Wednesday, January 23, 2008

Good Bye, My Sister...

Kemaren, saya masih melihat senyumnya mengembang, sambil menggenggam tangan saya dan menempelkan ke pipinya, “Assalamu’alaikum mbak!”. Seorang gadis belasan tahun, tingginya sebahu saya, kulitnya hitam, dan wajahnya manis. Matanya bulat, santun dengan kerudung putih yang selalu ia kenakan setiap kali saya mengunjungi sekolahnya untuk membimbing ia dan teman-temannya.

Nama gadis itu mengingatkan saya pada nama seorang artis, yang beken pada saat ia dilahirkan, Sinta Bella. Lalu, ketika saya tanya dan ia sebutkan namanya, saya tersenyum dan dibalas senyum malu menyembul dari sudut bibirnya. Senyum malu seorang gadis yang berbeda 18 tahun dari umur saya.

Ia tekun. Setiap kalimat yang keluar dari bibir saya, ia telaah dengan baik. Setiap saya tatap matanya ia serius menatap balik dalam mata saya. Hingga sesi diskusi bisa sukses saya pancing pertanyaan-pertanyaan, yang pada awalnya enggan ia bagi.

Sejak minggu ketiga desember lalu, saya tidak bertemu dia lagi. Karena memang kami merencanakan untuk off dulu sebelum ujian. Hingga pagi hari pada awal januari, sebuah kabar datang, ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Kala itu, saya pun sedang terserang demam, tidak enak badan, apalagi cuaca memang tidak bersahabat. Dengan perasaan bersalah, saya hanya bisa meneleponnya. Menanyakan kabarnya, lalu menitip doa dan kangen saya buat dia dan teman-temannya. “Terima kasih, mbak. Udah mau nelpon saya.”

Berlalu, sampai pertengahan januari, saya hanya mendapat kabar dari smsnya, bahwa dia tidak bisa mengikuti kegiatan kami seperti biasanya, karena kondisinya yang masih sangat lemah. Saya balas, “Iya de, Mbak ngerti. Cepet pulih ya! Setelah kelar rihlah, mbak dan teman-teman akan jenguk ya. Salam sayang dari mbak”

Yah…saya memang telah menjenguknya. Selesai tiga pekan berturut-turut saya harus berada dilapangan untuk menyegarkan keadaan binaan, saya memang bisa juga menembus rumahnya yang jauh dipelosok. Saya bersama-sama temannya, berkumpul dalam salah satu ruang sempit pada bagian rumah sederhana milik orang tuanya.

Saya memang menjenguknya. Namun, ia tidak bisa menghampiri saya sambil menggenggam tangan saya lalu menempelkan pada salah satu pipinya. Saya hanya bisa melihat senyumnya dalam kaku. Matanya yang basah oleh air mata perpisahan. Tubuhnya yang bersih mulai ditutup kain kafan. Ia membeku. Dan saya memang telah menjenguknya.

Saya teringat kamu. Karena dia pergi juga karena merasakan sesak yang teramat sakit. Dia tidak bisa bernafas. Keadaan ekonomi keluarga yang seadanya menyebabkan terlambatnya pertolongan yang diberikan. Karena, ternyata dia telah merasakan sakit ini sejak lama. Namun tetap hanya bisa dirasakan dan dipendam, mengingat ayahnya hanya bekerja di kebun dan ibu hanya ibu rumah tangga. Subhanallah.

Kalau sekarang hati saya memang tertaut pada sosok mungil ini, walau hanya 7 pertemuan kami melewatkan dengan berdiskusi, tapi ikatan hati saya padanya susah untuk digambarkan. Dalam limbung saya coba menyeka airmata dan melihatnya sekilas. Saya tidak kuasa. Saya tidak mau mengiringinya dengan sesegukan yang pastinya akan sakit.

Selamat jalan, De’. Walau 7 pertemuan kita lalui, tapi banyak hal yang telah kita bagi. Senyum kecil dan kerlinganmu tetap ada dihati. Cukuplah, hati dan jiwamu melayang bersama indahnya kebersamaan kita. Cukuplah, saya menyertaimu walau sesaat. Titip rindu untukmu, serta sahabat yang masih menanti.

“Alangkah sunyinya syurga, jika kita hanya meminta keselamatan bagi kita sendiri. Alangkah sepinya sungai yang mengalir didalamnya, jika kita tidak berusaha mengajak mereka bermain dipinggiran kecilnya. Maka, ajaklah saudaramu yang lain, kelak kalian akan bercengkrama, bercanda dan berkasih-sayang didalamnya, selayaknya ketika kalian saling berkasih-sayang ketika masih berada didunia pinjaman ini.”

mengenang almarhumah, gadis mungil yang telah pergi. Rindu akan sosoknya yang menanti dengan senyum di sudut bibirnya.

Tuesday, January 22, 2008

Sebongkah Rindu pada Sebutir Pasir


Jemaah haji telah banyak yang berdatangan, kembali dari perjalanan yang sangat indah di tanah suci. Mereka layaknya bagaikan pengantin, didudukkan pada jejeran depan, dan kisah mereka ditunggu begitu khidmatnya. Namun mirisnya, terkadang khidmat tidak dirasa, yang ada malah celetukan-celetukan konyol dilempar oleh yang mendengarkan. Atau bahkan banyak para tetangga dan tamu berdatangan, hanya ingin sedikit remeh temeh lalu mulai membungkus beberapa oleh-oleh berupa kurma, kismis ataupun tasbih.

Sekian umur saya, telah terlalu sering saya menyaksikan pemandangan seperti itu. Sangat biasa dan yah…seperti itulah. Namun siapa yang bisa menebak, apa yang akan saya dapatkan pada sekian umur saya kali ini. Ternyata Allah masih berkenan memberikan waktu untuk saya, bisa mendengar cerita indah dari seorang lelaki, suami dari seorang istri, serta ayah bagi anak-anaknya. Dengan berkaca-kaca ia ceritakan bagaimana perasaannya ketika menjalani hari-harinya di tanah suci. Setumpuk haru seakan pecah pada setiap kalimat yang ia urai. Bahkan masih berlanjut ketika tangan saya menari diatas tuts keyboard ini.

Dia –hampir menangis-, mengungkapkan bahwa dia merasa bukan manusia yang bisa dikategorikan baik, berbudi luhur ataupun sederet prestasi yang pantas dijuluki ‘manusia alim’, tapi disitulah ia dapat merasakan bahwa janji Allah tidak akan pernah tidak terpenuhi. Keharuan menyelimuti kisahnya, dengan bertanya-tanya, ia jabarkan, “Apakah ini ujian ataukah nikmat bagi saya ya Allah? Karena saya tahu, nikmat dari-NYA pun merupakan cobaan bagi hamba-hamba yang nista”. Sambil bergetar, dia mengatakan betapa mudah, segala keinginannya dalam kebaikan, baik yang tersurat maupun tersirat, dapat begitu saja terkabul atas kehendak-NYA. Membuat dia merasa tak patut untuk memperolehnya, karena, sebagai penyandang predikat ‘hamba’, banyak hal yang masih ia belum ketahui dan amalkan.

Suasana hening sesaat, yang mendengar kisahnya, masing-masing menatap lelaki itu. Seribu satu macam perasaan berbaur jadi satu. Saya dengan menahan tangis, terus mengalihkan agar air mata tidak tumpah pada saat itu. Mata lelaki itu berair, begitu pula istrinya. Lelaki itu sedang mengumpulkan keindahan yang begitu MAHA INDAH, ia sadar tangisnya adalah kebahagiaan yang meluapkan hatinya, mendidihkan haru biru perasaan cintanya pada SANG PEMILIK. Saya bisa merasakan kerinduan mereka pada tanah suci yang menggelora, ingin tetap disana, tanpa kembali berkubang pada dunia silau nan penuh onak dusta. Ingin selalu beribadah, dan selalu bisa merasakan keindahan masa-masa kehidupan Rasulullah. Saya juga rindu.

Menyitir pada kisah kekasih, teladan kita, Rasulullah SAW, yang melaksanakan haji wada’. Saat-saat yang menggembirakan bagi Rasulullah SAW karena akan menunaikannya untuk pertama sekaligus terakhir kalinya. Namun situasi pada saat itu masih diliputi keraguan dari para sahabat, dengan tindakan beliau yang menanda-tangani perjanjian dengan kaum quraisy, yang ketika itu, dianggap sepertinya sangat merugikan kaum muslim. Tak ayal semua pun terbantahkan, atas janji Allah, pertolongan dari-Nya, dengan bangkitnya umat islam pasca perjanjian itu. Sekaligus penanda, akan berakhirnya masa kerasulan, meninggalkan umat yang begitu Rasul kasihi, karena telah purna pun tugas sebagai pengemban risalah.

Perasaan para sahabat waktu itu pastilah sama dengan perasaan lelaki tadi. Bahwa pertolongan Allah, selalu ada jika hambanya selalu mengingat-NYA, bertaubat serta yakin akan jalan ini hanyalah sebagian kecil jalan yang berliku. Sehinanya manusia, DIA tetap mau menolong, DIA tidak akan melupakan kita, umat kekasih-NYA.

Saya, seperti anda, pastilah ingin menunaikan ibadah ini. Menyempurnakan pondasi yang telah kita sepakati sejak ruh ditiupkan pada jasad. Perasaan rindu itu pastilah mengelegak seiring pertemuan-pertemuan suci yang kadang kita abaikan. Itu akan selalu terngiang di setiap kesempatan, pada setiap helaan nafas. Kita tak akan pernah bisa menampiknya. Walau hanya sebutir pasir di padang arafah, pastilah akan bisa kita rasakan keindahan dari SANG PEMILIK MAHA INDAH.

Sekarang, mampukah kita menjadi sadar dan menyiapkan diri menjadi pengenggam sebutir pasir keindahan itu? Mampukan kita tetap membuat rindu itu membara? Dapatkah kita menerimanya, seandainya kitalah manusia terpilih itu? Bersiaplah!

Buat teman-teman yang baru kembali dari tanah suci, Ahlan wa Sahlan.

Wednesday, January 16, 2008

Seorang Teman atau Sahabat....

Seperti apa teman bagimu?

Teman bagi saya adalah penyemangat hidup yang bisa membakar bara kehidupan dalam diri saya. Terkadang bisa memompa keinginan saya yang sudah sekian lama dibenam pada rutinitas tiada henti.

Teman bagi saya adalah suatu energi. Walau hanya berbicara dalam jendela jarak dan waktu berbeda, namun ajaibnya, terkadang tatapan kami tidak ada perbedaan sama sekali. Jika pun ada, kami seakan bisa menampiknya, dan bisa berpikir bahwa itu sifat lumrah, pasti dimiliki oleh setiap manusia.

Seperti apa sahabat bagimu?

Apa perbedaan teman dan sahabat? Kemampuan saya untuk membedakannya masih pada rank D, samar-samar dalam menguraikan perbedaannya. Ada yang mengatakan, teman adalah sebatas seorang yang bisa ber ‘say hello’, tanpa ada pembicaraan yang dalam. Kalau pun ada, hanya kulit luar tentang aktivitas masing-masing, dan mengenai perasaan, tidak akan begitu bermain. Lalu sahabat? Semakin dalam dan jauh dibanding dari arti seorang teman. Ada kerinduan ketika salah satu tidak mengirim kabar, ada keinginan berbagi, walau hanya canda dan celotehan tanpa arti, yang penting bisa menumpahkan curahan yang berasal dari hati. Kadar percakapan pun tidak main-main. Dari masalah kecil hingga masalah yang menyangkut kerahasiaan. Hanya pada sahabat itu bisa dilakukan.

Lalu apakah bisa, dari seorang sahabat menjadi teman?

Perpindahan status ini bisa disebabkan beberapa faktor. Ketidak-nyamanan, tidak bisa menyimpan rahasia salah satu dari mereka, atau semakin bertambahnya aktivitas diantara mereka, hingga semakin enggan untuk memberikan setumpuk isi hati. Namun, apakah bisa berpindah? Rasanya musykil. Mungkin yang bisa terjadi adalah naiknya predikat dari seorang teman menjadi sahabat. Tapi apa sih yang tidak mungkin didunia ini?

Seringkah seorang curhat padamu?


Seorang pembangkit ‘ghiroh’ saya mengatakan, “Mbak ini ember curhat!”. Jadi tidak usahlah saya katakan, sering atau tidaknya seorang mempercayakan saya sebagai tempatnya dalam berbagi. Semakin seorang mau dan tidak sungkan mengenal saya, kebanyakan dari mereka secara spontan, bisa dan rela membagi kisah mereka. Kerap hadir pada sebuah pesan singkat, mereka memerlukan saya untuk berbagi. Seperti pada postingan ukhti terkasih, bahwa mengatasi masalah dengan masalah, itulah pointnya. Tau artinya?

Lalu dengan siapa kamu akan curhat?

Setiap kali ada yang datang dan curhat pada saya, seketika permasalahan saya sirna. Bukan karena saya jadi lupa apa beban sedang saya tanggung, tapi karena saya merasa curhat mereka adalah jawaban gundah dalam hati saya. Sesederhana itukah? Ya, sangat sederhana. Sampai-sampai, ada yang mengatakan, “apakah tidak ada gelisah dalam dirimu?”. Gelisah itu manusiawi. Karena tidak dapat menyelesaikan satu pekerjaan saja, bisa membuat saya gelisah. Lagi-lagi, gelisah itu manusiawi. Hanya bagaimana kita mengelolanya. Lalu, dengan siapa saya akan curhat? Memang ada seseorang yang bisa menampung cerita sentimentil saya, atau hanya menerima muntahan kata-kata ketidak PD-an saya. Lagi-lagi, kalau pun tidak bertemu dengannya, saya tidak akan kehilangan pegangan, karena cinta saya cuma milik-NYA.

Jadi, kalau ada seseorang yang curhat, berarti dia tidak bisa curhat dengan DIA?

Siapa bilang? Manusia perlu manusia lain untuk berkomunikasi. Berbicara dengan melibatkan perasaan pun tidak ada ganjaran apapun. Karena itulah salah satu fungsi manusia diciptakan berbeda-beda, untuk saling berkasih sayang, ber’amar ma’ruf nahi munkar’ serta saling mengingatkan untuk tidak lepas dari segala sesuatu yang seharusnya memang harus kita jalani dengan baik. Seorang manusia haruslah bisa menjadi cermin bagi seorang manusia lain. Cermin yang bersih, dan memberikan pantulan yang jernih.

Dan, bisakah kamu gambarkan, perasaanmu terhadap teman atau sahabatmu?

Saya punya cinta. Tidak dapat diukir pada pasir, karena akan hilang tersapu ombak. Tidak mampu ditoreh pada batu, akan terkikis pada derai air yang membasahi. Tidak bisa ditulis dengan beribu liter tinta pada ribuan kertas, akan kusam dan termakan waktu.

Tidak peduli seseorang itu punya predikat teman atau sahabat pada sisi kehidupan saya. Bagi saya, mereka tetap energi yang kerap mencharge kemampuan saya dalam mengelola hati agar tetap mencerahkan dengan cinta.

Wednesday, January 02, 2008

Momentum hari ini?


At first we make habbit, at last habbit make you

Pagi buta, diawal tahun baru masehi kemaren, saya merasakan hal yang berbeda, di daerah tempat tinggal saya. Sunyi, sepi, tidak seperti hari sebelumnya. Biasanya, pagi-pagi sekali, selalu ada suara-suara menyenangkan dari berbagai aktivitas. Tapi kali ini bagaikan tak berpenghuni. Ya, bagaimana tidak? Semalaman, mereka (orang-orang yang tempatnya tidak jauh dari rumah saya) ngobrol sambil ketawa-ketiwi, malah sampai berteriak-teriak. Plus meneriakkan berbagai resolusi dengan diiringi petikan gitar. Entah, mungkin ingin melepas tahun baru yang heboh.

Heboh tapi konyol, itu tepatnya, ketika seseorang mulai berkoar-koar tentang beberapa resolusi yang harus ia capai untuk tahun mendatang. Ibarat seekor kerbau yang dicocok hidungnya, melangkah kemana pun ia digeret, mengikuti trend orang-orang yang mulai membidik moment ini dengan hingar-bingarnya, hanya untuk menyambut detik-detik pergantian tahun masehi ini.
“Aku mau begini…aku mau begitu…pokoknya harus bisa. Semangat!”
Dan tarikan semangatnya kendor ketika mulai menapaki hari-hari di tahun baru, kelelahan karena terpompa oleh perasaan gembira juga terlalu bersemangat dalam menyambut perayaan tahun baru, hingga harus menggantungkan warna hitam di kelopak mata akibat semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Mulai melupakan ambisi. Ujung-ujungnya,

“Yah sama aja ya, nggak ada bedanya dengan tahun kemaren, malah yang lebih gawat, aku stuck! Jalan ditempat!”

“Bagaimana acara tahun barumu?”

Saya pernah ditanya seperti ini, dan seringai selalu menjadi jawabannya. Saya memang tidak pernah intens melewati malam tahun baru seperti yang pernah dilakukan para ABG jaman sekarang. Kalau pun pernah, itu hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu. Dengan berbekal ijin dari orang tua, saya kantongi sim (surat ijin minjam) mobil mereka dan menodong supir untuk membawa saya dan beberapa teman, mengelilingi kota pada malam tahun baru. Ya, hanya ingin keliling kota, melihat suasana –yang katanya- meriah itu. Ternyata? Ah apanya yang indah? Mana yang menyenangkan? Justru saya terkantuk-kantuk didalam mobil. Alhasil hanya pindah tempat untuk tidur saja. Sekali dalam seumur hidup saya pernah melakukan itu.

Positifnya, ada efek jera untuk mengulangi hal yang demikian lagi. Setiap akan datang pergantian tahun masehi, saya berhasil menganggap hal itu biasa saja. Tidak ada rasa penasaran, apakah kali ini berbeda suasana dibanding tahun lalu? Dirayakan atau tidak pun, tahun itu akan berganti. Meniup terompet atau tidak pun, tidak akan memperlambat waktu untuk semakin mendekati usia senja. Jadilah, sosok saya yang sangat biasa. Tetap biasa, apalagi ketika usia bukanlah muda lagi. Saya semakin anteng saja dalam sikap, yang sebagian teman saya mengatakannya nggak gaul.

Kembali pada masalah resolusi yang ingin dicapai pada pergantian tahun. Sangat lumrah dan tidak ada legitimasi pelarangan untuk seseorang bermimpi akan perjalanannya pada rentang setahun ke depan. Toh, walaupun harus stuck dan malah mengalami kemunduran, itu pun tidak akan menjadi hukuman atas apa yang diniatkan. Tapi, mimpi adalah sesuatu awal dari sebuah kekuatan untuk bangkit yang harus dimiliki pada diri insan. Dari mimpi, seseorang akan berjuang untuk meraihnya tanpa diembeli kekonyolan dalam menyikapinya. Mulai mimpi, bukan berarti mengakhirinya dengan mimpi juga. Menuangkannya dalam sketsa, membuat perwujudannya, merupakan keberhasilan atas kerja otak kita dalam mengimplementasikan mimpi. Dan yang lebih berfungsi jika kita bisa muhasabah (introspeksi diri), apakah yang telah dilakukan selama setahun kebelakang? Apakah sudah layak kita ini disebuat sebagai manusia? Kalau saja niat masih terkotori dengan satu debu dengki, iri bahkan dendam. Dan kalimat yang lebih tepat mengena, “Apakah yang telah kita perbuat untuk orang lain?” atau, Pernahkah kita memikirkan beribu bahkan berjuta manusia lain, masih hidup dalam pertarungan hanya karena urusan perut? Masih harus bersembunyi di tumpukan puing-puing hasil gusuran rumah mereka?

“Hwaduh…boro-boro untuk orang lain?! Untuk diri sendiri saja masih kelimpungan nggak tau juntrungannya!?”

Begitu ya?

Begini. Suatu pagi dihadapan para sahabatnya, Rasulullah SAW bersabda, “Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya.” “Siapakah diantara kalian yang pada pagi hari ini telah memberi makan orang miskin?” tanya Rasulullah. “Saya”, jawab Abu Bakar. Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah diantara kalian yang pada pagi hari ini menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakar kembali menjawab, “Saya.” Rasulullah bertanya, “siapakah di antara kalian yang hari ini telah mengantarkan jenazah?” (Lagi-lagi) Abu Bakar menjawab, “Saya.” Rasulullah SAW bersabda,
“Tidaklah amal-amal ini terkumpul dalam diri seseorang kecuali ia akan masuk syurga.” (HR Ibnu Huzaimah dalam Shahihnya)

Sepatutnya kita dapat belajar dan mengambil hikmah dari kesigapan Abu Bakar ra. dalam menyikapi setiap kesempatan yang datang padanya, seyogyanya kita bisa mencontoh beliau. Sigap itulah yang harus terpatri pada diri insan. Sigap terhadap segala momentum yang tidak akan kembali menjadi kebaikan jika sedetik kita lengah karenanya. Moment penuh berkah selalu berawal dari pagi hari. Lha, kapan kita bisa menangkap suatu moment dengan baik, jika kita masih saja tidak sigap? Juga, bagaimana menggolkan resolusi, jika pagi di awal tahun baru kita mulai dengan mendengkur dengan sukses?

Selarasnya, jangan pernah puas akan potensi kita yang itu-itu saja. Jika insan sudah merasa puas pada pencapaian keimananannya, tidak akan ada proyek perbaikan diri menuju arah yang lebih lurus dan baik. Padahal, ibarat sebuah kurva, iman selalu mengalami fluktuasi, sebentar di bawah, sebentar di atas.

Selarasnya menautkan pemikiran bahwa menyambut tahun baru, tidaklah harus mengundang penyanyi terkenal, atau band yang ngetop. Ongkang-ongkang kaki di cafĂ©, pub atau restorant bertarif selangit. Menyalakan kembang api dan menembakkan petasan. Meniup terompet sekencang-kencangnya serta memakai topi beraneka warna. Perayaan yang tentunya hanya akan membuang-buang energi dan biaya. Hanya akan mendapatkan mudharat dibalik kesenangan. Membuat lalai, terlena dan melemahkan syaraf kita untuk berpikir, “Apakah yang telah dan belum aku perbuat untuk menjadi orang yang bermanfaat?”.

Bagaimana? sudah menangkap momentum hari ini?

“Waktu kemaren, yang sudah bukan milik kita lagi. Esok h
ari, yang belum tentu kita punyai. Dan sekarang, yang ada ditangan kita” (Hasan Al Bashri)