Tuesday, February 17, 2009

Unik itu Seni



"Banyak hal-hal yang tidak terduga dari orang-orang yang saya kenal belakangan ini"

Itu kata salah seorang sahabat saya, ketika siang itu saya dan dia ngobrol membahas beberapa hal. Entah, mungkin karena saya dan dia punya hobi dan kesenangan yang sama, lalu itu semua bisa berlanjut pada pemikiran yang juga hampir mirip. Saya pun belakangan ini berpikir hal demikian. Hm...

Kalau hal yang tidak terduga, mungkin terlampau banyak yang telah kami alami, hanya saja, tekanan kalimat itu baru tercetus akhir-akhir ini. Jika kegelisahan ini baru keluar, lebih mengacu kepada situasi yang ternyata tidak terjadi pada satu atau dua orang saja. Justru sepertinya semua orang-orang di sekeliling menjadi kelihatan belang aslinya. Ataukah saya saja yang baru merasa bahwa ini merupakan buah dari segala lingkup pergaulan yang telah dilakoni selama di kota kecil ini.

Salah seorang teman saya malah mentasbihkan dirinya, sebagai orang yang sangat harus dikasihani, memprihatinkan, karena angan-angannya untuk bisa segera keluar kota, demi sebuah ilmu, terhambat, atau malah harus dikubur oleh jabatannya dalam satu keorganisasian. Memang posisinya cukup penting. Namun dampaknya malah saya tak pernah berpikir bahwa kemudian ia berlaku dengan hal-hal yang tak terduga, dengan gayanya yang selama ini santai saja, terlihat jaim dan sedikit jutek. Stres kali ya?

Ini merupakan rangkaian. Rentetan dari jaim dan juteknya berimbas pada teman-teman yang lain, yang menimpali dengan kejutekan dan kejaiman pula. Ada yang sengaja mendiamkan, ada sengaja ikut-ikut saja, ada yang malah tidak merasa sama sekali, saking cueknya. Runyamnya, masing-masing posisi menyalahkan, saling mencoba bikin tameng lalu membesarkannya dengan cara sendiri-sendiri.

Keunikan, itulah yang mungkin bisa dibaca dari gejala seperti ini. bagaimana pun manusia diciptakan dengan pola berpikir yang berbeda. Walau sama-sama mempunyai rambut hitam. Setiap orang pasti punya masing-masing tingkat pemahaman, kalau tidak boleh dibilang perbedaan itu terletak pada tingkat cepat atau tidaknya menangkap satu pesan. Seharusnya memang tidak perlu dirutuki, tapi apa bisa? Kita manusia. Mau menyangkal apa?

Keunikan lain, bagi saya –yang pernah merasa dipaksa untuk menyetir sebuah kendaraan organisasi di jalan yang banyak lubang-, ini merupakan angin segar. Betapa tidak? Posisi ini tentunya sebagai ganti ilmu yang ingin ia kejar di luar sana. Sebuah ilmu yang memerlukan waktu dua atau tiga tahun untuk dipelajari, biaya yang tidak sedikit, dan mungkin akan ada ketidakmampuan menggandakan waktu sambil mengurus hal lain. Tapi untuk posisi yang ia terpaksa ambil? Hm, dalam waktu sebulan saja, ia dituntut untuk tanggap, cepat berkoordinasi, teman-teman mendukung penokohannya dengan menaruhnya didepan barisan, serta tak perlu keluar biaya tinggi. Dan,...bayaran untuk dia tidak dapat dihitung. Kasih sayang Tuhannya yang memberikan kesempatan ini, tentunya.

Hal yang tak terduga itu ternyata unik. Keunikan itu perlu dalam berbagai kesempatan, terlebih dalam sebuah organisasi. Walau reaksi untuk keunikan itu, saya harus tergelak hingga megap-megap, karena harus terlebih dahulu memaksakan hati untuk lebih rasional, tapi itulah seninya.

Ya, unik itu seni, bukan?