pake kalimat belasan tahun ninggalin umur SMP?”
Saya sebutkan sejumlah angka, yang spontan membelalakan mata mereka. Ngga percaya? Kasian banget saya ya? Udah jujur, malah disangka bohong.

Lalu saya takut tua?

Sebenarnya bukan takut akan keriputnya, atau ciut nyali pada kendornya kulit-kulit yang dulu muda nan kencang, apalagi gentar dengan flek-flek hitam, menggurat keras pada wajah saya nantinya. Percaya deh, dari kecil saya sudah ditempa untuk tegar menghadapi segala sesuatunya. Terbiasa biasa saja menghadapi persoalan hidup, walau kadang melilit perih.

Tapi saya memang takut tua. Dalam arti, saya takut ketika tua dan umur semakin banyak dalam angka, berkurang dalam hal waktu, tapi masih dalam keadaan tidak sadar. Tidak sadar akan umur, tidak sadar akan banyaknya nikmat yang sudah DIA berikan, tidak sadar, tidak sadar …dan tidak sadar untuk selalu berusaha memperbaiki diri. Tidak sadar dengan terus saja melakukan hal yang merugikan, melakukan hal yang membuat orang lain kecewa.

Ya, saya tidak mau tua jika nanti hanya membuat saya tidak sadar…

Bagaimana dengan anda? Takut tua dengan versi apa?


Tuesday, February 12, 2008

Keindahan dalam Bergerak


Dulu, beberapa tahun yang lalu, saya sempat selalu mengurut dada, akibat pertanyaan saya pada seorang teman, selalu dijawab dengan hal yang tidak terpikirkan oleh saya.

“gimana, hari ini jadi ketemu kan?”
“Bentar ukhti, saya liat jadwal saya dulu?”
“Jadwal apa’an sih?” saya bertanya penuh bingung
“iya ukhti, saya liat dulu, takut ada jadwal yang harus saya selesaikan lebih dahuluu”


Wahkeren banget! Saya cuma pengen ketemu dan ngobrol, dan dia harus melihat jadwal acaranya, apakah bentrok atau tidak dengan kegiatannya hari itu. Padahal teman saya itu seorang perempuan yang tidak terikat dengan peraturan baku, seperti harus pergi ke kantor pagi dan selalu pulang sore hari. Namun dia memang seorang aktivis, seorang guru pada salah satu lembaga pendidikan balita.

Sungguh, pada saat itu saya sempat mengalami perasaan heran luar biasa. Sesibuk apa sih dia, sampai harus mempunyai jadwal, bahkan untuk beberapa bulan kedepan pun, telah ada tanggal-tanggal dimana dipastikan dia akan tidak bisa ditemui. Hm, seperti artis saja! Ya, selama ini, dalam pandangan –bak katak dalam tempurung- saya, hanya artis/orang terkenal yang akan mempunyai jadwal kegiatan untuk beberapa bulan kedepan. Ternyata, teman saya sendiri terkait hal ini. Jadi dapat dibayangkan, dia akan ada untuk rapat ini, rapat itu, training ini juga training itu. Piuhh!!!

Sebenarnya kesibukkan dia seperti itu pernah menghantui saya. Apa ya jadinya, ketika saya harus wara-wiri memenuhi beberapa jadwal dalam sehari, namun keadaan saya ternyata tidak memungkinkan? Pikiran ini terbentuk, mungkin karena saya tidak sadar, bahwa segala hal pastilah mempunyai konsekuensinya masing-masing. Jika dulu saya harus bekerja di balik meja, terikat waktu, merasa terbelenggu, itu sebagian besar disebabkan rasa ketidak-nyamanan akan keterbatasan dalam mengapresiasikan diri. Hingga dengan mudahnya saya memilih untuk melepaskan pekerjaan, untuk memulai langkah awal baru yang lebih, dinamis, nyaman, serta memenuhi kisi jiwa yang sempat kosong. Lalu bagaimana dengan teman saya itu? Apakah dia tidak merasa terbelenggu?

Iseng, saya pernah menanyakannya langsung, dan dia hanya menjawab santun disertai senyum,
“Ukhti, duniamu sebenarnya ada pada duniaku yang sekarang aku jalani, cuma dirimu belum sadar saja. Coba deh perhatikan sendiri, saya tidak merasa jenuh, bahkan hidup saya terasa berjalan begitu lincah, sampai-sampai otak saya dipenuhi oleh segala bentuk ide. Menyenangkan!”

Oya? Tapi apakah harus sesibuk itu?
“Ukhti, sibuk ini hanya kelihatan dari kulit luarnya saja. Perasaanmu akan tenang, karena sibukmu untuk kebaikan, jadi untuk apa kita santai namun dalam keburukan?”

Seorang teman lain juga pernah mengatakan,
“Coba lihat aliran air. Kodratnya adalah harus terus bergerak, mengalir jauh, hingga memenuhi anak sungai, bahkan sampai mendesak ke permukaan laut. Begitu pun udara, akan terus berayun membuat sirkulasi baik, memberikan kenyamanan serta kehidupan. Seandainya, air tidak bergerak, tidak mengalir, yang ada adalah bintik-bintik bibit nyamuk, yang kemudian membawa dampak buruk bagi manusia, begitu pula udara, akan terasa pengap dan menyesakkan ketika kodratnya untuk bergerak tidak dapat ia lakukan. Sama halnya dengan manusia, fitrahnya adalah terus bergerak, selama ia masih diberi kesempatan untuk melakukannya.”

@@@

Akhir-akhir ini, ada sebuah pesan singkat yang masuk pada ponsel saya, isinya:
Mb Rien, ada drmh kpn?tlg mb sms ja k HP q,kpn,jm brp,mb bs q ajak ngbrol. Mumet niy! Lg pngn dskusi,tp mb ssah bgt bwt ktemu

Saya tersenyum dan membalas pesan itu:
Sy ada drmh hr…jam…,atau sms aja sy,kpn kmu mo ktmu,sy ushakn u luangkn wkt,smile

Ah, ini namanya senjata makan tuan, atau memang kehidupan itu ibarat roda yang terus bergulir, jadi bisa diatas atau kadang ada dibawah. Namun kenyataanya, memang sesuatu yang bisa bergerak sesuai fungsinya, akhirnya mampu memandang hidup ini selaras dengan warna keindahannya.