Monday, May 12, 2008

Mereka pun Ingin Bersandar


Ketika menonton berita-berita di televisi, saya kerap merasakan haru biru didalam dada. Mereka, rakyat kecil, antri berjejer pada sebuah penjualan minyak, atau malah saling dorong pada satu kesempatan dimana mereka bisa mendapatkannya gratis. Tidak jarang, isak tangis anak balita yang ibu-ibu bawa menambah lengkap penderitaan mereka menghadapi zaman yang serba canggih dan modern namun tidak mampu memodernkan kehidupan mereka.

Ketika beberapa minggu terakhir ini, saya harus masuk ke dalam gang-gang becek, melihat deretan rumah padat nan rapat, haru biru itu bukan saya rasakan lagi, tapi, sesak dan merasa kecil serta lemah tanpa daya. Setiap ibu, bapak atau bahkan nenek-nenek yang kami ajak berdialog, selalu mempunyai topik sama. Kapan kita bisa merdeka sebenarnya?

“Begini nih mbak, setiap harinya kami cuma bisa ngeluh. Sepertinya juga yang denger capek. Air disini senen kemis, jalanan amburadul, semua jadi serba ngga enak.”
“Yah, mbak, namanya juga orang kecil, siapa yang mau denger kami. Makanya ketika ada yang datang door to door seperti ini, kami merasa terperhatikan, merasa kami masih dianggap.”
“Sama aja mbak! Mau diperintah oleh pemimpin mana pun, kita tetap aja seperti ini, melarat, nggak punya arti. Suara kita ya nggak pernah didengar, percuma!”
Mereka putus asa…

Kehidupan di Sengata, khususnya di daerah perumahan perusahaan tempat saya tinggal, jauh dari kemalangan-kemalangan yang demikian. Pernah, sekitar akhir 2006 hingga memasuki tahun 2007, kira-kira kurang lebih 6 bulan, pemadaman listrik terjadi terus menerus. Jatah listrik menyala full seharian dalam seminggu hanya kami dapatkan selama dua hari saja, selebihnya bergantian. Kadang listrik padam dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Esoknya, akan berubah, padam dari jam 5 sore hingga jam 10 malam. Melelahkan.

Dulunya memang, aliran listrik ditanggung perusahaan, tapi dengan berbagai kebijakan, diambil oleh perusahaan milik negara. Tentunya dengan asumsi, pelayanan haruslah menyamai seperti yang disediakan perusahaan. Bisa dibayangkan, dengan keadaan byar pet saat itu, banyak yang mengeluh, banyak yang mencaci maki dalam keadaan panas, apalagi setelah tahu, perusahaan sebenarnya telah menyumbang genset besar untuk mengatasi hal ini, apalagi yang salah? Hingga diputuskan, harus turun kejalan untuk demo. Waktu itu, demo belum berlangsung, pihak perusahaan listrik milik negara ini sudah kocar-kacir mencari cara agar demo tidak berlangsung, disusul dengan menjanjikan tidak adanya pemadaman lagi, ditambah perusahaan kembali menyediakan genset berkekuatan besar (lagi) untuk menopang ini semua. Semua pun dapat bernafas lega. Semua warga di perumahan merasa lepas dari penderitaan.

Ternyata, tidaklah berlaku bagi warga diluar komplek. Kalau hal listrik mereka sudah tidak mengeluh serta menyadari asupan dari perusahaan dapat membantu satu dari sekian kebutuhan mereka yang selama ini terabaikan, namun masalah yang dulu belum pun teratasi dan tetap melelahkan. Hal-hal vital malah semakin tidak menentu. Ditambah membengkaknya segala kebutuhan hidup, biaya sekolah semakin mencekik (terutama dalam pengadaan buku), belum lagi rencana kenaikan BBM yang pastinya akan berimbas pada kebutuhan pokok lainnya. Malah ada beberapa ibu dengan lugunya mengatakan, “saya bisa apa mbak? Walaupun katanya PDAM udah masuk, tetap saja kami tidak pernah merasakannya. Setiap bulan kami membayar kewajiban tanpa adanya pemenuhan hak atas kami. Setitik pun air PDAM itu tidak mengalir. Malah pernah saking lamanya menunggak, tagihan air mencapai 2juta, padahal saya tetap make air sumur.” Masya Allah.

Pedih! Namun, dibalik ini, ternyata ada yang lebih pedih. Banyak kalimat yang saya dapatkan dari orang-orang mampu berbagi, namun tetap mengabaikannya;
“Kita bisa apa? Semua yang ngatur kan pemerintah? Capek-capek saja berkeliling sampai masuk ke pelosok, toh mereka tidak hanya ingin didengarkan, tapi harus ada realisasinya dong. Lagi pula nih, saya ngga bakat deh ngomong kayaq ginian, masih banyak yang harus saya urus, anak-anak saya masih harus diurus, masak, mesti ngurus orang lain? Yang benar aja!”

Saya hanya bisa menyalurkan semangat. Meyakini, apa yang kami lakukan, pasti ada hasilnya. Aspirasi mereka tidak kami diamkan, namun akan berusaha kami suarakan, bagaimana pun usahanya. Rasa lelah, keringat, kaki mau copot menyusuri jalan menuju tempat mereka, rasanya tidaklah seberapa dibanding beban mereka selama ini. Didengarkan merupakan terapi buat mereka, bukankah dikala beban menghimpit, kita pun kerap ingin curhat? Rasa plong akan dirasa jika kita bisa menyisihkan waktu istirahat kita sekedar duduk diberanda sederhana milik mereka. Memandang dalam mata mereka dan memberikan senyum yang tulus, merupakan hadiah indah tak ternilai bagi mereka yang merasa kecil.

Yah, betapa kita masih lebih beruntung dari mereka. Masalah kita bukanlah apa-apa. Maka lebih beruntunglah yang bisa berbuat banyak, tidak sekedar menyisihkan sedikit rejeki, tapi juga rela mewakafkan sebagian waktu, tenaga, kenyamanan tidur pada waktu sore, berleha-leha diruang berAC, untuk mau berbagi sebagian waktu bersama mereka, mendengarkan serta mencoba memahami masalah mereka. Karena, mereka pun butuh tempat untuk bersandar.

Saya dan teman-teman sangat yakin, semua akan mendapat ganti dengan yang lebih dahsyat, dengan keindahan yang luar biasa, dengan kesempurnaan tiada kata, jika kita menghadapinya dengan kesabaran. Semoga kami tetap istiqomah.