Saturday, August 30, 2008

Doa Selalu Sama Menjelang Ramadhan


Banyak hal yang ingin saya ceritakan menjelang ramadhan ini. Banyaknya sama dengan jumlah pemandangan akhir-akhir ini yang saya lihat dan terpampang, pada saat-saat mendekati bulan suci ini.

Sebenarnya hanya dua hal yang membuat saya tertarik untuk saya bagi pada anda. Satu adalah ketika saya menonton siaran berita di televisi. Begitu banyak orang lesehan pada sebuah tempat, dengan atap yang menjulang, tas dan penat yang menggelantung pada wajah mereka, disertai tatapan lelah. Mereka bahkan telah melakukan aktivitas lesehan itu sejak jam 5 subuh. Pada saat adzan bergema, mereka tafakur dalam diam, merunduk mencium kedua lutut mereka. Bukan dengan khidmat mendengarkan adzan lalu melakukan sholat fajar setelah itu. Karena memang tempat mereka lesehan itu bukan di rumah Allah, melainkan pada sebuah stasiun alat transportasi. Stasiun kereta api Gambir. Mereka sambut ramadhan dengan antri pada loket tiket keberangkatan. Alasannya tentu tak ingin kehabisan jika harus antri seminggu menjelang idul fitri. Bahkan pihak terkait tidak bisa menjamin, apakah tiket masih tersedia menjelang lebaran. Maka, mereka harus melakukannya, jika tidak ingin berlebaran jauh dari kampung halaman.

Hal kedua adalah gemuruh di satu mesjid, kawasan Sengata Baru, sekitar jam 8 pagi. Cuaca waktu itu tak bersahabat. Sedari subuh, rinai tak hentinya turun. Namun, aktivitas gemuruh itu tak terganggu sedikit pun. Ratusan anak dan orang tua berkumpul. Sebuah panggung kecil ditengah mesjid telah dipersiapkan. Kemudian anak-anak itu dengan tertib masuk, duduk sesuai dengan tanda yang harus mereka sepakati, agar anak yang lain dapat menempati posisi mereka secara teratur pula. Sedang para ibu-ibu mengatur beberapa barang, diteras mesjid. Menatanya sedemikian rapi, hingga sangat nyaman dipandang. Lalu tiba-tiba, MC mulai bersuara, “Anak-anak, takbir!” maka gemuruh jelas menggema dari mulut-mulut kecil itu, “Allahu Akbar!”. Tempat itu serempak riuh, dengan kegiatan mendongeng kisah ramadhan dari seorang ustad pendongeng yang sengaja didatangkan dari Yogyakarta. Kegiatan ini disebut Tarhib Ramadhan atau menyambut ramadhan yang diselenggarakan Yayasan Pembina Mesjid Daarussalaam Sengata, yang isinya adalah sekolah islam terpadu, dari TK hingga SMP.

Menarik. Itu yang ingin saya ungkap. Betapa ragam aktivitas bisa manusia tampilkan dalam satu kesempatan. Entah itu aktivitas menyenangkan, menggelikan, menyusahkan bahkan menyesatkan. Lebih geli lagi, manusia rela untuk melakukannya, demi rutinitas yang memang telah terbentuk sejak mereka kenal dengan hal ini. Mau tidak mau, mereka pun menjadi terbiasa, bahkan sebagian beranggap, akan aneh jika tidak melakukannya.

Saya teringat, seorang teman mengatakan; ia tidak akan pulang selama ramadhan hingga masa i’tikaf selesai. Selain ia terbiasa akan mengisi ruhiyah tiap ramadhan, karena begitu banyak ustad yang akan ke Sengata, juga ia selalu beranggap ramadhan ini adalah ramadhan terakhirnya. Jelas, itu berarti ia sekali lagi akan menghabiskannya jauh dari keluarga besarnya di rantau. Alasannya masuk akal. Ia tak ingin ramadhannya kali ini akan sia-sia jika harus ia habiskan di perjalanan, sampai di kampung, bertemu dengan sanak saudara, lalu lupa akan indahnya bulan suci ini, jika hanya dilewatkan dengan ngobrol tentang segala hal selama ia tak berada di kampung.

Seorang teman lain, berpikiran hampir sama; apa yang akan ia lakukan di kampung selama ramadhan? Ia terbiasa sibuk mengurus rumah, anak-anak, dan tarawih pada malam harinya. Jika pulang, tinggal di tempat orang tua, tentunya kesibukkan akan menurun. Bingung, karena apa-apa yang ia perlukan serba tersedia di rumah orang tuanya. Ada assisten, yang siap membantu, dari memasak, mencuci, hingga membenahi halaman rumah. Tidak ada aktivitas yang berarti, kilahnya.

Menjelang ramadhan, betapa banyak ragam peristiwa dari sebuah aktivitas yang disuguhkan pada kita. Ada yang berdesir pilu, miris juga pedih. Namun tak sedikit ada warna cerah, berbunga-bunga serta harum. Inilah kebesaran milik-Nya. Banyaknya hal yang disajikan, menjadi pertanda, DIA begitu mencintai kita. DIA masih memberikan kesempatan serta kemampuan pada kita dalam memilah segala hal dengan baik.

Apapun itu, saya yakin, doa saya maupun anda, selalu memiliki kesamaan; berusaha menjadikan ramadhan kali ini sebagai pembelajaran dalam hidup, mengokohkan kesantunan seorang muslim dalam berprilaku, serta meraih setinggi-tingginya ridho milik Allah SWT. Banyak doa yang terlantun, semoga diiringi dengan banyaknya pula usaha dalam menggapai cinta-Nya. Wallahu a’lam bishowab.

Marhaban ya Ramadhan

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1429H

Friday, August 22, 2008

Merdeka Pada Seorang Anak SMP

Anak-anak itu begitu rapi, duduk di tempat yang telah dipersiapkan oleh panitia, pada sebuah ruangan sederhana yang mereka beri nama kelas. Pakaian mereka biasa saja, bahkan ada diantaranya masih mengenakan seragam, karena memang baru saja melaksanakan upacara peringatan 17 agustus di sekolah mereka. Namun rona kegembiraan tak bisa mereka sembunyikan. Menyambut kami dengan senyum, mengingat sekolah mereka yang harus ditempuh sejauh 13 kilometer dari kabupaten, jalanan yang berkerikil, laju kendaraan harus merayap pelan, hingga jarang yang mau berkunjung ke sekolah itu. Jadi, layak saja antusias ingin tahu jelas terpancar, walau hanya diwakili oleh 17 raut wajah milik mereka.

Pagi itu, setelah sesi pengenalan FLP serta permainan kreatif selesai, acara inti dilanjutkan dengan membedah karya mereka yang telah dipersiapkan. Saya pun mengambil jatah ini, dengan memilih 3 karya dari mereka untuk dikoreksi. Sungguh, membuat saya kagum, diantara mereka telah ada yang mempunyai keunikan, kepolosan dalam menuangkan pikiran pada tulisan, walau terbalut pemikiran klasik pada temanya; apa arti kemerdekaan bagimu.

Secara keseluruhan, tulisan mereka masih khas tulisan anak-anak dimana kemerdekaan mereka pandang sebagai bentuk hasil pengorbanan dari para pejuang selama 350 tahun, gegap gempita berjuang hingga titik darah penghabisan agar negara bernama Indonesia ini merdeka. Tidak dapat dipungkiri, mereka masih begitu terkotak pada menghargai kemerdekaan itu dengan menghadiri upacara, mendengarkan teks proklamasi dikumandangkan, serta kibaran bendera dengan hikmat diberi penghormatan, ketika dinaikkan perlahan-lahan diiringi alunan lagu Indonesia Raya. Pemikiran yang kemudian begitu diperjelas pada salah satu mata pelajaran di tiap jenjang sekolah.

Hingga ketika saya dengan tegas bertanya, ”Apa sih arti kemerdekaan yang sebenarnya bagi kalian?”, mereka hanya diam sambil mesem-mesem. Lalu saya kembali mempermudah bahasa saya, dengan melontarkan kalimat, ”Kalian sudah merdeka sekarang ini?”, ada yang berbisik-bisik tak jelas, hingga saya hampiri salah satu dari mereka. Saya sorongkan pengeras suara pada salah seorang anak laki-laki, berusia sekitar 14 tahun, dan dengan lirih dia menjawab, ’Belum, mbak”. Ketika kembali saya memberondongnya dengan, ’Belum merdeka pada hal apa?’. Dengan suara tertahan, dia kembali menjawab, ”Biaya hidup semakin tinggi. Buku pelajaran semakin mahal. Orang tua saya gak mampu, mbak”. Suasana hening. Saya mencoba tersenyum, dengan embun yang pelan merembeti hati.

Benar, bangsa Indonesia telah merdeka 63 tahun yang lalu. Para pejuang telah mewariskannya pada kita. Benar, kita telah terbebas dari penjajahan, kerja rodi ataupun romusha. Kita bisa mengembangkan segala kemampuan kita dalam berkarya untuk mewarnai kemerdekaan ini. Benar, kita telah terbiasa serta leluasa dengan mengeluarkan pendapat, baik itu pujian ataupun umpatan keji. Tapi, benarkah kita telah mewarisi sifat para pejuang? Benarkah kita mampu mengembangkan kemampuan kita untuk membantu memupuk kemampuan orang lain?

Kenyataanya, prilaku kita tak jauh dari sifat penjajah. Tanpa sadar kita telah membelenggu saudara kita sendiri. Terjebak pada rutinitas mengais rejeki tanpa sesekali berpikir apakah kita tanpa sadar mengambil ladang rejeki orang lain. Cara kita mengais pun, tak pelak harus sikut sana sikut sini. Berani melakukan tindakan tak bermoral, mengambil penghidupan orang lain. Tanpa terbersit pun rasa takut, jika sifat ceroboh ini, mengental di darah dan akan mengalir deras pada keturunan kita nanti. Atau... benarkah ini merupakan warisan dari penjajahan dulu, yang telah diberikan pada kita? Mengusir, namun tak mampu mengelak didikan serta tempaan mental seorang penjajah pada pribadi kita sendiri. Naudzubillah....

Seorang anak SMP kelas 8, telah membuat perenungan pada batin dan diri saya yang telah merasa merdeka. Kembali bertanya, merdekakah diri ini, ketika kita masih bisa tersenyum pada tangisan serta perut mereka yang berbunyi minta diisi?

Seorang anak SMP kelas 8, mengingatkan kembali pada rasa peduli kita yang terlampau transparan. Terlampau gemar pada bilik kesenangan pribadi. Setidaknya, ia mencoba mengingatkan untuk peduli dan berani mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya bukan menjadi kesadaran kita, karena belum menjadi ’trend’.

Bagi kita, merdeka sudah menjadi bagian dari kehidupan. Merdeka dengan segala bentuk kebebasan tanpa syarat. Bagi anak SMP kelas 8 itu, merdeka belum sepenuhnya ia dan keluarganya dapat raih, jika diukur pada kemerdekaan orang-orang mampu disekelilingnya. Merdeka masih harus ia perjuangkan. Dibalik sekolah sederhana jauh dari kawasan keramaian kota. Merdeka harus ia terus dengungkan, beriringan dengan kebutuhan sekolahnya yang juga semakin memberi dengung nyaring, tanda semakin meningkatnya biaya demi meraih itu semua. Merdeka masih harus ia deritkan di antara kibaran merah putih, diantara gegap gempitanya perayaan, diantara teriakan kemenangan. Semoga, darah serta mental para pejuang ada pada dirinya.

Wednesday, August 06, 2008

Silnas: Perjalanan Ilmu dan Persaudaraan


Postingan yang mengendap cukup lama :)

Jumat, 11 Juli 2008. Udara sangat bersahabat, tidak terlalu panas atau sebaliknya, walau keramaian telah menyeruak sepanjang jalan ke arah Srengseng, kawasan Lenteng Agung, dimana acara besar, Silaturahim Nasional Forum Lingkar Pena akan digelar. Sebagian pengurus FLP cabang Sengata, terdiri dari Rien Hanafiah (Ketua), Nurika Nugraheni (Kaderisasi), Yunny Touresia (PimRed) dan Arif Wibowo (Humas), stand by di lokasi sekitar pukul 7.30 waktu setempat.

Keadaan sudah ramai. Wajah-wajah berseri walau lelah, dikarenakan perjalanan yang sangat menyita waktu, tidak memudarkan rasa gembira bisa bertemu langsung dengan FLP’ers, karena selama ini kami hanya dapat menyapa lewat milis atau sms. Rombongan yang pertama kali menyambut hangat, tentunya panitia pada bagian registrasi. Memberikan name tag, serta mengatur ‘bagasi’ yang akan disalurkan pada masing-masing kamar nantinya.

Rombongan kedua, menegur kami dengan sumringah dan pelukan hangat adalah teman-teman dari FLP Jawa Tengah. Bertemu kembali dengan Afifah Afra, mengembalikan memori ketika ia berada di Sengata setahun yang lalu. Kemudian sapaan mbak Izzatul Jannah, penulis senior yang juga merupakan salah satu ‘warga’ Majelis Penulis pada struktur FLP Pusat, semakin membuat kami begitu melupakan keletihan perjalanan menuju tempat acara ini.

Setelah beres dengan masalah registrasi dan sarapan (tentunya!), langkah kami kayuh ke arah aula utama, dimana pembukaan acara akan berlangsung. Selama kurang lebih 3 jam, acara dimulai dengan sambutan dari M. Irfan Hidayatullah (biasa kami sapa Kang Irfan), ketua FLP Pusat. Beliau sangat tergugah dengan semangat teman-teman FLP seluruh Indonesia, juga dari Hongkong, Jepang, Cairo, dan Amerika Serikat, yang menyempatkan diri hadir. Sangat takjub, karena dulu, silaturahim nasional pertama hanya dihadiri kurang lebih 50 orang. Jumlah yang sangat signifikan dengan tahun 2008 ini, yaitu hampir mencapai 300 peserta. Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi Dr Prihardi Kahar. Seorang peneliti lingkungan hidup, yang bekerja pada ACER Biomass Research Group, Meisei Universitas Jepang. Disini kita baru melek, ternyata banyak kesalahan diperbuat manusia, dan sangat mempunyai dampak negatif bagi lingkungan. Dan untuk kesalahan ini, justru kita tidak sadar bahkan tidak peduli. Tunggu saja pengupasannya pada edisi depan ya!

Setelah selesai dengan presentasi Dr Prihardi Kahar, sesi selanjutnya diserahkan pada Boim Lebon selaku moderator, dengan dua pembicara, Putut Widjanarko (Penerbit Mizan) dan Aris Nugraha (Penulis skenario Bajaj Bajuri, Pendiri ANP Production). Talk Show dengan tema Kreatif dan Kaya tanpa Merusak Lingkungan ini sangat santai, karena dibawakan dengan kocak oleh Boim. Disini banyak dibahas proses kreatif menulis skenario serta cara-cara menembus penerbit. Agak bergeser dari tema, tapi tetap patut disyukuri, karena bertebaran ilmu dari talk show ini.

Aura kehangatan bertemu sesama FLP’ers kembali memenuhi aula itu, kala bertemu dengan Rahmadiyanti. Ia salah satu pengurus pusat yang –lagi-lagi- biasanya hanya menyapa di milis. Senyum merekah dan berbicara sejenak dengannya, sedikit dapat melonggarkan kepenatan selama 3 jam duduk pada acara pembukaan.

Sore hari, seperti jadwal yang telah disepakati, kami berbagi tugas untuk mengikuti 2 acara yang dilaksanakan pada waktu bersamaan. Ada Fiksi Gila: Pelatihan Penulisan Fiksi, dipandu Nanik Susanti, dengan menghadirkan Afifah Afra (Penulis, CEO Indiva Media Kreasi, Solo) dan Sofie Dewayani (Penulis FLP Amerika). Sofie yang sangat tulus memberikan materi, serta Afra sangat atraktif mengajak peserta mengikuti arahannya. Antusias pun terlihat, walau sedikit terhalangi dengan waktu yang sangat terbatas. Namun –lagi-lagi-, tetap ilmu mengalir memenuhi ruang otak kami.

Satu acara lagi adalah Pelatihan Optimalisasi Perpustakaan Sekolah dan Taman Baca untuk Lingkungan Sekitar. Hadir Yessy Gusman, Wien Muldian dimotori Lusiana M. Novita. Suasana begitu menyenangkan. Pembawaan luwes dari moderator serta pembicara yang ringan, dapat mengobati keingin-tahuan kami dalam mengembangkan taman baca nantinya. InsyaAllah.

Sore hari menjelang maghrib, mulailah internal meeting. Berbagai utusan dibagi pada 3 kelompok diskusi. Ada yang membahas Organisai, Kaderisasi dan Perluasan Jaringan. Sempat dipotong dengan kegiatan ishoma (Istirahat Sholat Makan), sesi inilah yang paling menguras tenaga dan pikiran. Setiap orang mengemukakan ide serta usulan demi kemajuan dari FLP secara menyeluruh. Hingga waktu bergulir sangat cepat. Dengan wajah sangat tak berdaya, kami akhirnya bisa kembali istirahat pada pukul 11.00 malam.

Bagaimana keesokkan harinya?

Awal pagi, kami telah disibukkan dengan riuh rendahnya para FLP’ers yang berlalu lalang dalam asrama. Ber’say’ hello, mengajak sarapan, atau hanya bercanda mengingat kelucuan-kelucuan sewaktu malam pertama dilewati. Hal-hal kecil seperti ada yang tidak tahan dengan AC atau sebaliknya. Wajar saja, apalagi, teman sekamar bukanlah teman yang sehari-harinya biasa dihadapi di daerah. Dalam satu kamar, ada 3 utusan FLP dari berbagai cabang di Indonesia. Inilah salah satu hal yang membuat kami begitu melewati hari tanpa terasa. Terlalu asyik dengan bulir-bulir persaudaraan yang begitu bening dan jernih. Ada saja yang kami korek dari cerita-cerita mereka di tiap daerah.

Sedang acaranya? Jangan ditanya tentang kelelahan dan kaki yang serasa hendak copot, kami tetap semangat diantara teriknya udara jakarta, khususnya depok, yang menyengat menembus kulit. Kegiatan menyita waktu kami diantara alunan bait-bait cinta padaNYA setiap malam. Seluruh pikiran kami tercurah sempurna, agar tempat bernaung kami bernama FLP, bisa tetap harum, merekah, merona sepanjang kami tetap konsisten memperjuangkannya. Cinta kami tetap berseri mengiringi hari-hari dalam suasana yang menggembirakan.

Tanpa terasa, 3 hari kami lewati dalam suasana linu di segenap otak, disekujur tubuh, juga linu pada hati yang teriris, mengingat betapa singkatnya pertemuan kami yang hanya 3 hari, namun meninggalkan banyak cerita manis dalam rangkaian. Rasanya persaudaraan ini tak mungkin ditebus dengan apapun.

Inilah kegiatan FLP kesekian, yang dapat membekali kami dengan berton-ton ilmu dan persaudaraan teramat erat dan manis.

Jadi semakin yakin, dengan oleh-oleh seperti ini, kami akan bisa menebar ilmu dan cinta, dimana pun berada. InsyaAllah.


dimuat di bulletin FLP Sengata, edisi Agustus 2008
poto-poto bisa dilihat di rumah kedua