Sunday, December 02, 2007

Karena Kau Perempuan

Dalam satu minggu ini, saya sudah dengan lahapnya ‘memakan’ 3 buku non fiksi. Lapar sekali? Bukan lapar, tapi memang saya manusia pencinta dunia ini. Maka dengan ringannya, buku-buku itu sudah berpindah makna dan hikmah kedalam otak saya.

Dan kemaren malam, saya baru akan memulai satu buku non fiksi lagi, persembahan FLP Yogyakarta, oleh-oleh dari Ika (jazakillah ya Ka! Ternyata oleh-oleh juga harus dibeli ya hehehe). Seperti kebiasaan aneh yang telah saya jalani sejak kecil, saya pasti akan memulai membaca dari belakang buku ke arah depan. Jujur, dari situlah titik poin keputusan, dimana saya akan melanjutkan untuk terus atau meletakkannya lagi.

Sampai pada judul artikel Baru Mandi yang ditulis Ika, saya seperti disentak. Seperti disengat. Lalu otak saya disesaki oleh bintang-bintang yang bertuliskan, ‘Kamu telah lalai! Kamu tidak menyayangi saudaramu sesama muslimah!’ Duh, harus bagaimana ini?

Apa sebab?

Beberapa waktu lalu, ketika sedang bertandang pada salah satu blog milik sahabat saya. Ia seorang muslimah, seorang ibu, dan telah menjalankan kewajibannya sebagai seorang perempuan, yaitu mengenakan hijab atau kerudung (so proud of you). Pada salah satu postingannya kala itu, ia mengingat kembali masa pertemuannya dengan sang suami, ayah dari anak-anaknya, yang ceritanya cukup unik. Hingga album mereka berdua dipajang jelas. Dan… sahabat saya memperlihatkan dirinya pada foto itu, dalam keadaan belum mengenakan kerudung. Waktu itu, saya pun berpikiran dan berinisiatif untuk menegurnya. Tapi apalah daya (kelemahan seorang manusia) suara putih dan hitam terus mempengaruhi,

“Beuu… sok baek luh! Biarin aja, toh nggak ngerugikan kamu!”
“Tegur Ukh! Bukankah sesama muslim harus menegur jika salah satu dari mereka berlaku tidak ihsan (ihsan=baik)”
“Udah lah! Entar kamu malah dianggap ikut campur lagi! Malah kehilangan teman kan?”
“Kehilangan teman itu hanya sementara ukhti. Lebih baik takut pada siksa di hari akhir karena kita telah lalai”

Dan…saya pun belum menegurnya! Sungguh saya menyesal! Perlakuan saya padanya jelas telah merugikan dia. Tidak seperti ketika saya menemukan beberapa foto adik saya di dalam telpon genggamnya kemudian menegurnya dengan judes. Kenapa demikian? Dia telah berhijab, dan fotonya bisa saja dilihat oleh teman-temannya yang iseng ingin tahu bagaimana jika dia dalam keadaan tidak berkerudung. Adik saya pun waktu itu sedikit takut dan sedih. Tapi setelah saya jelaskan dia mau mengerti. Saya menyayanginya, untuk itulah saya mengingatkannya.

Ketika seorang perempuan telah mengerti dan mengenakan hijab sebagai wujud kepatuhannya pada Sang Pemilik, hal-hal lain pastilah akan mengikuti dengan sendirinya. Mempelajari bagian-bagian dari ilmu berlaku sebagai muslimah yang baik, serta menjalankannya secara maksimal membutuhkan dukungan serta sarana memadai. Salah satu hal sepele, namun terkadang bisa menelantarkan kita pada lantai dosa, kembali mempertontonkan aurat kita pada masa dulu tanpa merasa salah sedikit pun. Malah sama halnya, kembali membuka hijab di khalayak ramai, padahal jelas kita tahu batasan aurat seorang muslimah. Dalam kasus ini adalah masih memajang foto di jaman jahiliyah dengan tanpa perasaan malu dan dosa. Bukankah kita telah berhijab? Membiarkan orang lain yang bukan muhrim, membayangkan bagaimana bentuk rambut kita pun tidak diperbolehkan sama sekali, apalagi kemudian jelas-jelas kita masih mengedarkan helai demi helai bentuk dan rupa bagaimana kita pada masa dulu.

Ah itu kan dulu? Sekarang kan sudah memakai jilbab?

Saya yakin kalimat di atas akan ada jika saya paparkan masalah ini. Sebenarnya bukan dulu atau sekarang. Bukan itu "foto dulu dan aslinya tidak demikian lagi". Namun, aduhai perempuan, cukuplah dunia kelam kita yang masih tanpa malu memamerkan lekuk setiap tubuh, tertinggal semakin jauh. Cukuplah hanya suami dan orang-orang yang mempunyai ‘hak’ bisa melihat kita apa adanya. Dan cukuplah kita terus melihat ke arah depan. Biarlah foto-foto ‘manis’ jaman dulu hanya menghiasi album kenangan pada memori kita sendiri. Karena memang terlalu ‘manis’ untuk kembali dikuak.

Karena kau perempuan
Maka kau dikotakkan demikian rapi pada bingkai kristal
Karena kau perempuan
Maka hanya cinta suci milik-NYA bisa menyentuhmu
Karena kau perempuan
Maka aku datang membisikkan surat cinta ini
paragraph demi paragraph berisi wasiat
Karena aku dan kau perempuan
And I Love you just because of GOD