Wednesday, August 22, 2007

Sister, I love you just because of GOD

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah pesan singkat, dari seorang ukhti yang dekat banget dengan kehidupan saya, “I knocked heavens door last night. GOD asked: what can I do for you?, I said please love, protect and bless one who is reading this message. GOD smiled and replied…guaranteed”. Saya bengong! Dia tidak seperti biasanya menulis seperti ini kepada saya. Saya pun tidak langsung membalas apa yang dia kirim. Sebenarnya, saya bingung mau balas apa? Akhirnya, sedikit sore, dan sebelum berangkat liqo saya sempatkan membalas, “Syukron, anti tumben nulis beginian? Ada apa?” Lalu ia membalas, hanya sebagai penyemangat jalinan sayang antara kami.

Saya phobia sekali!

Jujur, bukan phobia yang saya rasakan, tapi saya tidak ingin kejadian setahun lalu terulang. Sepinya sebuah persahabatan, dengan hanya sekali-sekali berkirim kabar, dan hanya tercetus “Kangen euy, cerita-cerita dong! Tapi ntar ya, aku mau packing-packing dulu”. Almarhum dan saya selalu membalas setiap pesan singkat ataupun email dengan singkat. Padahal ketika salah satu memerlukan sesuatu, yang lain akan sigap bergerak. Ketika salah satu dari kami sakit, secara nggak sadar, menanyakan kabar lewat pesan singkat. Sepinya persahabatan hingga sebulan setelah ber ’say hai’ lewat email, dia pergi. Lalu bagimana dengan sahabat saya yang mengirim pesan singkat ini? Saya dan dia mulai pada tingkat kesibukan yang lumayan menguras waktu dan tenaga. Dia salah satu murrobiyah dan aktif dalam dewan. Saya juga mulai kasak-kusuk nulis dan kegiatan diluar. Jadi bisa dipastikan quantitas percakapan kami tidak sesering dulu.

Terdengar seperti menyesal akan kehilangan sesuatu?

Tidak ada yang perlu disesali. Setiap detik sebenarnya kita telah kehilangan banyak, termasuk sisa umur yang semakin sedikit, menyempit dan mengecil. Apa yang bisa dan sudah kita lakukan untuk membawa bekal kepergian nantinya. Sadar atau tidak, kita sudah berada pada jalur antrian yang pasti. Tiket keberangkatan pun sudah di approve! Dan nggak mungkin ada tiket untuk kembali lagi. “Seandainya Tuhan memberitahu dimanakah ujung dunia ini berakhir, pastilah segala bekal akan dipersiapkan. Namun terkadang, begitu pemurahnya DIA hingga kita tidak pernah sadar akan tanda-tanda yang diberikanNYA”.

Dalam kisah Kitab Irsyadul ‘bad lil Isti’dad li Yaumil Ma’ad karya Abdul Azis Muhammad Salman, Nabi Yaqub as. meminta kepada malaikat maut agar berkenan memberi tanda ketika ajalnya telah dekat, dan malaikat maut pun menyanggupi, berjanji akan mengutus dua atau tiga utusan. Hal ini tetap membuat Nabi Yaqub as gugup ketika malaikat maut datang lagi setelah beberapa waktu, sedang ia belum melihat satu pun utusannya. Beliau protes karena malaikat maut itu datang untuk mengunjunginya sekaligus mencabut ruhnya. Hingga dijawab oleh malaikat maut itu:
“Apakah kau tidak sadar, aku telah mengutus padamu tiga perkara dan engkau merasakan dan melihat dengan mata kepala sendiri akan perubahan yang terjadi pada dirimu? Bukankah rambutmu sebelumnya berwarna hitam, kemudian berubah menjadi beruban? Bukankah sebelumnya badanmu kuat dan kokoh, hingga akhirnya sekarang menjadi lemah dan loyo? Bukankah sebelumnya tulang tubuhmu lurus, kemudian berubah menjadi bungkuk? Maka ketahuilah, mereka adalah utusanku pada setiap anak Adam sebelum ajal menjemput.”
Rasulullah bersabda, "Tidak beriman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." Untuk itu, saya katakan pada semua teman serta sahabat terkasih, jangan ada satu pun keraguan di hati, untuk mengungkapkan perasaan kasih dan sayang kita pada sahabat kita, sekecil apapun itu. Dan, jika tidak ada yang tersampaikan, jadikanlah sebagai pelajaran untuk tidak ada lagi kata sesal, sekecil apapun itu.

My sister,
Jangan kelu untuk sebuah salam
Jangan kelu untuk sebuah kabar
Jangan kelu untuk sebuah tanya
Jangan pernah kelu untuk sebuah ikatan kasih

My sister,
Punggungku membawa keluhmu
Tanganku mengusap airmatamu
Senyumku menghapus perihmu
Hatiku terbuka untuk setiap lukamu
…terlebih pada bahagiamu…

sejauh apapun langkahmu dariku
just believe in your heart
that I always try to stay closed besides you
I always hold your hand
I always wipe your tears
I always try to feel for what yours

You should know that I care and love you just because of GOD

in memoriam, jelang setahun teman, sahabat, saudara, Anna Siti Herdiyanti. Uhibbuki fillah ya ukhti.

Tuesday, August 14, 2007

Tidak Naif, Tidak Konyol dan...Real

“Sepertinya, abang berbicara dan bertanya dengan abu nawas nih!”, lalu icon tertawa terbahak-bahak muncul pada id YM’nya.

Dia seorang ikhwan, dan menyebut dirinya abang pada saya. Bertemu pada ruang chatting pun tidak sering. Kerap, dialah yang memulai percakapan. Seperti siang menjelang sore itu, karena saya online, mulailah dia menegur dan bertanya, “Sedang apa?” Saya katakan, saya sedang dalam conference room bersama kajian muslimah.

Kembali saya asyik berbicara dengan seorang teman pada kajian muslimah, lalu dia kembali dengan pertanyaan, “Menurutmu berapa persen di Indonesia ini yang bisa disebut wanita sholehah?”. Muncullah kebiasaan saya, membalik pertanyaannya, “Menurutmu seperti apa wanita sholehah itu?”
“Wanita sholehah adalah wanita yang beriman.” Sang ikhwan menjawab.
“Seperti apa wanita yang beriman itu?”, saya keukeuh balik lagi.

Maka keluarlah pernyataan pada paragraph awal. Dia mengatakan semua persepsi tentang beriman itu sama saja pada setiap kepala individu. Pada kenyataannya, ketika saya beri pandangan tentang beriman dan bertaqwa -saya ketahui dari membaca dan murrobiyah- itu seperti kata sahabat Umar (semoga Allah memberi rahmat), “Bagaikan berjalan pada sebuah jalanan penuh kerikil, hingga sangat berhati-hati agar tidak menginjak kerikil-kerikil itu.” Lalu ikhwan ini kembali dengan, “Jadi kamu ingin bilang seperti itu beriman?” Nah, bukankah dari sini sudah jelas, dua orang individu beda dalam melihat apa itu ‘beriman’?

Trik (ia katakan saya memakai trik ini) saya membalik-balik pertanyaannya sungguh tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin tahu dengan jelas bagaimana pemikiran lawan bicara saya, terlebih menyangkut ‘keyakinan’. Saya juga hanya ingin menjaga apa yang keluar dari mulut saya bisa dipertanggung-jawabkan. Tidak mudah! Ini masalah nggak main-main.

“Banyak wanita yang mengaku beriman tapi masih tidak mau tunduk walau sekedar untuk mengenakan kerudung. Wanita mengaku sholat tapi masih memakai pakaian yang kekurangan bahan. Wanita berucap mencintai Pemiliknya, tapi tidak bersedia mengerjakan sebagian perintah-Nya. Beriman dan sholehah tidak bisa dipersenkan, kadar itu sudah menyangkut hubungan kita dengan Sang Pemilik Kehidupan. Tidak akan bisa kita mengkalkulasikannya, sedang ‘hati’ itu ada pemiliknya, sang pemilik kehidupan. Kita tidak patut dan tidak berhak untuk berlagak pandai mempersenkannya.”

Demikian jawaban saya. Di katakan oleh ikhwan ini, “Ia sudah bagus dan…Naif!” Alasanya, saya hanya menjawab garis besar dan tidak sesuai dengan realitas. Saya malah senyum. Berdoa agar hati saya tidak menjadi ‘marah’ dan merasa ‘terancam’. Saya juga manusia biasa. Saya harus mempunyai bukti kuat, agar kaum saya dan pergerakannya tidak dianggap sekedar memenuhi ruangan diskusi.

“Akhi yang disayang Allah. Sesungguhnya Allah Maha tahu apa yang kami lakukan. Salah satu contohnya, saya melihat serta bisa merasakan sendiri, teman-teman saya pergi untuk mengisi halaqoh, jauh kepelosok, menembus jalan yang nggak ngenakin perut, masuk ke tempat lokalisasi, memberikan materi pada pelacur-pelacur juga mucikarinya, terpencil dan bisa membuat bulu roma merinding, ditatap dengan mata yang pernuh tanya, kami berusaha untuk tetap khusnuzhon. Teman-teman saya pun rela demi sebuah penghargaan dan cintanya pada Sang Pemilik Kehidupan, walau harus membawa dan menggendong anaknya yang usianya masih bulanan. Kalaupun ini disebut konyol, kami rela, asal tidak konyol dimata Dia. Asal tidak membuang waktu kami konyol begitu saja. Asal kami tidak terpuruk karena telah dicecar sebagai muslimah yang hanya bisa duduk manis di ruang diskusi tanpa usaha memperbaiki muslimah lain. Dan jika masih dikatakan konyol, Dia memberikan kemudahan kepada beberapa ‘PSK’ nya untuk berniat kuat agar stop dari pekerjaannya karena sadar telah salah tempuh selama ini.”

Dalam hati paling dalam, saya sebenarnya sangat bersyukur, lewat seseorang yang mengatakan jawaban saya naif, konyol, tidak sesuai realitas, saya telah ‘ditegur’ dan diingatkan untuk tetap berkubang lebih dalam, memberikan manfaat pada sisa hidup saya yang saya sendiri tidak tahu selesainya. Supaya waktu saya bisa digunakan maksimal. Agar tidak terjerumus dalam kebanggaan diri yang jelas sangat fana. Walaupun manusiawi, perasaan seperti itu, tapi bukankah hanya menyia-nyiakan waktu yang tersisa semakin sedikit? Saya pun hanya bisa berlindung pada Sang Pemilik Kehidupan, apa-apa yang saya paparkan pada ikhwan ini, semoga bukan diterima sebagai keinginan untuk mengumbar-ngumbar. Semoga bisa diterima, sebagai bahan agar kami tidak dikatakan hanya boneka yang siap dipajang, dan kami hanya ingin fitnah tidak berkepanjangan.

Bisakah antum terima?

Kegiatan perempuan pun nggak bisa dikaitkan dengan harus secara nyata turun langsung untuk membantu muslimah lain. Menjadi ibu rumah tangga, memberikan sisi nilai baik pada kehidupan, membimbing anak-anaknya, dan kegiatan yang tak terhitung pada sekali 24 jam, bisa memacu muslimah lain bisa sadar dan ‘melek’, bahwa seorang ibu rumah tangga itu pun bisa kebanggaan tersendiri.

Bisakah antum terima?

Terima kasih jika antum mengerti bahwa begitu berkahnya hidup kami sebagai wanita yang ditaruh pada sudut terpencil seperti ini. Karena, hidup kami bisa sangat keras, bertarung dengan ‘misi-misi’ lain, dalam membenahi kehidupan kami sendiri.

Tidak ada yang konyol dalam hidup jika kita mengusahakannya hanya untuk meraih cinta-Nya.

Jadi teringat apa yang ditulis oleh Abu Fauzan, pada edumuslim.com:
“Sudah berapa banyak, riya’ merusak aktivitas ibadah, dan amaliyah dakwah kita. Ingatlah, dimana ada keikhlashan, disitu ada riya’… yang selalu membayangi, mengancam, dan mengotori niat. Riya’ itu, ibarat semut hitam, diatas batu hitam, di malam yang gelap. Sangat tidak tampak!” (Abu Fauzan)

Tuesday, August 07, 2007

Just a little note...of my soul

Just one click, dan titlenya pun telah berubah…jika kemaren masih ‘welcome to my sweet home’, setelah saya renungi, lebih tepat dengan ‘Just a little note…of my soul’. Ya, seperti itulah yang saya ingin berikan dan pendarkan.

Postingan saya kebanyakan berkisar bagaimana jiwa saya memberikan cermin pada diri saya sendiri. Semampunya, saya mencoba berbagi, karena saya pun tidak tahu dimana ujung dari dunia ini.

Jika, ada yang hanya melengos dan matanya hanya berkelebat menikmati pemandangan dari isi dari blog ini, bisa dimaklumi. Saya tidak akan protes. Seperti itulah fitrahnya. Masing-masing individu berusaha mencari cerita seperti apa yang mereka ingini.

Jika, melihat isi blog ini, masih belum menemukan postingan yang baru, itu bukan kesalahan pada keinginan individu yang dengan baik hatinya mampir kesini. Lebih karena penulis sedang dalam proses merapikan ‘sesuatu’. Menjalani sebuah profesi yang telah dipilihnya. Berlari-lari dengan deadline, yang hampir membuatnya ‘dead’. *smile*

Sekali lagi, just a little note of my soul.