Thursday, March 27, 2008

Menulis di Bontang


Jalanan antara Sengata dan Bontang yang mengocok perut, bikin kepala puyeng, rasa mau muntah, harus saya kalahkan demi permintaan ketua FLP Wilayah Kalimantan Timur, Muthi Masfu'ah, untuk bisa hadir memberikan sedikit stimulasi dalam hal penulisan cerpen, hari sabtu, 22 Maret 2008. Pesertanya pun bukan anak ABG –yang biasa saya hadapi-, melainkan ibu-ibu dharma wanita PKT (Pupuk Kalimantan Timur), yang umurnya kebanyakan usianya seusia ibu saya.

Jadilah, usai menyelesaikan beberapa tugas di SMP 1 Sengata Utara, saya, Ika (she’s my special person in kaderisasi, heheh) bertolak ke Bontang, bersama temannya Mas Indro, yang juga -suami istri- tetangga kami yang baik hati. Loh, kok bukan pergi sama Mas Indro? Yah, karena kebetulan, kami telah sepakat berbagi tugas, beliau menemani anak-anak pergi bersama komite sekolah dalam rangka kunjungan ke BPPUTK, sedang saya memenuhi amanah ini.


So, hujan rintik terus menderas mengawali perjalanan kami. Melirik jam, hm...jam 11.00 siang, kira-kira sejam setengah lagi kami akan tiba di Bontang.

Pukul 13.00, Setelah dhuhur di mesjid Baiturrahman milik PKT yang megah, kami menuju TKP (Tempat Kejadian Pelatihan), disambut beberapa pengurus FLP Bontang minus mbak Muthi (dia datang beberapa saat menjelang training dari kami dimulai), dengan hidangan makan siang bersama. Selanjutnya saya langsung men’setup’ laptop untuk bisa dihubungkan dengan LCD Proyektor. Sedikit masalah bisa teratasi, saya dan ika pun mulai brain storming tentang konsep, sebelum memulai pelatihannya sendiri.

Maka dimulailah pelatihan itu dengan semangat dari ibu-ibu yang mengikuti ‘pemanasan’ dari tim FLP Bontang dengan sedikit yel-yel, yang mampu membuat mereka tergelak. Tiba prolog yang saya pandu (ini sekitar jam 13.45 WITA), ibu-ibu makin semangat, bisa terlihat dari wajah mereka, walau dari pagi sudah ada ditempat untuk mengikuti training motivasi dan pelatihan singkat bagaimana menulis artikel/feature, mereka tetap memberikan respon positif. Beberapa pancingan berupa game singkat sebelum memulai menulis cerpen, bisa sedikit menguak kesulitan mereka untuk bisa memulai cerita. Kesulitan itulah yang kemudian dipandu Ika pada sesi kedua.

Ada hal unik dan mengharukan ketika kami memandu untuk menulis ‘kesan pada sesuatu’ dan pengalaman yang menyedihkan. Ada satu orang ibu, belum memulai menulis tentang sedihnya sesuatu yang pernah dialaminya, beliau sudah sesegukan. Ketika ditanya, tambah sesegukan. Begitu sedihnya ia, sampai-sampai kami terus menyemangatinya, memintanya tetap menulis, agar kesedihannya tertuangkan melalui cerita. "Menulis yuk, bu!" Ia pun kemudian menulis walau tetap ber ’sut-sut’ dengan hidungnya yang mulai mampet. Kemudian, masih ada babak sedih selanjutnya, yaitu…ia tetap menangis, ketika kami memintanya membacakan cerita sedihnya itu.

Berhenti sampai disitu?

Ternyata tambah unik dan mengharu biru. Ketika mbak Muthi meminta para peserta membacakan artikel/feature yang telah terkumpul sejak pagi, seorang ibu bersedia membacakan. Baru mulai dengan kalimat pertama, suaranya sudah tersendat, kemudian semakin pilu. Dia menceritakan sebuah puisi yang ditulis oleh anaknya. Saya lupa isinya, kurang lebih, si anak ingin ibunya selalu bisa mendampinginya, dan memohon pada Allah untuk tidak cepat-cepat mengambil ibunya, karena ia sangat sayang padanya. Suasana begitu hening, diantara seguk sedan dari para peserta, juga panitia. Saya berusaha menahan tangis, sambil tetap mengulum senyum dibalik buku tebal non fiksi yang dibawa dari Sengata.

Rata-rata mereka merasa dengan menulis, segala perasaan bisa tertumpah ruah. Tidak perlu dipendam ataupun menjadi bahan gosipan di antara mereka. Justru, dengan menjadikan segala hal yang kita pikirkan menjadi sebuah tulisan, tanpa sengaja kita telah menemukan obat bagi kebaikan kita sendiri. Dimana, duka nestapa, gembira ria, bisa disalurkan pada hal yang positif, membiarkan orang lain bisa memetik hikmah dibalik cerita, bukankah itu sudah perbuatan baik?

Tidak ada kesulitan sebenarnya ketika kita ingin memulainya. Cukup, dengan banyak menyikapi sekeliling kita dengan lebih arif, rasanya ide untuk menulis bisa mengalir tanpa tersendat. Pun tidak perlu mengerutkan kening berusaha mencari ‘kalimat mana harus diletakkan pada awal paragrap?’, just do it! Just being your self.

Waktu menunjukkan pukul 16.30 sore, saat akan berpamitan, saya pun ditanya seorang ibu. Beliau merupakan perintis FLP Bontang, yang memprakarsai pelatihan ini juga. Dengan senyum terkembang, sambil menggenggam tangan saya, ia berkata;
“Mbak nginep dimana?”
“O, enggak bu, saya langsung kembali ke Sengata. Masih banyak tugas buat besok.”
“Walahhh… ta pikir mau nginep, kan cape?! Saya salut loh! Dari Sengata, langsung bisa cuap-cuap ngasi training depan orang banyak. Kalau saya? wahaha…udah mabok nggak karu-karuan, wong jalanannya nggak ngenakin perut kan?”


Saya (masih) tersenyum. Senyum getir mengingat perjalanan kembali ke Sengata adalah sebuah perjuangan untuk tidak muntah. Andai dia tahu (berdendang dalam hati, pakai iramanya 'Andai dia Tahu'nya Kahitna)...*smile*

See you, we'll be back, another time!


Tuesday, March 18, 2008

Behind The Story


Ada sedikit cerita pada saat merampungkan tulisan saya yang dimuat pada kumpulan kisah nyata ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’. Satu bulan, ide saya yang telah cair dan selesai menjadi satu jalinan cerita, ternyata harus dibantai lagi. Alasanya, karena naskah itu masih kental dengan nuansa non fiksi, maka jadilah pihak penerbit meminta saya guna memoles sedikit, agar menjadi kisah sejati. Waktu itu saya sempat bingung, bukan mengenai cara dan bagaimana memadu cerita yang sudah rapi, tapi lebih tentang menata hati milik saya. Karena pada saat itu, isi otak seperti membludak usai Muscab FLP Sengata, yang mendaulat saya untuk mengemban tugas pada tampuk pimpinan. (stop! jadi curhat deh)

Singkat cerita, kisah yang telah ditulis untuk penerbit, saya tarik lagi, dan saya diberi kelonggaran waktu selama seminggu untuk memperbaiki, kemudian mengirim ulang. Argghhhh…memolesnya dalam satu minggu, mungkin bisa. Tapi paniknya, ide saya yang lain malah bergelayut lagi, berpikir merombak semua kisah, dan mengganti subjek berikut isi naskahnya.

Lalu siapa? Cerita yang mana?

Menjadikan saya terkesan ‘menderita’ dan berusaha tidak cengeng akhir muscab, nggak asyik banget! Menelisik bahan hasil ‘keberanian’ teman-teman curhat pada saya, yang mana? Nah lho! Memang segitu banyaknya ya? Sampai-sampai bingung cerita mana yang akan diambil? Hm, bukan! Saya hanya tidak ingin sembarang menaruh curhat mereka, tapi lebih fokus pada tujuan untuk mengurai kisah, agar kita jangan selalu merasa menjadi makhluk paling menderita sedunia. Caranya, dengan membaca paparan dongeng ketegaran perempuan lain selain kita. Memang, ada beberapa yang mau dengan suka rela menyemangati saya untuk menjadikan kisah mereka dibingkai dalam satu cerita, tapi ada saja kendalanya. Salah satunya, saya menemukan kesulitan untuk menghubungi ‘pemeran’ kisahnya. Alhasil, saya pun kembali berusaha mencoba mengutak-atik cerita sebelumnya, dengan harapan, hasil polesannya akan indah.

Lagi-lagi, saya tetaplah saya, ngotot untuk menggolkan ide, walau jelas waktu mepet banget. Saya yakin, kalau niat yang tulus, pastilah tidak sulit untuk mencari nara sumber yang pas, untuk menggali hikmah dibalik ceritanya.

Lalu, datanglah ‘dia’. Seorang wanita muda, kerap tanpa sungkan mau
menegur dan mengajak saya berbicara. Ia bercerita banyak hal tentang dunianya dan dunia orang-orang disekitarnya. Sampai kemudian dengan rela, ia memberikan saya inspirasi menulis salah satu dari sekian ceritanya. Dia bahkan sangat membantu, mudah untuk dihubungi, baik melalui sms, atau hanya dengan email saja. Dari sisi penulisan pun, saya sempat terbawa dalam alur ceritanya. Emosi dan penjiwaan saya tuangkan dalam bait-bait cerita miliknya. Dan jadilah, polesan yang memang diinginkan penerbit, kisah nyata yang diceritakan dengan tipe kisah sejati, dengan judul, 'Walau Kemilaunya Semakin Pudar'.

Terus terang, pada awalnya saya pun tidak menyangka ide saya untuk punya kisah lain jatuh padanya. Sosoknya yang baru mengenal saya, justru punya daya tarik tersendiri. Dari seorang yang periang, ternyata menyimpan duka yang dalam. Niat saya untuk tidak hanya sebagai sparing curhatnya pun jelas saya lakoni. Banyak usul dan masukan yang akhirnya bisa membawa sedikit manis pada kehidupannya sekarang. Hingga setahu saya dia sekarang bisa menghilangkan luka boroknya sedikit demi sedikit.

Lepas itu semua, apa saya tidak masuk dalam kategori tema ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’ hingga harus menaruh ceritanya untuk dijadikan bahan rujukan bagi wanita lain?

Saya merasa -memang- belum pantas untuk dijadikan cerita di buku itu. Saya masih tergolong wanita biasa dengan kehidupan biasa. Bahkan bisa dibilang, kehidupan saya terlalu mudah dibanding wanita itu. Saya menjalani hari-hari biasa dengan rutinitas biasa. Jika sibuk -menjelajah sampai ke pelosok-, itu karena saya sudah memproklamirkan diri untuk menyibukkan diri semasa masih diberi waktu untuk itu. Jika sedih, itu karena memang gen saya adalah tanda lingkaran dengan tanda plus.
Yah, that’s me, just an ordinary woman with simple life.

Banyak hal yang bisa didapat dari kumpulan kisah nyata pada buku itu. Kita –khususnya saya- tidak perlu mendongak ke atas untuk melihat kemilau permata yang tidak dimiliki, yang bisa saja menitikkan noktah bernama iri bersemayam. Pun tidak perlu menunduk lesu, memberi kesan selalu minder dan terasingkan. Sebaliknya, kita semestinya harus lebih sering memasang senyum bahagia, bisa memberikan arti walau kecil pada sedikit cerita yang menghampiri. Lebih harus mampu berbagi, walau terkadang ada rasa tidak adil melihat mereka yang tertimpa perih.

Jangan jadi perempuan cengeng, walau kemilaunya semakin pudar.


Karena kebahagiaan memang harus kita ciptakan. Jika kita membiarkan hidup kita senantiasa diwarnai tragedi, maka selamanya air mata akan membasahi pipi.
Dan kita kehilangan sebuah kesempatan besar.
Mengecap warna-warni indahnya dunia ini...
(Jangan Jadi Perempuan Cengeng, 2008)