Monday, February 26, 2007

R.I.P



Pernah terpikir tidak oleh para perempuan yang sudah bisa dipanggil ‘Ummi’ atau ‘ibu’, atau ‘bunda’ atau ‘mommy’, untuk mengajarkan makna dari kata ‘kematian’ pada anak-anaknya? Terdengar aneh?

Suatu malam, saya menemani Jihad, menyelesaikan kliping untuk tugas PKnPS di sekolah. Gunting sana, gunting sana. Patut sana, patut sini. Saya yang memilih contoh gambar, sedang Jihad menulis deskripsi gambar yang sudah ditempel. Saya yang sedang asyik memilih dan menggunting, tidak menyadari sama sekali kalau Jihad sudah tercenung diam sambil memandang saya. Merasa tidak apa-apa dan biasa saja, saya tetap melanjutkan kegiatan memilih dan menggunting.

Jihad : “Mi, kalau Ummi sudah ga ada, Aa mengerjakan tugas-tugas seperti ini sendirian deh!”
Saya mendongak, kaget…
Ummi : “Maksud Aa teh Ummi meninggal?”
Anak saya itu mengangguk sambil kembali menulis deskripsi klipingnya.
Ummi : “Kalau Mi sudah ga ada, Aa harus bisa mengerjakan sendiri, mandiri ya Nak".
Jihad : “Iya Mi, nanti kalau Mi udah ga ada, Aa do’akan Mi biar Mi masuk syurga” .
Duh,…coba deh! Hati siapa yang ga runtuh, dengar kata-kata anak berumur 6.5 thn ini. Saya peluk dia, saya bisikkan “You are My Jundi!” dan dia pun tersenyum lebar.

Saya tidak menampik, bahwa sayalah orang yang mengakibatkan Jihad berkata seperti itu. Setiap dia ‘agak’ susah untuk diajak tahfidz, atau males-malesan mengambil air wudhu, saya selalu mengatakan...

“My Jihad, ga selamanya Ummi bisa mengingatkan ini, ga selamanya Ummi bisa dampingi Jihad, ga selamanya Ummi bisa memeluk dan menggiring Jihad untuk berwudhu atau memperbaiki lafadz-lafadz Jihad selama tahfidz, karena Ummi manusia biasa, suatu saat nanti Ummi akan seperti yang lain, meninggal dan pergi selama-lamanya. Terus Ummi punya warisan apa selain menanamkan ketaatan dan ketaqwa’an Jihad kepada yang menciptakan Jihad. Mau ketemu Ummi lagi kan Nak diakhirat? Kalau Jihad mau ketemu lagi, bakti sama Allah dan doa kalian yang akan menyelamatkan Ummi”.

Belajar untuk kehilangan segala sesuatu didunia ini adalah hal yang paling sulit untuk kita sebagai orang dewasa apalagi untuk anak-anak. Tapi itu harus dijalani, seterjal apapun yang akan dilalui. Egois kah saya? Memang saya merasa egois ketika saya malah tidak mengenalkan hal ini pada mereka. Sangat egoisnya saya, ketika meninggalkan mereka tanpa memberikan bekal apapun. Sangat egois!

Pembelajaran hal ini bukan tanpa awal suatu kejadian. Semua bermula pada tahun 2005, ketika melahirkan Ade Kareem, saya dipaksa untuk belajar akan kehilangan kesayangan kita. Saya hampir merasa dijauhi oleh SANG PEMILIK ketika Ade divonis retina blastoma, kanker mata yang tidak akan menyelamatkan pengidapnya. Saya sempat runtuh, larut dan kecewa, kenapa bukan saya yang mengalaminya. Tapi, memang Allah maha BIsa Berbuat segalanya. Vonis itu dimentahkan dan diganti dengan Fibrioptik yang menyebabkan terhambatnya perkembangan salah satu matanya. Alhamdulillah, bukankah berarti Allah sayang pada saya, dengan memberikan sesuatu yang akan mengingatkan saya pada’NYA. Dari situ saya belajar, saya tidak bisa merengkuh apapun yang saya sayangi untuk selamanya. Karena begitu besarnya perasaan sayang pada mereka, masih begitu besar sayang SANG PEMILIK pada mereka. Lalu, jika ditanya apakah saya akan siap ketika kehilangan mereka? Saya akan jawab “Saya harus siap!!" Lalu, ketika mereka ditanya apakah mereka siap jika kehilangan saya, akan dijawab “Semoga Ummi masuk syurga, we love you Mi” dengan mata dan tatapan yang polos.

Aneh kah apa yang saya terapkan?
Siapkah para mommy untuk mengenalkannya?

Thursday, February 22, 2007

That's Life...

Sebuah sapa membuat saya menoleh memperhatikannya. Seorang wanita muda, simple, banyak senyum dan ceria. Saya pun tersenyum, membalas sapanya. Lalu, mengalirlah ceritanya. Cerita seorang wanita, yang menurut saya, sudah teraniaya batinnya, berusaha tegar, mencari pegangan agar tetap bertahan. Seorang imam hidupnya yang ia pilih ternyata tidak lebih dari seorang yang senang mengumbar kata-kata kasar, menyakitkan dan menoreh semakin dalam luka hatinya yang semakin memborok. Saya merasakan lukanya...dan...yah ternyata untuk jujur itu menyakitkan. *sigh*
Begitu sinetronnya kisah yang dia paparkan selama ini. Tapi, bukankah kehidupan kita selama ini juga sebuah sinetron yang para pemainnya adalah masing-masing diri kita? Jadi, alangkah naifnya, jika kita sering menonton sinetron ditelevisi, padahal kita sendiri mempunyai script kehidupan masing-masing.

Kisah wanita itu, bukanlah kisah yang baru pertama kali saya dengar. Sejak dulu saya sering menerima (dan saya pun dengan senang hati) hal-hal seperti ini. Dan terkadang yang suka membuat saya geram, justru dengan alur cerita yang mendayu-dayu, batin terkoyak, si wanita tetap ingin mempertahankannya, karena satu alasan klise. Satu alasan yang oleh saya (baca: seorang yang ekstrim) sangatlah diplomatis. Addicted to love (seperti judul pelem?)

Seperti juga cerita dari seorang sahabat lama, yang kami pernah sama-sama berjuang menaklukkan hutan belantara Kalimantan. Ketika saya memutuskan hijrah dari tempat kami waktu itu, cerita darinya tetap mengalir, dan tetap memberikan nuansa tersendiri dalam kehidupan saya. Dia adalah seorang yang istiqomah, berjuang dalam hidup tidak mau tanggung-tanggung, seperti itulah sosok yang saya kenal selam ini. Hingga satu hari datang surat elektroniknya yang berisi tumpahan pikirannya. Tentang keinginannya agar segera keluar dari kehidupan hutannya sekarang. Dia ingin berjuang, ingin merasakan jatuh bangunnya suatu kehidupan. Dimana ia, istri, dan anak-anaknya berkubang didalamnya. Dan dia merasa dia mampu menjalaninya karena potensi dalam dirinya tidak diragukan. Saya pun tidak ragu. Tapi mengapa dia tetap memutuskan tetap pada kehidupannya sekarang? Niat untuk hijrah belum dijalankannya? Ternyata dia meragukan kemampuan istrinya dalam hal perjuangan, ketakutan istrinya, kekhawatiran, kepiluan yang mungkin nantinya akan menimpa istri serta anak-anaknya. Walopun skema tentang perjuangan itu sudah dipaparkannya kepada para makmumnya ini.
“Sebagai kepala keluarga, saya tidak bisa memaksa membuat keputusan sendiri yang dampaknya akan melibatkan seluruh keluarga. Yang saya khawatirkan jika saya keluar dari tempat saya sekarang, adalah ketika saya mendapatkan sedikit kegagalan dalam perjuangan panjang, saya tidak akan menemukan kekuatan pendorong atau minimal sandaran (shoulder to cry on) untuk istirahat sejenak sambil memikirkan langkah selanjutnya. Jangan-jangan ketika saya menemukan sedikit kegagalan, semua kesalahan akan ditimpakan ke saya (jadi kambing hitam gitu loh). 'Kan sudah saya katakan..bla...bla...bla...'. Ah, saya lebih takut disalahkan oleh orang-orang yang saya sayangi daripada menghadapi tantangan dan kegagalan dalam perjuangan. Tapi ukhty, hal ini tidak terlalu menjadi beban juga. Apapun yang saya lakukan atau putuskan untuk saat ini, walaupun itu sedikit mengecewakan. Yang teringat selalu adalah kata-kata 'Lihat sisi positifnya saja'. Jika saya berada di luar sana, mungkin saja saya berhasil jadi pengusaha atau malah jadi pecundang. Yang jelas, saya akan susah menjadi tukang ceramah".

Demikian yang ia curahkan pada saya. Hingga sampai-sampai dia mengatakan saya adalah “shoulder to cry on’ku” karena mau saja menerima muntahan ceritanya. Anyway, sekarang dia memang menjadi tukang ceramah. Salut u, akhi!!!

Berbicara tentang ketakutan, saya juga pernah mengalami berbagai macam ketakutan dalam hidup. Tapi entahlah, mungkin saya adalah tipe pejuang sejati, bermodalkan nekat tapi tetap punya bayangan seperti apa kehidupan yang akan saya lewati ketika saya memutuskan untuk melewatinya. Karena, bukankah hidup itu sebuah perjuangan, tidak akan bermakna dan menemui satu titik akhir jika kita tidak mau memperjuangkannya.

Dari dua cerita di atas, tokoh yang saya sorot adalah seorang wanita yang mendapat predikat sebagai istri dan ibu. Tidak ada yang sesuatu yang menyakitkan ketika kita bertumpu pada keyakinan dan percaya, bahwa apa yang kita jalani hanya alur hidup yang mesti kita jalani dimuka bumi yang fana ini. Dan lebih yakinlah lagi, setiap kejadian pasti akan membawa hikmah dan menguatkan diri kita untuk tetap bertahan.

So guys,... hiduplah berdasarkan konsep dasar, yaitu:
1. Surah Al Anfaal ayat 53 : "Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri."
2. Surah Ath-Thalaq ayat 2 dan 3 : "Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."

Ah, seperti penceramah saja!!! $%$%%^*^$$!#^$%
Bukannnn, ....saya hanya sebagai penggembira dan penyemangat. Tidak lebih! Dan saya pun menulis ini, karena masih dalam tahap belajar menjalani hidup dengan semestinya. Wallahualam.
untuk sahabat-sahabat saya, terimakasih menjadikan saya 'shoulder to cry on' kalian :)

Tuesday, February 20, 2007

My Little boy


Tangan kecilnya merengkuh saya yang sedang dikejar target laporan yang harus diselesaikan. Senyumnya mengembang, tepat didepan wajah saya. Jaraknya cuma beberapa senti. Saya balas senyumnya, ...
“Kenapa sayang?”
…matanya yang indah malah bermain-main, berkedip-kedip (lagi-lagi tepat didepan saya)…

”Sayang kenapa matanya?”
…dia tetap tersenyum…

”Ko senyum-senyum sih!!!”…

“Ihhh,…ayan ummi, peluk ade ummi, angan newet!!!” (baca : Ihhh…sayang ummi, ade peluk ummi, jangan cerewet!)
…Hiyaaaa…saya kaget! Dan buru-buru meluk manusia kecil yang saya panggil ‘ade’ (kadang saya panggil Kareem). Subhanallah. Dia sudah bisa menyatakan keselnya dengan meniru omongan saya dengan intonasi yang dia olah sendiri. Ngaku! Saya kadang mengatakan hal ini “Ade, sebentar ya, jangan cerewet dulu ya”. Pengucapan saya juga tidak pake ditekan-tekan dan tinggi, cukup membuat ade mengerti bahwa saya hanya meminta waktu sebentar untuk menyelesaikan tugas. Tapi olehnya, kata-kata itu bisa ditekan dan intonasi yang berbeda seperti saya berikan.

Bukan hal baru, saya temui anak bungsu saya ini berkata-kata dengan mata kecilnya, dengan tingkah tengilnya, atau bahkan melotot sambil nomprok dan mencium saya. Dan saya tetap takjub, tetap terperangah, ketika hal-hal kecil itu disodorkannya. Bahkan untuk hal-hal yang berulang-ulang sekalipun. Ko bisa ya? Rasanya baru kemaren, saya menimang-nimangnya, masih bisa merengkuhnya dengan enteng. Sekarang? Dia yang selalu gembira dan memeluk saya dengan gemasnya.

Ade sudah bisa berkomunikasi dan berbicara dengan saya, Abi dan A’anya ketika umurnya 1.5thn. Dan sekarang, diusia 2thn, saya menikmati setiap perbincangan ketika kami hanya berdua. Ngobrol tentang hal apa saja. Tentang inginnya ade berenang setiap wiken, tentang bentuk-bentuk benda yang kami berdua mainkan, atau sekedar mendengar dia berteriak “Mi, ade nisaaaa!!! Pintel nawoh olat! (Mi, ade bisaaaa! Pinter naruh sholat). Yes! Cuma saya yang masih bisa mengerti bahasa planetnya ade, karena saya induknya. *smile*

Kata orang, hal-hal seperti ini akan terjadi ketika kita baru mempunyai satu orang anak. Bahkan untuk kedua, ketiga dan seterusnya, terlihat sangat biasa dan memandang sebelah mata untuk tiap menit tingkah balita ini. Tapi, bagi saya tidak! Saya tetap menemukan sisi-sisi takjub itu, untuk setiap hal-hal yang dilakukan anak-anak saya, bahkan terkecil sekali pun. Di lain sisi, takjub saja tanpa memberikan kelurusan juga tidak akan baik bagi perkembangan anak. Ketika saya temui, salah satu dari anak-anak saya melakukan hal yang sangat tidak bisa ditoleransi, saya tetap memberikan sangsi (bukan hukuman) kepada mereka. Sangsinya tetap pada sesuatu yang mereka senangi. Deal kan? Karena saya percaya, dengan pengenalan terhadap sangsi, mereka lebih bisa menghargai orang lain juga diri sendiri, lebih bisa empati terhadap lingkungannya, juga lebih bisa berusaha memberikan yang terbaik dari diri mereka.

Saya sedang menulis ini, tiba-tiba si bungsu, ade Kareem menggamit tangan saya, dan berbisik “Mi, udah ah, watikan utelnya, ade wau bobo!” (Mi, udah ah, matikan komputernya, ade mau bobo!). See!!!

Saturday, February 17, 2007

Refreshing yuk...


Acara sabtu ini, adalah acara social komite untuk menyenangkan anak-anak. Ga tanggung-tanggung, tiga puluh (30) anak!!!. Sebenarnya, program yang saya susun ini (saya didaulat sebagai penyusun program komite kelas), adalah lebih untuk menyegarkankan otak-otak para bocah yang harus belajar full day selama lima hari. Dan kesepakatannya adalah kunjungan ketoko roti dan pastry yang memang sudah uji layak oleh saya dan ibu-ibu komite (baca = tukang makan).

Pagi-pagi, saya dan dua orang ustadzah (guru) sudah stand by, menyiapkan anak-anak untuk kumpul dan berdoa sebelum berangkat ketoko roti itu. Beres berdoa, semua langsung berebut keluar kelas, berlomba menghampiri mini bus sekolah yang sudah di ‘sogok’ supaya menjadi media pengantar anak-anak yang sekompi lebih ke tempat tujuan.

Sampai ditempat, anak-anak sudah berteriak-teriak ala tarzan “Haussss buuuuu” atau “Panasssss buuuuu”… Wakssss…Kebayang ga? Tiga puluh bacot yang bersuara, mungkin sudah layak disebut paduan suara kan?. Ramenyaaaaa…Nah kerja komite, dimulai dengan memancing anak-anak dengan hal-hal yang berbau rerotian. Anak-anak mulai bergairah (dohh…bahasanya!), diatur lagi bagaimana anak-anak agar tertib dan terkendali ketika memasuki pantry roti (you know pantry? dapur lah hae). Berbarisss! Rapi! Berjalan memasuki pantry, senyam-senyum diiringi tawa cekakak-cekikik. Okey, kelompok pertama dengan manis, hanya cengar-cengir tanpa banyak tanya, dan si mbak yang memandu cara pembuatan roti tampak santai karena ga ribut. Bahkan ketika disuruh memegang adonan yang sudah mengembang, malu-malu kucing gaya yang dipertunjukkan. Nah, tiba pada kelompok kedua, inilah mereka sebenarnya. Belum masuk sesi penjelasan, mereka malah rebutan mau ngejelasin, rebutan mau megang adonan, sangat antusias, sangat atraktif. Saya dan dua orang guru, yang waktu itu mendampingi anak-anak di pantry, jadi ketawa bareng, dan mencoba memahami “ini loh dunia kami”. Menyenangkan.


Benar, inilah dunia mereka! Bagi saya, bukan hal yang baru bersentuhan dengan dunia ini. Ketika masih mempunyai anak satu, saya juga ikut memprogram komite yang ada di salah satu Play Group. Hingga waktu itu saya putuskan mengikuti tes penerimaan guru play group tersebut. Lulus tapi mundur lagi, karena saya hamil dan ingin lebih concern pada anak kedua saya dulu.

Bersentuhan dengan dunia mereka, saya menemukan satu energi untuk lebih bisa belajar sabar, dan mengerti pola pikir mereka. Apalagi, segala sesak dan senep bisa berlalu (walo sesaat), ketika saya mendampingi mereka. Makanya, saya menjadwal program outing class ini dilaksanakan setiap bulan.

Tapi, jangan kira, program komite seperti ini mulus lus seperti jalan tol. Membuat daftar tempat yang akan dikunjungi, dan waktunya bisa dikatakan sangat kilat. Tapi masalah konfirmasi dan meminta persetujuan dari orang tua malah berjalan sangat menggemaskan. Gimana ga gemas! Ketika meeting pemantapan kunjungan ini, salah satu bapak dari salah satu murid, yang dikenal seorang pendidik juga berkata :
“saya sarankan, agar kegiatan-kegiatan yang tidak manfaat dan tidak ada kaitannya dengan hal belajar mengajar dan pendidikan, mohon dan semestinya ditiadakan saja. Karena, kita berada pada siklus pengejaran system yang memadai dalam pendidikan. Jadi, janganlah mengajarkan kegiatan hura-hura diajarkan pada anak-anak!”
Watawwwww…menggelitik banget sarannya sampai-sampai saya pengen teriak, tapi yang ada saya senyum-senyum simpul, sambil kerlang-kerling keanggota komite lain. Setelah bubar meeting, saya membicarakan hal ini dengan komite lain, dan tanggapan mereka “Ga usah diambil hati mbak, la wong ini bukan hura-hura, malah ini menjadi media belajar bagi anak, supaya mereka lebih kenal pada dunia lain, diluar lima hari jam sekolah mereka”. Piuhhh…Legaaaa. Iya ya, ini bukan hura-hura, di kota kecil seperti sangatta ini, kita harus pandai-pandai membuat anak tetap refresh dengan hal-hal yang ga jauh dari dunia mereka. Lagian kalu mau hura-hura, kurang kerjaan banget saya ngajak tiga puluh anak, termasuk anak si bapak tadi. Whatever lah Pak! Toh program komite jalan terus.

Kembali ke kisah hari ini, saya jadi bisa belajar dari keluguan anak-anak yang masih kelas 1 SD ini. Sedemikian kerasnya orang tua menekan mereka untuk bisa belajar dirumah, mengerjakan tugas-tugas sekolah, bahkan bingung kenapa anak-anak mereka, lebih senang bermain daripada belajar. Subhanallah, anak-anak itu belajarnya dari bermain. Jadi jangan redam bermain mereka dengan kata-kata “Ayo belajar!”. Tapi sebaiknya redam kalimat itu dengan dampingi mereka dengan motto “Learning by Playing” (Belajar sambil bermain). Setuju?

Tuesday, February 13, 2007

Inner beauty...

“Mbak, ko bisa sih pipinya mulus gituh? Liat pipi saya nih, bercak-bercak hitam, gimana cara ngilanginnya ya?”
“Mbak, ga pernah pake bedak ya? Makanya seger keliatannya”
“Masa umurnya udah mau 32 sih mbak? Bukannya baru 20-an?


Sebenernya saya malu banget, kalo ada yang nanya hal-hal seperti diatas kepada saya. Sepertinya, orang merhati’in saya hanya soal fisik saja. Pengen saya ya, pribadi saya, maksudnya bagaimana saya bergaul, cara berpikir saya, bla…bla...pokoknya yang penting ga menyangkut penampilan luar saya. Karena terus terang, saya tipe orang yang kebanyakan diam ketika bertemu atau berada dalam ajang pertemuan sesama ibu-ibu. Saya sangat hati-hati ketika harus berucap, cenderung tidak bersuara (baca : kurang pergaulan). Habis mau bagaimana lagi? Mungkin emang dari orok saya sudah terbentuk seperti ini.

Obrol-obrol tentang pipi mulus, ga pernah pake bedak, atau terlihat berumur 20-an. Itu mungkin hanya pertanyaan sekitar saya yang mungkin aneh liat saya. Pertanyaan aneh menurut saya dari ibu-ibu yang hobi ngaca kali ya. Eitsss…jangan pikir saya ga suka ngaca. Cuma kuantitasnya saja yang sangat bisa dihitung dengan jari. Bukan saya anti, tapi itu tadi, mungkin sudah bawaan orok. Ibu saya sendiri, suka berkomentar bahwa saya terlalu santai dan polos kalo menyangkut dengan kata ‘dandanan’. Terkesan ga demen malah.

Ke topic pembicaraan atau seputar pertanyaan ibu-ibu itu, saya jadi suka cengengesan. Ternyata semua manusia yang berlabel ‘perempuan’ pasti menemukan masalah seperti ini. Ya ada flek di sekitar tulang pipinya lah, wajahnya yang dia merasa ga muluslah, atau merasa terlihat tua, padahal umurnya ga tua-tua amat. Saya juga ga munafik, kalo kebetulan ada mood buat ngaca, saya meneliti dan no’ong tulang pipi saya, apakah ada pasukan flek disitu. Atau apakah ada gurat-gurat mengendur disekitar pelupuk mata. Tapi, terus terang aja, saya belum begitu peduli dengan hal-hal begini. Saya masih merasa wajar dan sangat lumrah ketika ada perubahan diwajah saya. Mungkin karena saya sadar, saya bukan pemerhati dan perawat kulit wajah yang baik, heuheuuu….

Lepas dari konten saya sebagai seorang yang sangat masa bodoh dengan hal seperti ini, tetap saya harus merawat apa yang telah Allah titipkan pada saya ini. Dan, suatu hari yang lalu, salah satu sahabat saya menyarankan pada saya untuk memakai pencuci untuk kulit wajah yang khusus seperti yang beredar dipasaran. Kenapa dia menyarankan hal ini? Sebabnya, ketika dia iseng nanya ke saya “Rino, kalu cuci muka pake apa? Kinclong gitu!” saya jawab dengan tanpa dosa “Pake sabun mandi. Bisa ini bisa itu, pokoe sabun mandi aja”. Teman saya bengong. Dia pikir, ga tau apa No, kalo sabun mandi itu kan mengandung kadar basa yang ga bagus untuk wajah?. Mulai deh penjelasannya, dan saya pun ‘hemm..oke, saya ngerti pren’. Sejak saat itu, saya jadi pake foam khusus pencuci wajah kalo saya emang inget (sampe sekarang pun saya pake kalo saya inget). Hal-hal lain seperti ga pake bedak (saya pencinta bedak bayi), itu pun lagi-lagi, saya berpikir dan merasa capek-capek pake bedak, ilang juga karena keringat. *sigh*. Faktor lain, kulit saya yang sangat sensitif dengan produk-produk dewasa
(pernah beungebbb… seperti habis dibogem ketika coba-coba menggunakan produk yang katanya bagus dan mahal)

Tapi, saya tetaplah seorang perempuan, yang perlu menggunakan tetek bengek itu kalo harus. Misalnya, kondangan! Walopun hanya bedak dan liquid lipstick. Kasian banget!

Jadi, wahai teman, jangan tanya saya pake produk pemulus wajah apa , atau bedak apa yang bagus dengan kulit, atau tetap seperti muda itu bagaimana caranya…. Saya bekum tentu bisa jawab, bahkan bingung kok bisa nanya itu ke saya? Yang ada malah malu-malu’in saya…

Ada satu kalimat dari temen saya yang juga pendiri sebuah sekolah dan psikolog anak, menyangkut kulit wajah saya ini “You have a beautiful face cause you already have an inner beauty”… wakssss…jangan percayaaaa…Tapi yang patut dipercaya adalah, inner beauty itu lebih penting dari kecantikan luar yang akan lapuk oleh usia dan jaman.

Pesan moral: Postingan kali ini, bukan ingin membuka aib diri sendiri (karena wajah saya ga kinclong-kinclong amat, dan saya emang 32 tahun!!), tapi lebih untuk mengingatkan bahwa yang fana akan musnah dan tidak akan dibawa ke alam kekal nantinya. Hati yang bersih, tulus, ikhlas dan selalu berbuat kebajikan yang akan bersinar dan bakal kinclong ketika ‘reuni akhirat’. Insha Allah. Segala puji hanya milik Allah SWT.

Friday, February 09, 2007

Listen to your child's heart

Suatu malam, sebuah pemandangan didepan mata saya, seorang ibu muda (masih sangat muda) menggendong bayinya yang saya perkirakan belum genap 3 bulan. Mereka memasuki ruang makan berAC dimana kami sekeluarga juga sedang berada disitu. Dibelakang ibu muda ini, berjalan seorang gadis belasan tahun yang menggendong tas (seperti baby sitter). Duduklah si ibu muda, namun tiba-tiba berdiri lagi dengan tergesa-gesa, menyerahkan bayi yang digendongnya kepada gadis belasan tahun itu. Sejurus kemudian, si ibu membuka tas, mengambil botol kosong, diisi air dari botol mineral, dimasukkan beberapa sendok susu, kemudian meratakannya dengan mengocok botol tersebut. Ditaruh dimeja makan, dan pergi keluar. Gadis belasan tahun menggendong bayi, dan memasukkan botol susu kemulut si bayi ketika si bayi mulai merengek.

Atau pemandangan lain, dalam sebuah ruang tunggu apotik, duduk disebelah saya, seorang ibu dengan balita digendong dan seorang bocah yang terus merengek minta uang jajan. Bocah itu sekitar 4-5 thn. Si ibu membentak bocah. Dan makin berang ketika bocah itu malah tambah merengek. Kali ini dengan menjambak ditambah ‘mengeplak’ kepala bocah dengan kata-kata yang tidak saya mengerti (dalam bahasa daerah). Balita yang digendong malah terkejut dan ikut merengek (lebih karena kurang enak badan). Si ibu malah memukul balita sambil bersungut-sungut “Cerewet kali, diam!!!ku pukul kau nanti!”.

Apa yang terlintas di kepala ketika mendapatkan dua pemandangan dari tempat yang berbeda ini? Pemandangan pertama, membuat saya miris hati. Untuk sekedar menuruti keinginannya keluar makan malam, tidak sabar menunggu bayinya jelang balita, si ibu muda membawa bayinya dalam keadaan udara malam yang dingin. Yang memeluk dan memberi kehangatan pun, baby sitter yang masih belasan tahun. What kind of a mother she is? Pemandangan kedua? Lebih-lebih lagi! Gemes banget saya! (sama tingkah laku si ibu ini). Padahal saya sudah pasang cengar cengir kuda biar si ibu tau kalu saya memerhatikan…Tapi, whadohh ko ya jitak kepala anaknya didepan saya. Apa ga malu ibu itu ya?

Jadi ingat tentang petuah-petuah mentor saya waktu IESQ, ustadz Pujianto. Beliau adalah seorang pemerhati anak-anak serta aspek psikologinya. Jika kita lebih teliti, ada beberapa pernyataan anak-anak yang tak terucap oleh mereka ketika kita melakukan suatu hal terhadap mereka. Pernyataan itu :
  • Ummi/Abi cintai aku sepenuh hati
  • Ummi/Abi, aku ingin menjadi diriku sendiri, maka hargailah aku dan keinginanku
  • Cobalah mengerti cara belajarku
  • Jangan marahi aku didepan orang banyak
  • Jangan bandingkan aku dengan kakak, adik atau anak tetangga
  • Jangan pilih kasih
  • Jangan anggap aku anak kecil
  • Biarkan aku mencoba walaupun salah hasilnya
  • Jangan membuat aku bingung
  • Jangan ungkit kesalahanku
  • Aku ladang pahala bagimu
  • Aku adalah poto copymu
  • Yakinlah Ummi/Abi, bahwa aku akan memperlakukanmu, mengurusmu, mengasihimu, seperti yang telah engkau lakukan padaku


So,…tataplah mata kecil itu…
Berbinar ketika dipuji…
Meredup ketika tertekan…

Mereka memeluk…
Mencium…
Membelai…
Karena mereka mendapatkannya…

Wednesday, February 07, 2007

Being a Mother


Beberapa hari ini, saya menikmati memulai aktivitas sebagai seorang ibu yang anaknya udah selesai liburan. Jadi seorang penyemangat. Bukan hal mudah buat Jihad, dari yg biasanya santai, sekarang harus mulai belajar lagi. Full day dari jam 7 sampe dengan jam 2 siang.

Dan hari ini, ketika lagi blogwalking , saya cek email, dan menemukan message dari FS, ada seseorang yg menginvite saya untuk jadi temannya. Saya click deh, add dan coba mengintip, profile teman baru saya ini. dan….diaaaa… (histeris banget yak) MIRANDA RISANG AYU, sang penulis itu. Wah, senangnya! Allah Maha Bisa dan Maha Baik. Sebelumnya saya hanya tau dia seorang penulis, ketika saya tekuni blognya, saya jadi jatuh cinta pada tulisannya. Recommended deh buat yang suka baca dan menulis seperti saya (walopun nulisnya dikertas yang entar dibuat maenan sama anak-anak).

Menyitir, salah satu tulisan Miranda, seorang sahabat yang amat kaya, segera menarik saya kebelakang lagi. Ternyata apa yang saya pilih dan lebur kedalamnya bukanlah suatu yang mudah.

Saya adalah seorang perempuan yang dulunya sangat ingin tetap berkarir, setidaknya harus memilih suami yang ‘harus’ mengijinkan saya untuk tetap berkarir diluar rumah. Pemikiran ini, bukan dilandasi sikap feminisme atau apalah bahasa gaulnya sekarang. Tapi lebih kepada ‘sayang sekali saya harus meninggalkan ilmu yang susah payah saya dapatkan!’. Simple kan? Sangatlah simple hingga Allah mengalihkan pemikiran saya dengan semudah membalikkan telapak tangan. Saya dengan rela dan ikhlas, meninggalkan atribut itu demi ‘DIA’, karena saya sadar, hidup saya tidak akan artinya jika tanggung jawab saya tidak bisa saya laksanakan. Itu juga karena saya bukan tipe yang bisa membagi-bagi pikiran saya antara kantor dan rumah. Tapi, bukan berarti saya tinggalkan semuanya, tetaplah saya harus mempelajari dan mencari ilmu dunia, yang kelak saya bagikan untuk kedua buah hati saya, bekal mengarungi dunia yang fana , tapi tetap bisa menemukan satu titik yang abadi yaitu dunia akhirat.

Masih ingat postingan saya? Kutunggu hijrahmu, ukhty… Di dalam cerita itu, ada tiga orang yang berteman, salah satunya menjauhkan diri sekarang ini. Sedangkan dua orang lagi, adalah saya dan Nina. Sahabat saya satu ini adalah seseorang yang bergelar cum laude ketika toga terpasang dikepalanya. Hingga kerja dibagian penting salah satu perusahaan terbesar di kalimantan. Ketika itu, dia selalu berkata “aku ingin kelak, tetap bekerja dan menggeluti karirku, jika punya anak ingin mengenakan kerudung saja, dan bisa terlihat elegan dengan duduk dibalik setir”. Itu gurauannya. Tahukah apa yang terjadi sekarang? Dia adalah salah satu ukhty yang saya kagumi, hijabnya kaffah, seorang ustadzah, murrobi, aktif dalam kader, pengajar dilembaga sempoa, dan embel-embel sebagai salah satu mahasiswa pertukaran ke Australia pada waktu kuliah ditinggalkannya. Subhanallah. Dan dia merasa inilah hidupnya. Kami pun saat ini berlomba, untuk tetap bisa manfaat untuk orang lain.

Jadi, kadang ada yang mengatakan “saya merasa jauh dari teman-teman saya, masih terkungkung dirumah, masih sibuk dengan air pipis dan pup anak-anak. Sempitnya dunia saya, ketika saya melihat teman-teman saya sedang menyelesaikan thesis, sedang ke belahan dunia lain untuk sesuatu yang dipanggil ilmu. Saya jadi merasa kecil sekaliiii”. Pernah dapat kalimat seperti itu? Paling tidak dari diri sendiri? Bahkan orang-orang terdekat kita bertanya-tanya dan mengejek kenapa mesti berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Saya pernah! Jangan ditebak dari orang lain atau ternyata dari diri ini. Tapi sia-sia rasanya jika berpikir begitu, ketika kembali melihat apa yang sudah kita lakukan jika kita bersandar pada demi ‘DIA’. Semua yang didunia toh ada yang ngatur. Merutuki nasib ga akan mengubahnya. Memutar haluannya ke hal yang positif akan lebih berguna.

Saya bersyukur dengan pilihan saya sekarang ini. Bisa bermanfaat walopun masih skala kecil, yaitu untuk Abi, para jundi dan orang-orang disekitar kami. Tetap dengan keyakinan dan berprasangka baik, kelak akan disematkan sebuah mahkota diatas kepala saya oleh para jundi yang dititipkan oleh Allah sekarang ini. Insya Allah.

Monday, February 05, 2007

Jihad, Ummi so proud of you...

Seminggu lalu, saya deg-degan ketika saatnya, Jihad bisa tau hasil dari pembelajarannya selama kurang lebih 5 bulan di SDIT. Oya, SDIT ini salah satu sekolah islam andalan di Sangatta, yang peminatnya terus membludak, dan daya tampungnya masih minim. Kurikulumnya juga disesuaikan dengan Nurul Fikri yang ada di Jakarta, dengan jam belajar yang full day. Walopun banyak juga orang tua pengen anaknya masuk sekolah dasar yayasan, yang gretong (gratis maksudnya).
Pertama kali mendaftar disini juga, Jihad ga mau pilihan lain selain sdit. Padahal, saya sudah menyodorkan sekolah yayasan yang katanya bagus juga meski masih dibawah standar sdit. Emang anaknya niat, akhirnya ujian masuk satu hari plus wawancara dengan psikolog dijabanin dengan hasil sangat memuaskan.

Kembali ke nilai raport kemaren. Kerja keras Jihad membuahkan hasil cemerlang. Peringkat 1 dan peringkat terbaik dalam kegiatan sholat. Subhanallah. Alhamdulillah. Sementara nilai akademik yang saya tekankan sejak kecil juga sangat memuaskan. Yaitu, Bahasa Arab, Tahfidz, Pendidikan Agama Islam dan Qiro’ati. Dan sebenarnya kalu mau jujur, Jihad sangat santai menjalani sekolahnya juga ketika UAS berlangsung. Saya hanya melemparkan pertanyaan-pertanyaan setiap selese hari sekolah. Ketika masuk jadwal UAS dia bisa sante tanpa harus SKS (system kebut semalem).

Sempat, ustadzahnya (guru Jihad), berucap Jihad sama seperti anak yang lain, yang terkadang hanya ingin main, iseng, dan suka ngobrol dalam kelas. Tapi penyeimbangan yang diterapkan dan kerjasama orangtua dalam hal ini sangat membantu, dan yang terpenting Jihad bisa seimbang dalam nilai akademik dan akhlak. Dan untuk itu saya diminta berbagi tips dan metode dalam penyeimbangan ini, karena ustadzahnya sendiri masih punya anak kecil (baby).

Tersanjung saya jadinya (kebanyakan malu, karena ini belum apa-apa. Ya Rabb, jauhkan sifat sombong pada diri yang fana ini). Setidaknya, hasil dari keinginan saya memberikan ilmu, baik agama dan teknologi, dengan tidak memberatkan cara berpikirnya, telah membuahkan hasil. Tidak ada metode khusus yang saya terapkan. Sejak kecil saya lihat ketertarikan Jihad terhadap lego dan puzzle, hingga sekarang Jihad bisa menciptakan berbagai bentuk dari lego yang mini-mini itu (yang njelimet menurut otak saya yang mulai menua). Kemampuan mengingat dan menghafalnya saya arahkan pada menghafal alqur’an. Tentunya juga tetap disesuaikan dengan fase-fase umur dimana dia bisa menerima. Dan masuk sekolah pun atas kemauan Jihad sendiri. Satu hal lagi, sangat penting bagi saya dan Abi, reward buat anak-anak jika mereka berhasil melakukan sesuatu, walo hanya sekedar pelukan atau ciuman buat anak, itu sudah menjadi penyemangat mereka loh.

Seperti yang banyak ditanyakan oleh ibu-ibu disekolah juga teman-teman sesama blogger “Bagaimana caranya, ko saya ga optimis bisa mengajari, dari nol hingga anak saya bisa”. Itu dia, rasa pesimis yang belum dipupuk dari diri kita sebagai ibu. Saya juga sebelum menikah dan punya anak, berpikir mampukah saya? Tapi anak adalah tanggung jawab kita, akan dibawa kemana dia kelak. Bisakah kita mengatakan kelak “Ya Rabb, anak ini sudah kuserahkan dengan guru dan pengajaran yang bagus disekolah, aku sungguh tidak tahu mengapa dia berbuat seperti ini?”. Karena, anak adalah ibarat sebuah botol kosong yang isinya terserah dan kembali pada kita ingin diisi apa botol kosong ini.

Salah satu tulisan yang memicu saya. Pamela si empu blog, mengatakan : the education and responsibility of our children in US - their parents! We brought them into the world - we wanted these beautiful children, therefore, we are responsible for them in every aspect of their lives and that includes education. Itu di US, ko di Indonesia melempem?

So, Jihad…
It’s just a beginning
Not the end for what you’ve done
Stand strong, my dear…
Ummi, really proud of you…

Saturday, February 03, 2007

Bidadari itu bernama...Indah


Selama hampir lima hari, saya sama sekali tidak bisa bersentuhan dengan dunia saya satu ini. Kangen sama teman-teman? Pasti! Sangat malah! Karena dengan mereka saya banyak berbagi, apa saja hal positif yang bisa saya bagi. Termasuk cerita-cerita kecil seperti yang saya dapat beberapa hari belakangan ini.

Kemaren, saya terima sms dari Vita, yang mengatakan si neng indah, akan menikah. Neng adalah adik dari sahabat terkasih almarhum Inong. Kemudian saya sms neng, dengan mengucap doa syukur atas pernikahannya. Sedikit ngobrol, kemudian saya merenung. Ah seandainya.... Entah kenapa, beberapa hari ini saya suka ingat almarhum dengan segala yang ada di dia, saya suka liat poto-poto dia ketika kami sama-sama masih bisa bertemu dan berkunjung. Terus, saya berpikir, kenapa bukan neng yang menggantikanmu Nong? Pikiran konyol saya bukan tanpa sebab, tapi karena saya tahu, begitu dekat dan cintanya neng dengan anak-anak almarhum, dan begitu baktinya neng dengan almarhum yang akhirnya bisa mewakili posisi almarhum di DB Jakarta, dan bisa mewarisi kebisaan almarhum. Dan ketika tadi saya buka email WSAB, dan message di YM dari ceu Link, melongo lah saya. Dan setelah melongo? Saya menangis. Subhanallah, baik hati sekali ENGKAU menciptakan dua orang yang bersaudara yang saling menyayangi sampai akhir hayatnya. Betapa saya makin kagum akan almarhum dan neng, begitu kagum dengan SANG PEMILIK.

Dulu...dibalik kesedihan, airmata dan duka yang mendalam, ada suatu hikmah yang tak ternilai dari apapun juga.

Lima bulan lalu (hingga sekarang), ga jarang saya menangis ketika ingat akan almarhum dan dekatnya kematian dengan diri kita. Dan sekarang, saya juga menangis, bukan karena kepergian, tapi kebahagiaan dan kemuliaan hati dari seorang yang saya panggil “Neng”.

Sahabat,…
Hari ini kulihat kepak sayap merpati…
Hari ini kulihat pelangi yang kau sisiri…
Hari ini, ternyata rinduku dan rindumu bersambut…
Dalam tangisan dan hati yang mengharu biru…

Sahabat,…
Begitu indahnya hari ini…
Menemukan cerahnya hari-hari buah hatimu…
Yang kembali bernyanyi dan berdendang lagi…
Berdendang dalam dekapan seorang yang akan mewakilimu…

Dia adalah bidadari yang Allah turunkan untuk senyummu…
Untuk menghapus arimatamu…
Untuk menyiram dahaga kasih sayang buah hatimu…

Tenang dan damailah dalam peristirahatanmu, sahabat...
bidadari itu sedang tersenyum, kelak memelukmu dipintu syurga…

(Neng dan Mas Haris, mugia menjadi keluarga yang sakinah, mawa’dah dan warohmah, penuh barokah dari Allah SWT. Menjadi bidadari dunia dan akhirat. Selamat buat kalian berdua, juga anak-anak tersayang, abang Zidan dan kakak Syifa…Barrakallahu)


Friday, February 02, 2007

Manusia Bodoh?



Sesungguhnya manusia itu banyak yang tidak bisa belajar dari pengalaman dan masa lalu. Jujur deh! Berapa banyak kejadian-kejadian yang kadang konyol, memalukan, memilukan, menyakitkan, dan setelah dipikir-pikir, ternyata kejadian ini atau itu pernah terjadi karena alasan-alasan dan kesalahan-kesalahan yang sama.

Seperti kemaren, Sangatta gelap gulita untuk beberapa hari. Menyebalkan, menjengkelkan, melelahkan seperti berada di jaman primitive atau jaman yang sangat terbelakang. Tidak ada siaran berita yang bisa ditangkap, tidak ada listrik untuk pekerjaan saya (*sigh*), dan malam-malam hari diisi dengan kegiatan yang sangat terbatas. Mungkin keadaan yang membedakan dengan jaman terbelakang, masih bisanya saya memasak dengan menggunakan kompor tenaga gas, dan ga perlu ditiup-tiup menggunakan bambu dengan semangat 45 agar apinya menyala. (ingat jaman didesa nenek)

Tapi bukan seperti berada dijaman primitive yang ada kaitannya dengan bodohnya kita yang dipanggil manusia, yang rela saja jatuh kelubang yang sama. Tapi keadaan seperti ini ternyata bukan hal baru. Ko bisa ya? Karena PLN disangatta sudah pernah punya pengalaman dengan tenggelamnya diesel pembangkit daya kedalam banjir ketika musim hujan datang. Bodoh kan?! Bukannya alat itu bisa diusahakan ditaruh ditempat yang lebih tinggi, tanpa banjir bisa menjangkau, tapi malah tetap pada posisi sama dengan kejadian yang pernah dialami, GELAP GULITA. Yang Rugi? Jelas orang-orang yang biasa menggunakan listrik untuk pekerjaannya. Bagi klinik dan RS, mereka harus mempertahankan suhu vaksinasi agar tetap pada suhu yang semestinya, kalu ga seperti itu, ya resiko dengan membuang berbotol-botol obat yang berguna itu. Bagi pertokoan, mungkin bisa menggunakan genset, tapi untuk satu minggu? Pastinya harus dibebankan pada harga penjualan. Dan bagi orang-orang rumahan, seperti saya ini, mungkin tidak terlalu dipikirkan, acara saya untuk membimbing anak-anak belajar, bermain, tahfidz bersama bisa dilakukan siang hari ataupun menjelang tidur. Masak juga, meski ada perubahan, saya ga bisa menyimpan bahan makanan dilemari pendingin. Yang mencolok? Saya tidak bisa melayani pelanggan saya. Maaaapppp, para pelanggan, bapak-bapak, ibu-ibu semua yang ada disiniiii…tukang kue rehat dulu lah!

Satu kejadian lagi, manusia tetap bodoh! (termasuk saya juga kah?). Lihat deh, banjir dijakarta. Whadduhhh!! Pada kemana ketika prediksi ini dilemparkan sekitar delapan tahun. Ketika itu, Nugie, penyanyi yang juga pecinta lingkungan membacakan sebuah prediksi bahwa Jakarta akan terendam dan semakin parah ketika manusia-manusia sudah tidak mau ambil peduli pada lingkungan yang mereka tempati. Jakarta hanya sebuah tempat yang semakin hari semakin diberatkan dengan tiang-tiang besi pencakar langit (baca : gedung-gedung). Yang semakin memasuki dunia yang semakin tua, Jakarta terus menggeliat mencoba menggelayutkan tangannya kearah langit. *sigh*

Dan….Dibalik segala yang disebut penderitaan, kesengsaraan, apalagi kebahagian dan kesenangan, pasti ada hikmahnya, tinggal manusia, mau atau tidak untuk memanusiakan pola berpikirnya lagi.