Tuesday, October 30, 2007

Bahagia di Libur Raya


Cukup 2 minggu saya telah mengalami ‘kegemukan’. Wah apa ya? Pasti pada mikir-mikir, gemuk apanya? Cukup, 2 minggu memang saya mengalaminya, baik dari segi fisik maupun otak. Wah otak bisa gemuk juga ya?


Cukup 2 minggu saya tinggalkan aktivitas rutin saya selama di Sengata. Mudik ke tempat orang tua saya tinggal. Bermanja-manja dengan mereka. Banyak bercanda dan menghibur ibu yang tetap saja menangis ketika melihat saya harus pergi kembali ke Sengata. Tapi, ternyata walau hanya 2 minggu, banyak hal yang bisa saya dapatkan. Banyak hal yang mampu membuat senyum saya mengembang, tertawa, bahkan menangis. Walau hanya 2 minggu.

Libur Raya kemaren, saya sempat berkumpul dengan salah satu saudara sepupu saya yang baru sweet seventeen. Seperti layaknya gadis muda –jaman sekarang- lainnya, pakaiannya seru banget buat saya. Hampir semua pakaian yang ia kenakan keliatannya -bagi saya- serba mengecil. Entah dia beli pada stand baju anak-anak, atau mengecil akibat seringnya masuk mesin cuci. Pokoknya ngepas aja di tubuhnya. Sebenarnya saya hampir sakit mata juga, dengan ada pemandangan gadis si pemakai baju kekecilan itu yang selalu wara-wiri didalam rumah. Lalu bisa ditebak, dari awal, saya sindir-sindir mesra dan halus. Sangat halus, sutra mungkin lewat deh saking halusnya.

Pertama dia hanya cengar-cengir, mesem-mesem kuda. Kedua dia mulai bereaksi dengan bertanya-tanya (mungkin telinganya mulai meradang juga nih?!). Ketiga dia minta waktu pada saya untuk berbicara.
“Selama ini, aku memang takjub melihat kakak begitu rapi dan tertutupnya. Sampe-sampe gak ada celah yang bisa terlihat dari balik kerudung kakak. Sebenernya aku iri, banget! Kenapa kakak bisa, tapi aku tidak bisa?”
Deg,…dia tidak boleh saya abaikan. Seseorang kadangkala memerlukan penyemangat dan dorongan yang kuat untuk berbuat maksimal dalam hidupnya. Right?

Akhirnya saya dan dia diskusi kecil, di dalam dapur bersih milik ibu. Pagi hari sambil ngopi (ngopi? saya banget!). Banyak hal yang ingin dia tahu dan korek dari saya. Saya pun memberi kelonggaran-kelonggaran baginya untuk bisa mengeksplore segala keinginannya. Apalagi dia tinggal di daerah hulu pinggiran sungai Mahakam, yang jaman dulu harus ditempuh satu hari satu malam dengan sebuah kapal. Tapi jangan tanya soal budaya. Para ABG’nya dengan cepat akan menyerap segala trend dan asyik-masyuknya metro yang bisa-bisa tanpa mereka saring. Pergaulan bebas dan barang-barang menggiurkan serta memabukkan bisa dengan mudah didapat, karena akses para turis asing yang sering keluar masuk. Dia pun sebenarnya berusaha kuat menghindari, dengan ingin segera memakai hijab pada dirinya juga hatinya. Inti dari segala permasalahan, keinginannya untuk segera mengenakan kerudung terhalang karena ketakutannya akan lingkungan tempat ia tinggal, takut pada orang tuanya, takut akan dijauhi oleh teman-temannya, etcetera, buntut dari ketidak PD-annya.

Pelajaran bagi saya, bahwa terkadang, manusia sering banget banyak mikir jika ingin berbuat kebaikan. Banyak excuse yang lama-lama akan menjebak diri sendiri dalam memubazirkan waktu. Lebih condong kepada hal yang popular dan lebih digemari, takut dijauhi dan dianggap aneh. Manusia sering banget menyepelekan apa yang sudah dijanjikan oleh-Nya, demi sesuatu dengan mengkambing hitamkan kalimat, ‘belum dapat hidayah’, atau, ‘entar aja kalu dah tua!’. Terus, gimana kalau belum dapat hidayah sampai ajal, atau belum keburu tua udah keburu meninggal? Who knows? Bahkan ada ucapan yang menusuk,’hari gini masih mau koar-koar memperbaiki masalah orang lain? Please deh!’. Nusuk kan? Banget!

Bagi saya, dengan mau mengerti masalah orang lain, mau menerima segala jenis curhat, dengan senang hati menerima sms malam-malam, lebih kepada perbaikan diri sendiri. Menjadikannya cermin bagi saya, bahwa masih banyak diluar sana yang ingin berbagi cerita. Menjadikannya pantulan, bahwa kita masih beruntung dengan tetap bisa tegar menjalani hidup dengan layak. Masih sangat beruntung banget!

@@@


Lalu, beberapa hari lewat, setelah diskusi kecil kami, saudara sepupu saya ini harus kembali ke kampung halamannya. Pagi-pagi buta, saya lihat dia sudah berbenah. Mengenakan baju lengan panjang, celana jeans, dan…memasang kerudung.

Senyumnya sumringah...
Bahagianya…

Tuesday, October 09, 2007

Eid Mubarak from my soul...

Heart : Ramadhan hampir berakhir…merasa kehilangan?

Human : Iya, tentu! Rasanya nggak bisa dilukiskan oleh seorang masterpiece pun…

Heart : Sudah lengkapkah ramadhanmu kali ini?

Human : Bicara soal lengkap, bisa menyangkut masalah puas nih! Dan manusia memang gudangnya ketidak-puasan. Saya merasa masih ada yang kurang saja. Bukan dimana-mana, tapi pada menjalani ramadhan kali ini.

Heart : Lakukan saja semampunya, bukankah Dia seperti prasangka kita juga. Disini tuh pembelajaran dimulai.

Human : Bener! Tapi mengapa kita selalu bertanya, ‘sudah cukupkah kita memanfaatkan bulan ramadhan sebaik mungkin?’. Apalagi, akhir-akhir ini, saya malah merasa tidak tahu diri. Dihari akhir-akhir ramadhan saya malah dibalut kecewa oleh rasa sakit yang mengakibatkan tidak ‘merdeka’nya saya dalam beribadah. Saya mesti mengernyitkan wajah saya menahan rasa sakit, banyak melakukan aktivitas hanya sambil duduk saja, karena untuk berjalan pun saya hanya bisa memberi waktu beberapa menit, kemudian satu kaki saya akan berteriak, ‘aku tidak mampu, jangan kau paksa!’. Duh, sungguh egoisnya!

Heart : Bersyukurlah kamu seharusnya, karena dengan sakit itu kamu jadi ngeh betapa sayangnya Dia padamu, masih mau menegurmu yang terlampau bersemangat dalam beraktivitas. Masih mau menyisakan waktu bagimu untuk beristirahat, dan inilah kesempatan untuk menghapus dosa-dosamu.

Human : Iya, tapi tetaplah seorang egois masih selalu mempertanyakannya.

Heart : Allah Maha berkehendak. Hanya Dia yang tahu tepat atau baiknya buat kita.

Human : Saya banyak dosa, mungkin kurang silaturahimnya, sering tidak sempat untuk menulis diblog, waktu yang makin mepet untuk BW, sering tidak mampu meluangkan waktu untuk satu blog teman yang loadnya lama sekali, jarang menyapa walo hanya diSB (wah ini masalah ‘dunia maya’ yak?!?), saya sering tenggelam pada setumpuk pekerjaan menulis, membimbing adik-adik disekolah, rapat yang hampir tiap hari, belum buku baca’an yang pengennya dilirik mulu…tuh kan, sudah kurang silaturahim, mengakibatkan menumpuknya banyak dosa ya?

Ramadhan…
Kau hampir melangkah
Tapi debar rindu telah mendera disetiap pembuluh darahku
Kegugupan akan jauhnya perjalanan mulai menyeretku
Hingga, tersimpuh memohon
Siramilah rindu agar selalu bersemi dan merebak
Hingga tiba saatnya, “Dia” berkenan mengijinkan kita untuk bertemu

Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Taqabballallahu Minna WaMinkum
Taqbbal Ya Karim
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 H

Ila Liqo Fii Amanillah
Salam Ukhuwah dan Cinta selalu dari Ummi Rien, Abi Indro, Aa Jihad dan Ade Kareem

Monday, October 08, 2007

Ibu, Rinduku di Akhir Ramadhan...


Seperti tersihir, kita sudah berada pada hari-hari menjelang berakhirnya ramadhan. Shaf-shaf didalam mesjid mulai kelihatan longgar, tidak sepenuh ketika awal ramadhan, kajian-kajian islam pun hanya dihadiri oleh segelintir orang. Seakan-akan banyak duri tajam yang tersebar sepanjang jalan kemesjid, sedangkan karpet merah nan lembut ketika dipijak membentang sepanjang arah pusat perbelanjaan. Miris!

Namun, ada satu suasana lain ketika memasuki masa-masa berakhirnya ramadhan dengan dijelangnya hari nan bersih, penuh kemenangan bagi mereka yang lulus dalam ramadhan, yaitu Idul Fitri. Suasana hati mulai merindu, padahal ramadhan belum berlalu, berat hati melepaskan dan begitu ingin direngkuh selamanya. Seperti halnya suasana rindu serta membayangkan segala keindahan pada waktu ketika masih kanak-kanak. Rindu pada satu sosok yang selalu setia menemani, memberikan sentuhan sayang, penuh kasih menuntun. Sosok yang selalu tidak bisa lepas dari segala bayangan keindahan mana pun, menyeruak membayangi pelupuk mata. Ibu. Ya, sosok seorang ibu.

Ketika kecil, saya masih mempunyai rekaman, betapa ibu bagaikan seorang yang tiada lelah. Mempersiapkan rumah, menyajikan segala hidangan, menyisihkan sedikit uangnya untuk membelikan pakaian layak pakai pada hari Idul Fitri. Tergopoh-gopoh melayani kerabat dekat maupun yang jauh, yang berdatangan pada hari itu. Dan senyum selalu mengembang disudut bibirnya, walaupun jelas kelelahan tampak diwajahnya. Indah, mengenang ibu seperti mengenang taman surga yang pernah kita miliki sewaktu kecil. Surga yang ia ciptakan memang penuh pesona. Ibu, tidak hanya berarti bagi kita pada masa kecil, tapi tetap agung, walaupun kita bukanlah lagi anak kecil.

Saya memang sedang membayangkan sosok ibu. Sosok yang sekarang jauh dari tempat keberadaan saya. Sosok yang semakin menua, semakin mengguratkan rasa letih. Saya dan ibu memang semakin dekat ketika masa-masa saya mulai melepaskan diri dari keluarga. Jauh dari ibu dimulai ketika saya mengambil pekerjaan ditempat yang jauh, menikah hingga mempunyai anak pun saya tetap jauh dari keberadaan ibu. Hingga jika lebaran tiba, saya selalu mengusahakan untuk bisa berada disampingnya. Melebur segala kerinduan kami, melebur segala kisah manis dan indah, hasil kenangan saya dan ibu pada masa kami masih tinggal bersama.

Dilain pihak, saya pun mengenang seorang teman yang juga seorang ibu. Ia telah pergi setahun yang lalu. Ia yang saya kenal sangat energik, penuh kasih pada anak-anaknya, selalu mencurahkan segala perhatiannya untuk keluarganya. Hingga masa-masa terakhirnya, ia masih bisa habiskan bersama orang-orang yang ia kasihi. Ah, di hari lebaran nanti, pastilah rindu kehadirannya yang hangat akan dirasakan oleh anak-anak juga suaminya. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan menyambangi makamnya, menuturkan kerinduan, memberikan doa agar selalu lapang ‘tempat tinggalnya’ sejak setahun yang lalu.

Lalu, saya pun membayangkan banyak sosok anak-anak yang kini berada di panti-panti asuhan. Mata mereka kian basah ketika memasuki akhir ramadhan dan menjelang datangnya Idul Fitri. Dekapan dan ciuman dari ibu yang telah melahirkan mereka, tidak dapat mereka rasakan. Meluapnya kegembiraan sebagian orang dalam menyambut hari kemenangan itu, hanya bisa membuat mereka menerawang, merindukan ibu, yang kedua telapak tangannya tidak dapat mereka cium mesra.

Pada hari-hari terakhir ramadhan ini, banyak hal yang ingin kita tarik ulang. Tetap bisa bertemu pada bulan suci ini, menjadi orang yang istiqomah, bertaqwa dengan selalu berbakti kepada orang tua, terutama pada sosok seorang ibu. Pada setiap akhir ramadhan, banyak hal yang harus bisa kita jadikan hikmah dan pembelajaran, dengan semakin bisa membuat kita menjadi umat yang ikhlas. Ikhlas dalam menjalani hidup, ikhlas menjadi seorang ibu, ikhlas menyayangi ibu, ikhlas dalam mengayomi ibu yang semakin tua, ikhlas pada kepergian sosok ibu jika kelak tiba masanya, juga ikhlas untuk menjadi ibu bagi mereka yang merindukan sosok ini.

Semoga, kita bisa menjadikan akhir-akhir ramadhan ini sebuah prestasi yang kelak akan dapat mengangkat derajat kita di mata Sang Pemilik Kehidupan. Insya Allah.

Ibu,…
Pada akhir-akhir ramadhan
Rindu membuncah akan indahnya bulan ini
ingin selalu khidmat didalamnya
Seperti rindu pada dirimu
Ingin selalu dekat disampingmu

Monday, October 01, 2007

Anak Berpuasa? Perkenalkan dan Biasakan!

Postingan ini bukan didasari niat untuk riya atau membanggakan sesuatu yang mutlak milik Sang Pemilik Kehidupan, tapi lebih kepada penyemangat para ummi, bunda, mommy, ibu serta panggilan lain yang mewakili kita sebagai ummahat.

Sulung saya, Jihad, ramadhan ini sangat menikmati puasanya. Bahkan terlihat enjoy dengan aktivitasnya yang biasa dilakukan anak-anak umumnya. Bermain, lari kesana kemari, bahkan tidak tidur dari subuh. Sempat, terpikir rasa khawatir akan susahnya mengajak dia untuk menunaikan rukun islam yang ke 3 ini, yang saya mulai ketika usianya mulai menginjak 4thn. Malahan, waktu itu orang tua saya menegur, ‘Apa nggak terlalu dini ngajarin Jihad puasa? Nanti kan dia akan tahu kewajibannya ini kalau dewasa nanti.” Umm..mungkin saja dia akan mengerti atau malah sebaliknya? Justru hal sebaliknya ini yang sebisa mungkin saya tekan agar tidak memperburuk akhlaqnya nanti. Wallahu alam.

Sebenarnya kalau saya putar ulang memori saya dan Jihad alami, mengenalkan kata puasa sudah saya lakukan ketika dia masih bayi. Waktu itu saya selalu katakan, ‘Jihad buka puasa ya?’ ketika dia mulai merengek minta susu pada saya. Pada saat itu saya yakin, suatu saat kelak, kata-kata puasa akan menempel pada ingatannya. Bukankah, masih didalam perut pun kita selalu mengajak bayi kita berbicara? Apalagi jika sang bayi sudah bisa menangkap komunikasi kita, berbicara apa saja dalam hal positif saya yakini akan mempengaruhi bagaimana mereka berpikir nantinya.

Lalu ketika usianya 4thn, usia TK A, saya sudah mulai kenalkan dengan berbuka dan sahur. Tidak mempersilakan dia makan pada siang hari, kecuali dia minta. Dan seperti waktu ia bayi, saya masih selalu katakan, ‘Aa buka puasa ya?. Sepele ya kedengarannya? Tapi dampak psikologinya yang akan berperan bagus. Alhamdulillah, kemaren menjelang ramadhan, saya sempat dikejutkan oleh keinginan Jihad untuk saum sunnah senin kamis, ‘biar terlatih Mi, bentar lagi kan puasa 1 bulan’. Subhanallah. Percaya atau tidak, tapi inilah yang menggembirakan saya. Walau terselip rasa khawatir, apa nantinya bisa dengan senang dan nikmat dia lewati puasanya? Jangan-jangan bisa banyak bolongnya? Biasa deh, namanya seorang ibu, banyak ragam kekhawatiran dalam menghadapi buah hatinya.

Lalu suatu hari, “Tips-tips dong Mi, biar anak saya bisa diajak puasa!”, seorang ibu memintanya diselingi keluhan akan anaknya yang susah sekali puasa sedangkan usianya lebih tua dari Jihad. Ehem…ehem, tidak ada tips khusus sebenarnya, karena saya yakin anak memiliki karakter mereka masing-masing. Dan setiap karakter yang mereka miliki hanya seorang ibu yang lebih mampu memahami mereka dengan baik. Usaha-usaha saya yang sudah saya urai diatas juga bisa dijadikan percobaan, karena usaha demikian sudah umum bagi ibu-ibu. Mungkin lebih pada keep try don’t be bored yang mesti diingat. Karena jika kita sudah mulai menyerah dan mengatakan, ‘Ah nanti juga setelah dewasa dia akan bisa memahaminya sendiri’, akan berdampak tidak baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang tua terlebih pada si anak. Siapa yang bisa menjaminnya?

Mengapa saya bisa mengatakan demikian?

Saya mengenal seorang anak yang tidak bisa dikatakan anak-anak lagi, tapi sudah pada masa peralihan dari remaja ke usia dewasa. Dia pun masih tidak bisa mengekang keinginan-keinginannya pada ramadhan kali ini, bahkan pada ramadhan-ramadhan yang telah berlalu. Dia selalu saja mengeluh tidak dapat menahan rasa haus dan laparnya, padahal telah diberikan kesempatan untuk tidak berpuasa baginya ketika ia mendapat haid. Saya pun mencoba memahami dengan mengorek sedikit masa kecilnya, dan ternyata memang dari dulu, orang tuanya sangat bisa memaklumi dan melonggarkan peraturan dan tidak mengingatkan kewajiban berpuasa pada bulan ramadhan. Dampaknya tentu saja mengakibatkan ibunya merasa tidak berhasil serta bingung bagaimana anaknya ini bisa dilatih kembali, bahkan beliau bisa merentangkan kedua tangannya dan berucap, ‘rasanya aku bingung harus gimana lagi, nyerah kale!’. Masya Allah, kasian ya? Lebih kasian kalau kita hanya diam saja. Maka sebisanya saya mencoba memberi sedikit masukan pada si ibu, bahkan saya mengatakan, ‘doa ibu itu tidak ada hijabnya loh. Hayo, berdoalah yang terbaik untuk anak-anak kita.’ (syukron jazakallah seorang ustadz pernah mengatakannya)

Jadi ya Ummi, anak kita ibarat sebuah gelas kosong, yang isinya telah diserahkan sepenuhnya kepada kita sebagai pemegang amanah. Tentunya isi yang terbaik dan yang menjadikan mereka menjadi anak soleh dan soleha’lah yang selalu kita impikan. Jika demikian, jangan pernah surut langkah dalam hal memperkenalkan dan memperteguh keimanan anak kita. Tidak ada dalam kamusnya kebaikan kalimat ‘terlalu dini’, tapi yang ada mulailah ‘sedini’ mungkin yang pernah saya tahu dan buktikan sendiri. Dan yang paling penting, perkenalkan, membiasakan, lalu akan timbul rasa rindu dan mencintai. Seperti pepatah jawa 'witing trisno jalaran ...., tidak kenal maka tak sayang.

Bungsu saya, Kareem, juga pelan-pelan saya ajarkan hal-hal yang harus kita tingkatkan dalam bulan ramadhan. Terlalu dini? Tentu tidak! buktinya, dia akan dengan senang hati merebut segala benda yang saya baca, dan komat-kamit membacanya.