Wednesday, July 21, 2010

Maka, Terima dan Ikhlaslah

Siang itu saya agak terlambat menjemput bungsu saya, Ziyad. Sengaja sebenarnya, ada beberapa hal yang harus saya selesaikan, hingga mengharuskan untuk terlambat. Dan saya tahu, Ziyad tidak akan kemana-mana, selama saya belum memunculkan wajah saya. Paling jauh dia akan bermain di belakang masjid, di area kantor salah satu orang tua murid. Selain alasan ada pekerjaan menyebabkan saya terlambat, ada sedikit penasaran saja, bagaimana reaksi guru barunya, jika saya belum nampak juga. Ziyad sekarang sudah TK besar, dan gurunya pun baru. Dalam hal ini, guru ke-2 yang baru, sedang wali kelasnya, telah saya kenal cukup baik.

Ketika selesai memarkir kendaraan dan menyelesaikan administrasi si sulung, saya bertemu dengan wali kelas Ziyad sewaktu TK kecil, spontan saya bertanya pada beliau, karena sedari tadi Ziyad tidak terlihat sama sekali. Dan spontan pula beliau melempar tanya dengan salah satu guru (sebut saja guru B), yang tengah duduk di teras masjid, tertawa-tawa, yang notabenenya sekarang memegang Ziyad selama TK besar.

“Bunda, Ziyad dimana?”

“Wah nggak tahu, bun! Dimana ya?” guru B sambil tetap duduk tak berdiri sedikit pun ketika melihat saya –ibunda anak muridnya- yang sedang mencari Ziyad.

Saya tersenyum. “Saya sepertinya tahu dimana Ziyad. Terima kasih.”

Ups, saya cuma nge-tes! Karena saya tahu dimana anak itu biasa berada. Lebih baik saya berlalu, mencari ke tempat biasa (guru kelas A, malah lebih dulu berinisiatif pergi, mencari Ziyad)

***

Kira-kira apa yang dipikiran saya? Atau Anda?

Selalunya saya berpikir dan kilas balik ketika pertama kali saya mengenal bentuk sosialisasi seperti Play Group (PG), Taman Kanak-Kanak (TK), sewaktu anak saya yang sulung mulai menginginkannya. Itu sekitar tujuh tahun yang lalu. Dan percayalah, PG dan TK yang saya kenal itu tak pernah hilang kesan ‘keunggulannya’ hingga sekarang. Walau saya tak mungkin memasukkan anak saya disitu, karena PG dan TK awal itu berada di kota yang berbeda dengan kota, lokasi tempat tinggal kami 5 tahun terakhir ini.

Teman saya pernah mengatakan bahwa, jangan disamakan bagaimana perlakuan antara PG dan TK satu dengan yang lain, terlebih di kota A dengan yang ada di kota B. Akan sulit! Dari sisi keuangan, guru-guru di TK A itu dibayar mahal, berpendidikan, dan diberi pelatihan dengan baik. Di kota B? semua masih standar. Berapa sih gaji guru TK kota B sekarang? Belum kurangnya pelatihan. Huff…

Inilah yang akhirnya saya bantah. Saya kenal baik dengan seluruh guru PG dan TK di kota A. mereka rata-rata lulusan SMU dan D3 saja, dibayar hanya lima ratus ribu rupiah, dan mereka hanya diberikan pelatihan secara mandiri oleh pendiri yayasan.Yang di kota B, saya tahu jelas berapa gaji mereka, bagaimana mereka dimenej, dan berapa rajinnya pelatihan yang membombardir. Lalu teman saya itu berkelit, “Nah,... pendiri yayasannya berarti hebat! Bisa memenej mereka dengan baik.” Inilah tepatnya! Pendiri yayasan yang dikota A adalah 4 orangtua murid yang sangat peduli dengan kemajuan pendidikan anak usia dini (PAUD), tidak hanya dari sisi ilmu, tapi juga akhlak dan empatinya. Maka dengan modal seadanya serta manajerial yang masih ‘culun’ mereka mendirikannya. Hasilnya? Kesan saya terhadap yayasan itu sangat membekas manis dalam ingatan saya. Anak saya tidak pernah tidak disambut dengan super ramah oleh guru-gurunya, ketika baru memasuki pintu gerbang. Ketika pulang sekolah, anak saya tidak pernah keluar pagar sekolah dengan kemudian berkeliaran entah kemana, dan ketika melihat saya datang, gurunya langsung menghampiri, menjabat erat tangan saya, lalu mengucapkan salam perpisahan dengan anak saya. Itu setiap hari!

Yah, mau bagaimana lagi, satu-satunya sekolah yang pas ya masih ‘ini’, akhirnya teman saya menyerah, mengiyakan kegelisahan saya. Tapi kembali saya mengingatkannya, bahwa ketika pertama kali kami pindah dan sulung saya diterima di TK kota B, saya justru menemukan hal yang patut dikatakan ‘manis’. Komunikasi yang terbangun antara orang tua dan guru, sangat leluasa. Belum lagi setiap pekan, saya selalu bisa disempatkan untuk bertemu dengan wali kelasnya, hanya untuk berdiskusi tentang perkembangan si sulung. Responnya pun sangat baik. Jika pada kenyataannya semakin kesini, semakin jauh api dari panggang, saya, atau bahkan banyak orang tua yang berpikir, kenapa generasi guru setelah dulu itu semakin anjlok ya? Tidak puas? Pasti ada. Khawatir? Tentu juga ada. Saya yakin dan pasti, ketika mental guru-guru kebanyakan seperti ini, akan ada banyak hal yang bisa terlewat.

Pada akhirnya, gaung sumbang terdengar juga, ‘Sudahlah! Sekolah paling bagus itu ya yang ‘ini’. Masih the best, di antara sekolah lain, yang penanaman akhlaq serta pendidikan agamanya tidak klasik seperti sekolah lain; 2 jam per pekan.’

Di antara ketidakpuasan, atau pun lebih tepatnya, hal-hal kecil yang membuat ketidaknyamanan ini semakin tersulut, yang paling besar untuk digelembungkan adalah ikhlas. Ikhlas menerima, karena tidak semua kepentingan kita menjadi ideal di mata orang lain, pun sebaliknya. Ikhlas saja. Baik dari saya (belajar untuk selalu ikhlas) selaku orang tua dan para guru yang telah mengajar sejak dulu maupun yang baru, memompa keikhlasannya sebagai pengantar kekuatan dalam melakukan banyak hal, menuju keidealan itu, untuk mencapai tingkat yang diinginkan. Tentunya, dengan cara mencapainya sesuai kekhasan masing-masing pihak.

***

“Ummi, ada liat anak murid saya? Namanya ***. Tadi disekitar sini. Kok sekarang nggak ada, ya?” salah satu guru TK kota B, siang itu bertanya pada saya dengan wajah panik.

Saya tersenyum. Ah, bagaimana bisa hilang, bun?