Wednesday, September 08, 2010

Melembutkan Hati

Sebulan yang lalu, lelaki itu mungkin tidak akan pernah menyangka, hari-harinya akan begitu pilu. Ia mungkin tidak pernah mengira, ketika ramadhan tiba, kehangatan yang selalu ada, akan terenggut. Ia mungkin tak pernah membayangkan, kelak, selesai tarawih, jama’ah mulai meninggalkan tempat satu persatu, bahkan telah hampir kosong, tapi ia, lelaki itu, hanya dapat memandangi putri bungsunya, tertidur lelap di lantai masjid yang dingin.

Sebulan lalu, ia, lelaki itu, baru saja kehilangan istrinya. Istri yang selama ini begitu dicintainya. Ibu dari ketiga anaknya, yang sangat ia percaya mampu mendidik mereka, walau sang istri masih bisa berkarir diluar rumah. Istri yang sangat sabar menghadapi tingkah polah ketiga anaknya. Hanya diam dan tersenyum, ketika rengekan anak-anaknya kerap terdengar diantara warga yang menghadiri pengajian. Ibunya tetap memberi keleluasaan pada anak-anaknya, walau kadang dirasa berlebihan oleh orang lain.


Terakhir bertemu, sekitar bulan Februari. Ketika itu ada pengajian rutin yang diadakan oleh warga komplek. Seperti biasa, ia, lelaki itu datang, bersama istri dan ketiga anaknya. Agak terlambat, hingga istrinya duduk di barisan belakang. Tidak banyak bicara, dan sesekali berbisik, mencoba menegur salah satu anaknya yang aktif kesana kemari. Diantara para ibu-ibu, sang istri pun hanya tersenyum, dan menjawab teguran dengan kalimat-kalimat pendek. Pemalu atau pendiam, saya tidak tahu persis. Karena sang istri jarang terlihat, karena kesibukkannya sebagai karyawan perusahaan. Tapi hanya satu yang saya dengar dan lihat, sang istri sabar sekali menghadapi anak-anaknya. Bagi saya, luar biasa.

Hingga menjelang ramadhan, kabar itu datang, di sela-sela suka cita menyambut bulan suci itu. Kabar pedih bagi lelaki itu. Juga bagi para teman dan tetangga yang mengenalnya dengan baik, ataupun sekedarnya. Sang istri tak pernah menampakkan sakit yang parah. Ia, sang istri, hanya mengeluh pusing. Lalu beberapa saat kemudian koma, dan pergi beberapa hari kemudian. Sungguh, kala itu yang terpikir pada masing-masing kami yang mendengar, adalah tak mengira sang istri pergi begitu cepat tanpa sebab yang terlihat oleh kasat mata. Terlihat baik-baik saja, tanpa gejala yang mengkhawatirkan. Tapi siapa nyana? Bukankah ini salah satu rahasia yang tak pernah mampu kita perkirakan? Kapan pun itu, bukankah kita harus siap? Yang ditinggal maupun yang ditinggalkan harus siap? Kemudian semua menjadi terhenyak dan merasakan perih sembilu milik lelaki beserta ketiga anak-anaknya itu. Betapa dekatnya sebuah hubungan, tetap saja akan ada batas yang menjauhkannya.

Maka selalu terlintas dalam benak, ketika melewati rumahnya yang memang sepi, lalu membayangkan, kesepian itu semakin sempurna dengan tidak adanya istri bagi lelaki itu, dan ibu bagi ketiga buah hati mereka. Melihat ketiga bocah itu bermain di pekarangan, namun tak ada senyum manis yang menyambut dan menemani mereka. Tak ada kesibukkannya mempersiapkan berbuka puasa, karena kepergiannya justru merupakan saat dimana kebersamaan sangat begitu bisa dirasakan. Saat-saat yang pastinya selalu dinanti, selalu akan dikenang. Dan, ia, perempuan itu, memang telah memberi kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh lelaki dan ketiga buah hati mereka.

Menjelang dan selama ramadhan kali ini, pikiran saya sibuk melanglang, termenung, membayangkan seperti apa rasanya jika posisi lelaki itu terjadi pada salah satu diantara kami. Atau mungkin posisi perempuan itu yang akhirnya menuntaskan segalanya. Pikiran saya mencari-cari, harus seperti apakah menghadapinya? Harus seperti apakah menampilkan diri setelah ditinggal oleh seseorang yang setia mendampingi selama ini? Atau, apakah yang tengah dialami seseorang yang telah pergi itu? Harus seperti apakah makhluk yang telah menemukan jalan akhirnya? Apa yang ia alami, di dimensi yang lain? Atau, sungguh, betapa tak kuasanya manusia berpaling dari ajal, walau bulan penuh cinta ini telah tampak untuk disongsong.

Pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun mau tak mau, menuntun jiwa ke dalam sebuah ruangan yang kosong. Hingga terus berpikir, apa saja yang akan menjadi isi dari ruangan itu, agar penghuninya dapat tinggal nyaman.

Hingga menjelang berakhirnya ramadhan, terasalah, mengapa tidak hanya lelaki itu yang merasakan kehilangan. Mungkin –bahkan pasti ada lelaki-lelaki lain, atau perempuan-perempuan lain, dengan usia dan bentuk kehilangan yang beragam. Menjelang berakhirnya ramadhan, segala kegelisahan terjawab. Menghadapkan kita pada kematian, adalah cara Tuhan untuk membuat hati kita yang telah keras dan berkarat, menjadi lembut. Hati yang dengan mudahnya bisa Ia bolak-balik. Hati yang banyak kita lalaikan untuk dijaga. Hati yang semakin hari semakin berkurang kadar sensitivitasnya. Hati yang kita abaikan walau hanya untuk merasakan, bahwa ada takdir di setiap tarikan nafas yang telah diberikan-Nya. Hati yang tidak kita sematkan pada ruangan penuh kasih, pada hal-hal yang menjadi bekal kita kelak ketika kematian itu bukan kita dengar lagi, tapi justru kita alami.

Dan, benarlah! Cara Tuhan untuk melembutkan hati hamba-Nya, jika bukan sebagai peringatan, tentunya sebagai cinta kasih-Nya yang masih mau kita datangi, walau kuantitas serta kualitasnya bukan sebagai hamba yang taat.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dan… Wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu memberikan cara padaku
Bagaimana merawat dan memperlakukan milik-Mu ini
Maka, hancurlah diri yang fana ini sejak dulu
Dan… wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu kutemui
Menyebut nama-Mu di setiap keindahan pada pelupuk mataku
Maka, sungguh… siapa lagi yang akan kutemui kelak?
Dan… wahai Pemilik hatiku,
Maka, sungguh…aku tak tahu jalan pulang
Selain pada diriMu