Wednesday, September 08, 2010

Melembutkan Hati

Sebulan yang lalu, lelaki itu mungkin tidak akan pernah menyangka, hari-harinya akan begitu pilu. Ia mungkin tidak pernah mengira, ketika ramadhan tiba, kehangatan yang selalu ada, akan terenggut. Ia mungkin tak pernah membayangkan, kelak, selesai tarawih, jama’ah mulai meninggalkan tempat satu persatu, bahkan telah hampir kosong, tapi ia, lelaki itu, hanya dapat memandangi putri bungsunya, tertidur lelap di lantai masjid yang dingin.

Sebulan lalu, ia, lelaki itu, baru saja kehilangan istrinya. Istri yang selama ini begitu dicintainya. Ibu dari ketiga anaknya, yang sangat ia percaya mampu mendidik mereka, walau sang istri masih bisa berkarir diluar rumah. Istri yang sangat sabar menghadapi tingkah polah ketiga anaknya. Hanya diam dan tersenyum, ketika rengekan anak-anaknya kerap terdengar diantara warga yang menghadiri pengajian. Ibunya tetap memberi keleluasaan pada anak-anaknya, walau kadang dirasa berlebihan oleh orang lain.


Terakhir bertemu, sekitar bulan Februari. Ketika itu ada pengajian rutin yang diadakan oleh warga komplek. Seperti biasa, ia, lelaki itu datang, bersama istri dan ketiga anaknya. Agak terlambat, hingga istrinya duduk di barisan belakang. Tidak banyak bicara, dan sesekali berbisik, mencoba menegur salah satu anaknya yang aktif kesana kemari. Diantara para ibu-ibu, sang istri pun hanya tersenyum, dan menjawab teguran dengan kalimat-kalimat pendek. Pemalu atau pendiam, saya tidak tahu persis. Karena sang istri jarang terlihat, karena kesibukkannya sebagai karyawan perusahaan. Tapi hanya satu yang saya dengar dan lihat, sang istri sabar sekali menghadapi anak-anaknya. Bagi saya, luar biasa.

Hingga menjelang ramadhan, kabar itu datang, di sela-sela suka cita menyambut bulan suci itu. Kabar pedih bagi lelaki itu. Juga bagi para teman dan tetangga yang mengenalnya dengan baik, ataupun sekedarnya. Sang istri tak pernah menampakkan sakit yang parah. Ia, sang istri, hanya mengeluh pusing. Lalu beberapa saat kemudian koma, dan pergi beberapa hari kemudian. Sungguh, kala itu yang terpikir pada masing-masing kami yang mendengar, adalah tak mengira sang istri pergi begitu cepat tanpa sebab yang terlihat oleh kasat mata. Terlihat baik-baik saja, tanpa gejala yang mengkhawatirkan. Tapi siapa nyana? Bukankah ini salah satu rahasia yang tak pernah mampu kita perkirakan? Kapan pun itu, bukankah kita harus siap? Yang ditinggal maupun yang ditinggalkan harus siap? Kemudian semua menjadi terhenyak dan merasakan perih sembilu milik lelaki beserta ketiga anak-anaknya itu. Betapa dekatnya sebuah hubungan, tetap saja akan ada batas yang menjauhkannya.

Maka selalu terlintas dalam benak, ketika melewati rumahnya yang memang sepi, lalu membayangkan, kesepian itu semakin sempurna dengan tidak adanya istri bagi lelaki itu, dan ibu bagi ketiga buah hati mereka. Melihat ketiga bocah itu bermain di pekarangan, namun tak ada senyum manis yang menyambut dan menemani mereka. Tak ada kesibukkannya mempersiapkan berbuka puasa, karena kepergiannya justru merupakan saat dimana kebersamaan sangat begitu bisa dirasakan. Saat-saat yang pastinya selalu dinanti, selalu akan dikenang. Dan, ia, perempuan itu, memang telah memberi kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh lelaki dan ketiga buah hati mereka.

Menjelang dan selama ramadhan kali ini, pikiran saya sibuk melanglang, termenung, membayangkan seperti apa rasanya jika posisi lelaki itu terjadi pada salah satu diantara kami. Atau mungkin posisi perempuan itu yang akhirnya menuntaskan segalanya. Pikiran saya mencari-cari, harus seperti apakah menghadapinya? Harus seperti apakah menampilkan diri setelah ditinggal oleh seseorang yang setia mendampingi selama ini? Atau, apakah yang tengah dialami seseorang yang telah pergi itu? Harus seperti apakah makhluk yang telah menemukan jalan akhirnya? Apa yang ia alami, di dimensi yang lain? Atau, sungguh, betapa tak kuasanya manusia berpaling dari ajal, walau bulan penuh cinta ini telah tampak untuk disongsong.

Pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun mau tak mau, menuntun jiwa ke dalam sebuah ruangan yang kosong. Hingga terus berpikir, apa saja yang akan menjadi isi dari ruangan itu, agar penghuninya dapat tinggal nyaman.

Hingga menjelang berakhirnya ramadhan, terasalah, mengapa tidak hanya lelaki itu yang merasakan kehilangan. Mungkin –bahkan pasti ada lelaki-lelaki lain, atau perempuan-perempuan lain, dengan usia dan bentuk kehilangan yang beragam. Menjelang berakhirnya ramadhan, segala kegelisahan terjawab. Menghadapkan kita pada kematian, adalah cara Tuhan untuk membuat hati kita yang telah keras dan berkarat, menjadi lembut. Hati yang dengan mudahnya bisa Ia bolak-balik. Hati yang banyak kita lalaikan untuk dijaga. Hati yang semakin hari semakin berkurang kadar sensitivitasnya. Hati yang kita abaikan walau hanya untuk merasakan, bahwa ada takdir di setiap tarikan nafas yang telah diberikan-Nya. Hati yang tidak kita sematkan pada ruangan penuh kasih, pada hal-hal yang menjadi bekal kita kelak ketika kematian itu bukan kita dengar lagi, tapi justru kita alami.

Dan, benarlah! Cara Tuhan untuk melembutkan hati hamba-Nya, jika bukan sebagai peringatan, tentunya sebagai cinta kasih-Nya yang masih mau kita datangi, walau kuantitas serta kualitasnya bukan sebagai hamba yang taat.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dan… Wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu memberikan cara padaku
Bagaimana merawat dan memperlakukan milik-Mu ini
Maka, hancurlah diri yang fana ini sejak dulu
Dan… wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu kutemui
Menyebut nama-Mu di setiap keindahan pada pelupuk mataku
Maka, sungguh… siapa lagi yang akan kutemui kelak?
Dan… wahai Pemilik hatiku,
Maka, sungguh…aku tak tahu jalan pulang
Selain pada diriMu

Wednesday, July 21, 2010

Maka, Terima dan Ikhlaslah

Siang itu saya agak terlambat menjemput bungsu saya, Ziyad. Sengaja sebenarnya, ada beberapa hal yang harus saya selesaikan, hingga mengharuskan untuk terlambat. Dan saya tahu, Ziyad tidak akan kemana-mana, selama saya belum memunculkan wajah saya. Paling jauh dia akan bermain di belakang masjid, di area kantor salah satu orang tua murid. Selain alasan ada pekerjaan menyebabkan saya terlambat, ada sedikit penasaran saja, bagaimana reaksi guru barunya, jika saya belum nampak juga. Ziyad sekarang sudah TK besar, dan gurunya pun baru. Dalam hal ini, guru ke-2 yang baru, sedang wali kelasnya, telah saya kenal cukup baik.

Ketika selesai memarkir kendaraan dan menyelesaikan administrasi si sulung, saya bertemu dengan wali kelas Ziyad sewaktu TK kecil, spontan saya bertanya pada beliau, karena sedari tadi Ziyad tidak terlihat sama sekali. Dan spontan pula beliau melempar tanya dengan salah satu guru (sebut saja guru B), yang tengah duduk di teras masjid, tertawa-tawa, yang notabenenya sekarang memegang Ziyad selama TK besar.

“Bunda, Ziyad dimana?”

“Wah nggak tahu, bun! Dimana ya?” guru B sambil tetap duduk tak berdiri sedikit pun ketika melihat saya –ibunda anak muridnya- yang sedang mencari Ziyad.

Saya tersenyum. “Saya sepertinya tahu dimana Ziyad. Terima kasih.”

Ups, saya cuma nge-tes! Karena saya tahu dimana anak itu biasa berada. Lebih baik saya berlalu, mencari ke tempat biasa (guru kelas A, malah lebih dulu berinisiatif pergi, mencari Ziyad)

***

Kira-kira apa yang dipikiran saya? Atau Anda?

Selalunya saya berpikir dan kilas balik ketika pertama kali saya mengenal bentuk sosialisasi seperti Play Group (PG), Taman Kanak-Kanak (TK), sewaktu anak saya yang sulung mulai menginginkannya. Itu sekitar tujuh tahun yang lalu. Dan percayalah, PG dan TK yang saya kenal itu tak pernah hilang kesan ‘keunggulannya’ hingga sekarang. Walau saya tak mungkin memasukkan anak saya disitu, karena PG dan TK awal itu berada di kota yang berbeda dengan kota, lokasi tempat tinggal kami 5 tahun terakhir ini.

Teman saya pernah mengatakan bahwa, jangan disamakan bagaimana perlakuan antara PG dan TK satu dengan yang lain, terlebih di kota A dengan yang ada di kota B. Akan sulit! Dari sisi keuangan, guru-guru di TK A itu dibayar mahal, berpendidikan, dan diberi pelatihan dengan baik. Di kota B? semua masih standar. Berapa sih gaji guru TK kota B sekarang? Belum kurangnya pelatihan. Huff…

Inilah yang akhirnya saya bantah. Saya kenal baik dengan seluruh guru PG dan TK di kota A. mereka rata-rata lulusan SMU dan D3 saja, dibayar hanya lima ratus ribu rupiah, dan mereka hanya diberikan pelatihan secara mandiri oleh pendiri yayasan.Yang di kota B, saya tahu jelas berapa gaji mereka, bagaimana mereka dimenej, dan berapa rajinnya pelatihan yang membombardir. Lalu teman saya itu berkelit, “Nah,... pendiri yayasannya berarti hebat! Bisa memenej mereka dengan baik.” Inilah tepatnya! Pendiri yayasan yang dikota A adalah 4 orangtua murid yang sangat peduli dengan kemajuan pendidikan anak usia dini (PAUD), tidak hanya dari sisi ilmu, tapi juga akhlak dan empatinya. Maka dengan modal seadanya serta manajerial yang masih ‘culun’ mereka mendirikannya. Hasilnya? Kesan saya terhadap yayasan itu sangat membekas manis dalam ingatan saya. Anak saya tidak pernah tidak disambut dengan super ramah oleh guru-gurunya, ketika baru memasuki pintu gerbang. Ketika pulang sekolah, anak saya tidak pernah keluar pagar sekolah dengan kemudian berkeliaran entah kemana, dan ketika melihat saya datang, gurunya langsung menghampiri, menjabat erat tangan saya, lalu mengucapkan salam perpisahan dengan anak saya. Itu setiap hari!

Yah, mau bagaimana lagi, satu-satunya sekolah yang pas ya masih ‘ini’, akhirnya teman saya menyerah, mengiyakan kegelisahan saya. Tapi kembali saya mengingatkannya, bahwa ketika pertama kali kami pindah dan sulung saya diterima di TK kota B, saya justru menemukan hal yang patut dikatakan ‘manis’. Komunikasi yang terbangun antara orang tua dan guru, sangat leluasa. Belum lagi setiap pekan, saya selalu bisa disempatkan untuk bertemu dengan wali kelasnya, hanya untuk berdiskusi tentang perkembangan si sulung. Responnya pun sangat baik. Jika pada kenyataannya semakin kesini, semakin jauh api dari panggang, saya, atau bahkan banyak orang tua yang berpikir, kenapa generasi guru setelah dulu itu semakin anjlok ya? Tidak puas? Pasti ada. Khawatir? Tentu juga ada. Saya yakin dan pasti, ketika mental guru-guru kebanyakan seperti ini, akan ada banyak hal yang bisa terlewat.

Pada akhirnya, gaung sumbang terdengar juga, ‘Sudahlah! Sekolah paling bagus itu ya yang ‘ini’. Masih the best, di antara sekolah lain, yang penanaman akhlaq serta pendidikan agamanya tidak klasik seperti sekolah lain; 2 jam per pekan.’

Di antara ketidakpuasan, atau pun lebih tepatnya, hal-hal kecil yang membuat ketidaknyamanan ini semakin tersulut, yang paling besar untuk digelembungkan adalah ikhlas. Ikhlas menerima, karena tidak semua kepentingan kita menjadi ideal di mata orang lain, pun sebaliknya. Ikhlas saja. Baik dari saya (belajar untuk selalu ikhlas) selaku orang tua dan para guru yang telah mengajar sejak dulu maupun yang baru, memompa keikhlasannya sebagai pengantar kekuatan dalam melakukan banyak hal, menuju keidealan itu, untuk mencapai tingkat yang diinginkan. Tentunya, dengan cara mencapainya sesuai kekhasan masing-masing pihak.

***

“Ummi, ada liat anak murid saya? Namanya ***. Tadi disekitar sini. Kok sekarang nggak ada, ya?” salah satu guru TK kota B, siang itu bertanya pada saya dengan wajah panik.

Saya tersenyum. Ah, bagaimana bisa hilang, bun?

Thursday, April 15, 2010

Menyemai Harapan dalam Usia

Pada akhir januari yang lalu, bungsu saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tersenyum geli, sambil memeluknya, “Mengapa tidak ada faiz, noval atau teman yang lain kerumah kita? Mereka tahu nggak sih, hari ini aku ulang tahun?”

Saya ungkapkan padanya, bahwa tidak mesti semua orang tahu hari ini, tanggal itu, kamu dilahirkan ke dunia, memasuki alam yang akan membawamu pada berbagai macam warna, dimana adakalanya kamu akan menemukan warna yang satu ini. Warna ketika semua bertepuk tangan, bersorak sorai, berdendang, sambil meniupkan lilin, memotong kue dan mendapatkan banyak benda dibungkus kertas cerah menggoda. Setelah itu, apa yang akan kamu rasakan? Kelelahan, kekenyangan, lupa mengingat telah melakukan apa selama 365 hari dalam hidupmu, terlanjur dibuai mimpi berselimut hadiah semu.

Dia baru berumur 5 tahun waktu itu. Jika dikatakan kecil untuk sebuah penjelasan moral, bertele-tele dan terlalu jauh untuk menyentuh sisi jiwanya, saya tak pernah berkecil hati. Dia bukan orang pertama, bukan anak kecil pertama yang pernah menerima penjelasan seperti ini. Ada sulung yang telah mengalaminya, dan dia mulai mengerti sebatas area pikiran seorang bocah beranjak remaja.

Ini bukan masalah egois atau pelit. Walau tak dipungkiri, ada kaitannya dengan uang yang akan terhambur tanpa arti. Ketika ia berusia 1 thn, kami merayakannya dengan seharian saya berkutat dengan adonan cake, dengan wajahnya yang terpampang di permukaan. Menyiapkan tumpeng dan tetek bengek lainnya. Kemudian kami pun berdoa bersama keluarga besar, ada kakek neneknya, sepupunya, juga anak-anak yang tidak mampu, juga cacat fisik dan mental. Khidmat, walau saya yakin, ia pun tak mengerti untuk apa segala kemeriahan pada waktu itu. Hanya sekali, ketika tiap-tiap mereka berusia 1thn. Selebihnya, saya sendiri berkutat dengan adonan kue, membuat makan malam, menyiapkan bingkisan sederhana –barang yang sangat mereka perlukan-, lalu duduk berempat, berdoa, dan mengurai kalimat-kalimat sederhana mengenai makna kelahirannya. Menyenangkan bukan berarti harus berfoya-foya, makan-makan, berlimpahan hadiah dan lain sebagainya, bukan?

Tidak mudah memang, memahamkan sesuatu yang mereka pandang adalah satu kesenangan. Tapi cukuplah lega ketika sejauh ini, mereka masih tidak terlalu ambil pusing dengan bentuk perayaan tersebut. Ketika suatu hari anak saya pulang membawa satu kotak kue dan bingkisan dari temannya yang berulang tahun, kami pun tetap menerimanya dengan mendengar ocehannya. Ketika mereka mendapat ucapan selamat dari kakek neneknya, dan kami, mereka pun tidak terlalu menghiraukan akan pentingnya ucapan itu selain tersenyum dan bertanya, “Hari ini umurku bertambah?"

Itu pula yang saya rasakan ketika seusia mereka. Bedanya, tidak pernah ada permintaan untuk bisa dimeriahkan, namun orang tua selalu ingin melakukannya. Dalam hidup selama 35 thn ini, telah dua kali orang tua berhasil melaksanakannya. Berhasil membujuk saya, berhasil mengumpulkan para kerabat, tetangga, teman sepermainan –sepermainan saya dan sepermainan orang tua-. Semua begitu menikmati, dan saya pun menikmati, meski dalam kebingungan. Bingung, mengapa harus dirayakan? Mengapa ada kado-kado yang rata-rata sama jenisnya? Ah, ternyata biasa saja.

Runyamnya, seiring sejarah perjalanan hidup, malah membuat saya semakin tak tenang menjelang tanggal kelahiran. Terlalu membayangkan kejadian aneh atau apalah yang mengisyaratkan semakin berkurangnya usia. Namun ada hal yang patut disyukuri, saya terbiasa menerima ucapan dari segelintir orang, yang saya yakin, mereka memang hapal dan mengingatnya. Itu saja dan itu lebih baik. Jujur, saya pun tak begitu menghiraukan. Semakin sedikit, semakin tenang dan bahagia rasanya. Hingga, setahun lalu, saya lupa tanggal lahir sendiri, ketika ada yang mengucapkan, saya pun terperangah, padahal waktu itu tengah menyiapkan kue ulang tahun salah satu teman baik. Bahkan beberapa hari yang lalu terkekeh, ketika mereka, ketiga lelaki itu, mendatangi saya yang dan membisikkan doa di telinga. Ups, bukankah menyenangkan ketika tidak mengingatnya?

Entah sampai dimana perjalanan hidup ini harus dilakoni. Usia hanya angka, menandakan sekian tahunlah kita telah diberi waktu untuk selalu mencoba menjadi yang terbaik diantara sekian yang terbaik. Angka dimana, tak mampu mengubah seseorang untuk bisa menjadi lebih baik, jika pada hakikatnya ia tak dapat mengerti bagaimana meraih hal-hal baik tersebut. Angka tak bisa menjamin kebahagiaan yang mungkin saja dicari, namun masih mengawang, menembus arakan mendung dalam hati, jika manusia begitu mandul memahami arti kebahagiaan itu sendiri. Angka hanya angka, tak melebihi atau mengurangi nilai kita dimata Sang Penilai Hati, jika itu semua tidak kita komulatifkan dengan muatan amal baik yang seharusnya menjadi pembesar, sebesar atau melebihi angka usia yang dimiliki. Lalu, tetap saja, apalah artinya sebuah angka, jika tak sedikit pun kita pandai memanfaatkannya.

Hari ini, mari menyemai bibit harapan paling indah, mulai menghitung mundur, memupuk dengan empati, menyiramnya dengan menilik dan merenungi segala yang telah diperbuat. Menggemburkan serta menyesuaikan takaran yang belum terselesaikan. Harapannya, prilaku tak berkenan, hati yang terkadang tak mudah ikhlas, jiwa yang kadang kala terombang-ambing, mampu dipangkas, dienyahkan, tak akan terulang lagi. Semoga dalam 365 hari kedepan, kita siap menuai tunas-tunas berisi kebaikan, serta hal positif jadi mengganda. Semoga, kelak tak ada lagi pertanyaan, sudah sejauh mana umur ini digunakan untuk bisa berarti? Semoga.



Note: terima kasih pada kedua Pangeranku, yang dengan lahap menyantap suguhan yang Raja persembahkan pada Ratu

Tuesday, March 02, 2010

Memaknai Perpisahan

Segumpal rindu melayang pada awan putih
Berarak menjauh
Membawa segaris senyum dihembus angin
Membentuk siluet asa terentang dihadapan
Menembus relung jiwa
Membisikkan kalimat...betapa kita telah berjarak,
…tapi tidak dengan hati...


Salah seorang teman, berkali-kali mengeluh, rindunya ia pada sosok yang berperan penting untuk jiwanya, begitu mendesak, bahkan tak jarang bisa ia tumpahkan dengan tangis. Sosok sahabat yang setelah sekian lama bersama, harus pergi diam-diam, dengan alasan yang mungkin tak dapat ia terima. Ini yang menyakitkan, sungguh tidak ada alasan yang masuk akal?

Berbicara tentang perpisahan, saya pun mengingat perpisahan dengan sejumlah kawan. Berbagai macam bentuk mengapa harus berpisah, dan karena kepindahan, itu paling sering dialami. Ketika rindu, kami kerap mengirim pesan singkat ataupun menelpon, menanyakan kabar, menanyakan segala kegiatan kami sejak berpisah. Saling memberi masukan ataupun ide, yang terkadang konyol, melenceng dari yang diharapkan, tapi sangat menyenangkan, untuk kemudian mengurai tawa, bersama-sama membayangkan masa lalu pada saat masih dalam satu ruang dan waktu. Setidaknya kami sadar, jarak kami tak mungkin bisa ditempuh dengan singkat, namun bisa begitu nyata dengan teknologi yang semakin sangat membantu. Apalagi jika hanya sekedar untuk mengungkap rindu, pun tak segan lagi. Karena memang saling merindukan.

Namun jika perpisahan terjadi disebabkan oleh kematian? Ah, jangan ditanya seperti apa rasanya. Saya pun beberapa kali mengalaminya. Pertama kali rasanya sakit luar biasa. Mendengar kabarnya saja, perasaan berkecamuk, berpikir bahwa dunia sepertinya tak ingin memberi kesempatan pada kami untuk bisa saling mencintai lebih jauh. Hingga melemparkan masing-masing kami pada ruang dan dimensi yang berbeda. Saya selalu terkenang akan kebersamaan tanpa bisa meluapkannya dalam bentuk nyata. Walau pada akhirnya menyadari, hal ini bisa terjadi pada siapa saja, apalagi jika baru pertama kali, wajar sakitnya begitu terasa. Lalu ketika berulang untuk kedua kalinya, saya pikir akan berkurang kadarnya, paling tidak saya telah tahu bagaimana rasanya. Ternyata tidak. Sakitnya pun masih diluar batas biasa. Hingga ketiga kali dan entah telah berapa kali, tetap berulang, walau pada kenyataannya saya selalu ‘sok gagah’ bisa menguasainya. Begitulah, berbilang tahun kepergian orang-orang yang dekat dan pernah mewarnai hidup saya, seperti tetap saja ada yang mengganjal.

Perasaan betapa, dalam hidup, ada peran seseorang yang bisa sangat berarti setelah kebersamaan tak dapat dengan mudah bisa terwujud. Semakin membilur, membekas, setelah seseorang itu, sama sekali tak dapat kita temui, bahkan untuk dijangkau.

Perpisahan, bagaimana pun bentuknya tetaplah akan menggoreskan rasa nyeri, yang kadarnya tidak bisa disamakan. Kadang seseorang menjadi sangat tidak terkontrol bahkan terus mengenang jika perpisahan itu tidak bisa dimengerti dengan nalar maupun jiwa. Terkadang mampu menembus alam bawah sadar, merasa bahwa sebenarnya pemeran utama dalam perpisahan itu adalah, diri sendiri. Alangkah menderitanya, alangkah tidak adilnya. Begitu?

Jangan berpikir bahwa ini tidak adil untukmu, justru untuk manusia lain, inilah keadilan itu. Kalimat ini terlontar ketika saya dan salah seorang sahabat saling mengingat bentuk-bentuk perpisahan yang pernah dialami. Belajar memaknai sebuah perpisahan itu lebih menyenangkan, ketimbang menggerutu, mempertanyakan mengapa tidak adil dengan jarak yang terbentang. Bukankah adil atau tidak, bukan merupakan hak sepenuhnya dari sisi pribadi kita untuk menilainya? Bukankah masih banyak ketidak-adilan orang lain yang justru kita syukuri sebagai bentuk keadilan untuk kita. Sebaliknya bahkan, mungkin saja itu membuat manusia lain merasakan bahagia. Mungkin saja.

Tengoklah ke belakang. Apa yang telah kita perbuat pastilah menghasilkan sesuatu sesuai keinginan kita atau sebaliknya. Itu lumrah. Lihatlah apa yang telah kita upayakan, semua berpulang pada kehendak dari segala pemilik kehendak. Lihatlah ke depan. Jalani saja. Jika menemukan betapa luas bentuk kebahagiaan itu, sisiri perlahan-lahan. Ketika semakin lapang menelusurinya, semakin banyak perasaan bersyukur yang akan dilontarkan. Bahkan untuk sebuah perpisahan.