Monday, December 08, 2008

Berkurban


Tidak gampang, mengikhlaskan sesuatu yang sangat kita sukai, untuk dipersembahkan, dimiliki oleh orang lain. Perlu ketegaran serta hati besar untuk bisa ditunaikan dengan baik. Tidak mudah! Bahkan untuk arti ini, seorang anak kecil pun perlu dididik awal atasnya. Karena jika ia telah dewasa, kerap tak mudah meluruskan pemikiran tanpa ternoda.

Itu pun jelas terlihat, hari-hari begitu menyita waktu, menjelang hari-hari perayaan kurban. Beberapa perempuan dan lelaki, meluangkan waktunya seharian, duduk dalam sebuah forum, dari cerah hingga lesu menjelang malam. Ini pengorbanan. Karena diantara mereka ada yang datang setelah selingan penganan kue-kue kecil tersaji, atau diantara mereka telah beredar sebelum palu diketuk.

Di tempat lain pun demikian. Berderet mobil, berkilo-kilo berakhir pada satu titik pun terlihat akhir-akhir ini. Titik kecil yang kerap diributkan menjelang Desember, karena isunya akan mengalami penuruan harga. Tempat penyimpanan dan pendistribusian BBM. Mereka berkorban keukeuh antri, dengan pergerakan yang tidak signifikan, karena memang tempat itu belum ada pasokan bensin yang telah dijanjikan akan datang sebentar lagi. Dari pagi hingga jelang senja, masih sama. Pasokan itu belum nampak. Ini pun pengorbanan bagi oknum lain. Demi melihat harga yang sedikit turun, pikiran nakal serta kesempatan yang terbuka lebar, membuat perlakuan bernama manipulasi. Membuatnya aman melimpah ditempat mereka.

Kita memang seringkali tidak dapat mengambil hikmah dari segala macam kisah yang pernah terjadi. Seringnya dijadikan dongeng pengantar tidur, sampai tertimbun selimut dan bantal di pagi harinya. Kisah-kisah itu hanya menjadi hiasan di bibir tanpa merasuk ke hati. Terlebih kisah dan hikmah itu seharusnya menyergap kita setiap waktu.

Kisah seorang kekasih Allah, nabi Ibrahim as., rela serta ikhlas menjalankan segala perintah Sang Nyata. Ia dambakan seorang buah hati bertahun-tahun dalam masa penantian. Ketika tiba dan selesai masa penantiannya, sang buah hati pun diminta dengan cara disembelih. Andai kita hidup pada waktu itu, apa yang akan kita lakukan?

Atau kisah ibu teladan, Siti Hajar. Air zam-zam yang mengalir dari telapak kaki sang buah hati, menandakan kekonsistenan serta ketajaman berpikir jernih seorang hamba. Ia begitu sadar serta yakin, apapun itu, pastilah berasal dari Sang Nyata.

Jaman kita memang telah berubah. Segala ucapan pengorbanan pun tak ayal selalu menyertai segala permasalahan di diri kita. Namun benarkah demikian? Pada kenyataannya, manusia seringnya tak mau kalah pada keadaan, dengan alasan, Allah tak akan merubah nasib seseorang jika manusia itu sendiri tak mau mengubahnya. Manusia pun gemar menghitung-hitung, sudah banyak yang dilakukan, dan tetap merasa aneh, jika masih saja disalahkan. Kita terlampau menganggap remeh arti pengorbanan itu sendiri.

Ketika masa duka menyelimuti, adakah pengorbanan menekan segala perih hati dalam bentuk kesabaran? Ketika masa suka menggelayuti, adakah pengorbanan membuang rasa angkuh, menepuk dada serta lantang bersuara; ’inilah aku’, bisa dilakukan? Lupa, khilaf dan wajar jika ada reaksi, itu selalu kita jadikan tameng.

Disayatnya leher hewan kurban, semoga, beriringan dengan tersayatnya rasa angkuh, sombong, takabur serta menaburkan derita menjadi sebuah cerita untuk minta dikasihani. Dikulitinya pun, dengan menggunakan mata pisau yang paling tajam, setajam kepercayaan kita pada yang menciptakan hewan itu. Percaya, begitu tanpa noda kasih yang diulurkan selama ini. Dan sungguh bukanlah hewan itu yang akan sampai padaNya, ia hanya sebagai alat keikhlasan kita dalam menjalani apa yang dinamakan berkurban. Dan sungguh, ketaqwaan serta nilai spiritual berlebih di dalam berkurban itu yang akan menghampiri tahtaNya paling mulia. Karena apapun itu, berkurban perlu dihayati demikian indah, hingga sampai masa pertemuan dengan-Nya nanti.

Tuesday, November 25, 2008

Pribadimu Malam Itu


Malam itu saya batalkan beberapa janji, karena dia hanya ingin bertemu saya. Cukup lama dia menunggu saat untuk bisa bertemu langsung dengan saya. Bukan GR. Namun demikianlah yang dikatakan oleh salah seorang teman baik saya. Saya tak ambil pusing. Karena memang tidak mudah GR, lagipula ini kesempatan saya membuktikan apa yang banyak orang gunjingkan tentang dia. Setidaknya tak perlu saya menelan semua omongan orang, selain hanya melihatnya sendiri.

Perempuan itu biasa berkeluh dengan saya, baik chatting maupun telpon. Keluhan seorang perempuan yang memang sedang ingin memandang hidup ini lebih indah, tanpa banyak awan mendung yang menggelayut. Setiap waktu sepertinya gerimis datang. Bahkan sesekali diselingi halilintar. Dia merasa tak tahan.

Saya selaku pendengar mencoba mencernanya. Merasakan kepedihannya. Mencoba mencarikan sedikit obat penghilang rasa sakitnya. Ampuh sebentar. Dan dalam beberapa waktu dia akan kembali bersama rinai atau petir-petir kecil. Saya kembali mencernanya. Begitu setiap kali. Hingga saya tak lagi memberinya obat penghilang rasa sakit yang hanya bekerja sebentar. Kali ini saya beri ia pecut, cambuk kecil. Dengan perlahan saya sarankan ia untuk menggunakannya, setiap kali ia merasa hidup tak adil, tak pernah ada bahagia. Pecut yang sekedar mengingatkannya, sebenarnya apa yang ingin ia raih. Pecut yang akan meninggalkan bekas sedikit, namun terasa sampai kesekian kali derita itu datang.

Semakin lama, dia pelan-pelan membentangkan jarak keluhannya pada saya. Waktu saya pun semakin padat, jadi setiap kali ia ingin topangan, saya hanya bisa dihubungi lewat SMS, itu pun dibalas beberapa jam kemudian. Karena saya tak mungkin membalasnya, kala pikiran dan hati saya sedang di pekerjaan lain. Memang tak enak, hati saya sedikit gundah. Bisakah dia menggunakan pecut yang saya pernah sarankan? Bukan obat pereda sakit, yang hanya membuatnya hilang rasa.

Malam itu pun saya dan dia bertemu. Berpapasan di lobi, dia hanya melirik sekilas. Saya pun menegurnya. Mengenggam tangannya erat. Memeluknya hangat. Badannya ringkih, jika saja tidak ada gundukan kecil amanah dari Allah, yang sedikit membuat tubuhnya melebar. Wajahnya sedikit pucat.

Dalam satu meja, kami duduk berhadapan. Dia lebih banyak diam dan tersenyum kecut. Saya selalu menggodanya. Mencoba membuat suasana cair seperti halnya chatting. Dia mulai memberikan reaksi. Namun tetap pelan. Hanya ketika saya korek, dia mau mengeluarkan apa yang ingin ia utarakan. Selebihnya, dia hanya terdiam tak jelas. Saya pun enggan mengorek lebih dalam.

Saya baru merasakan. Betapa memang tidak gampang menumpahkan segala keluh kesah langsung pada orang yang ingin kita bagi. Tidak mudah untuk mengenyampingkan perasaan takut, sungkan, walaupun orang yang biasa kita ajak bicara tidak merasa keberatan sama sekali. Ya, karena memang kita manusia biasa. Cela dan cacat tak akan pernah dapat kita hindari. Meskipun untuk urusan sombong, kita tetap saja tak mau kalah.

@@@

Malam itu kami hanya bertemu sebentar. Saya dan dia berpisah di lobi lagi. Saya melambaikan tangan pada sebuah taksi. Membuka pintunya dan mengucapkan salam padanya. Dia hanya tersenyum. Selebihnya tidak saya perhatikan reaksi apa lagi yang ada padanya.

Saya tak menemukan dirimu yang suka mengeluh malam itu.
Saya tak menemukan celotehanmu yang kerap saya tegur, karena biasanya terlalu tak enak untuk didengar.
Saya berharap pecut yang pernah saya berikan, lebih bisa membuatmu semakin tahu dan mengerti bagaimana menyikapi gelombang kehidupan.

Thursday, October 23, 2008

Hidup itu Menakjubkan


Hidup itu menakjubkan, bukan?

Seorang perempuan, selama beberapa minggu kembali mengambil jatah cuti, pada libur Raya kemaren. Pulang dan sungkem pada kedua orangtua, serta berkumpul lagi dengan kedua adik perempuannya. Menyenangkan, menyedihkan, menggemaskan serta banyak rasa yang ia rasakan. Menyenangkan bisa berkumpul setelah sekian tahun tak pernah selengkap ini. Menyedihkan karena ketika bisa berkumpul, ada musibah lain yang justru menggemaskan. Ketika takbir bergema, rumah dinas orang tuanya dibobol pencuri, ketika rumah itu mereka tinggalkan untuk berlebaran ke rumah ’asli’ milik orang tuanya. Beberapa barang berharga disikat. Tanpa ampun! Orang tuanya syok. Karena memang tak pernah menyangka akan ada kejadian seperti ini. Setiap tahun beliau berdua memang mengkhususkan untuk ’hijrah’ ke rumah mereka (bukan dinas), merasakan sebentar lalu kembali ke rumah dinas, karena tempat kerja tinggal melangkah dari rumah dinas itu. Dan peristiwa kebobolan itu sedikit menyedihkan bagi salah satu adik perempuan itu. Dia yang baru tahun ini bisa berkumpul, merasa terabaikan. Kehadirannya tak membuat syok orang tua mereka terobati. Setidaknya itulah perasaannya. Dan bagi perempuan itu sangat menggemaskan. Gemas karena tak jelas harus berbuat apa.

Inilah hidup bukan? Apalagi, memang sang penggoda tak akan senang jika kita telah berhasil keluar dari pesantren bernama ramadhan, suci serta bersih dari syak wasangka. Mereka terus bergiat membuat kita lengah, bahkan berpaling dengan memberikan sedikit centilan, hingga kita lupa pada makna serta hikmah yang bisa kita dapatkan. Contoh? Bayangkan ketika kita mengalami serta menghayati hari-hari khusyuk dalam bulan ramadhan. Begitu indah serta segala kegiatan kita benilai ibadah. Rasa lapar serta haus tak pernah dapat menyiksa. Marah, ghibah, mencaci juga membuat orang lain terluka, sedapat mungkin kita hindari. Karena itulah pencapaian yang menjadi mimpi diakhir ramadhan. Hingga di hari suci bernama idul fitri, kita bisa tetap meluruskan apa yang telah kita pupuk selama ramadhan. Namun kenyataan memang tak seindah harapan. Terkadang kita malah mengumbar hawa nafsu. Menyediakan banyak makanan. Berlimpah segala tetek bengek menjelang idul fitri sepertinya pamali jika dilewatkan. Serasa tak akan ada lebaran atau idul fitri jika segala rupa tak tersaji. Atau hal lain, seperti hal ini. Dalam sekejap, segala jerih payah yang orang tua mereka kumpulkan ludes tak bersisa, kesyukuran itu tak lengkap ibu mereka rasakan. Ditambah bertubi-tubi ujian datang. Ibunya seperti tak mempan menerima ucapan pelipur lara dari anak-anaknya. Semua sirna, kebahagiaan lain tak dapat dipandang, pun oleh sebelah mata. Termasuk kebahagiaan dapat berkumpul dengan orang-orang terkasih; diberikan kesehatan; disampaikan pada terakhir ramadhan; serta banyak hal yang kadang tak pernah kita pikirkan.

Inilah hidup bukan?

Hidup, impian yang ternyata tak permah terlintas, bahkan untuk menjadi angan-angan lain dalam benak perempuan itu, juga kedua adiknya. Pastinya, juga tak pernah terpatri dalam pikiran kedua orang tua mereka. Kehilangan benda juga kehangatan dalam suasana suka cita.


Menggemaskan. Karena perempuan itu pun tak bisa berbuat apa-apa, selain membuat ibunya tertawa dengan segala cerita ataupun tingkah konyol, akibat bias rasa itu.

Bahkan dengan kekonyolan ini, saya bertanya, ”Masih bisa kamu tertawa, bahkan seperti tak ingin merasakan ketidak-nyamanan ini?”

”Bukan,” jawabnya lirih, ”Bukan karena saya tak punya rasa empati. Cukuplah saya nelangsa sebentar. Merasakan kesedihan mereka sekejap, lalu segera beranjak untuk tak terlalu terlena pada kesedihan mendalam. Mereka butuh seorang penghibur, dan...hidup terlalu indah untuk diwarnai dengan lara, bukan? ”

Ya, hidup itu menakjubkan!

Teruntuk saudara perempuan tercintaku

Wednesday, September 17, 2008

Malu, Tak Pandai Bersyukur


Kemaren, di beranda seorang tetangga -yang sudah seperti saudara bagi saya-, kami berbincang pada keadaan cuaca di Sengata yang akhir-akhir ini semakin garang saja. Iya, garang. Karena cuaca panas ini telah kami rasakan sejak minggu kedua ramadhan. Dikatakan garang, karena sebelumnya, sejak awal ramadhan, hari-hari diliputi dengan cuaca yang begitu bersahabat, mendung, serta rintik hujan yang semakin deras. Alhasil pada minggu pertama, suasana berpuasa terasa melegakan, bahkan jalanan licin serta berlumpur ke arah luar kota Sengata, yang pagi-pagi telah saya tempuh untuk kegiatan pesantren kilat, tidak mengganggu sama sekali. Semua terasa menyenangkan. Setidaknya bagi sebagian orang.

Tapi ternyata, tidak semuanya merasakan hal yang sama. Ketika saya berbicara dengan salah satu kerabat saya di kota lain. Dia mengeluh hujan selalu turun setiap harinya ketika masuk bulan ramadhan. Segala aktivitasnya terganggu, jemuran tidak kering, serta enggan meninggalkan rumah, jika selalu khawatir akan keadaan yang selalu basah seperti itu.

”Susah deh kita! Mau keluar aja, selalu mikir akan hujan atau tidak, ya?”
”Kamu terlalu berlebih-lebihan...”
”Bukan. Jemuran pada belum kering, menumpuk! Belum rasa malas lain?”
”Apa tuh?”
”Jadi malas buat ngapa-ngapain.”

Saya pun tertegun. Satu sisi, selalu saja ada keluhan akan cuaca panas, membuat gerah untuk beraktivitas, apalagi jika sedang dalam keadaan berpuasa seperti ini. Segala kegiatan sepertinya akan memeras keringat serta memerlukan energi lebih. Namun di sisi lain, cuaca mendung serta hujan justru juga mampu membuat hal yang sama. Keengganan tetap menjadi bagian dari aktivitas dan masih saja menghasilkan rentetan keluhan lain. Pertanyaannya, kalau begitu pada bagian mana yang baik bagi kita? Ketika harusnya hujan turun atau panas menyengat? Apakah kita tahu? Apakah kita berhak?

@@@

Pagi ini, saya terpana. Langit begitu mendung. Angin bertiup sedikit kencang dari biasanya. Suara desau kibasan ranting mulai terdengar sejak adzan subuh bergema. Dan, hujan pun mulai turun semakin deras, disertai guntur yang menggelegar.

Lalu telpon saya berdering;
”Assalamu’alaikum, Mbak Rien,” suara disebrang menyapa saya.
”alaikumussalam, apa kabar?”
”Alhamdulillah, tapi kok hujan gini, ya?”
”Hujan salah, panas salah, yang bener mana ya, mbak?”
Kami pun tertawa malu. Sebagai manusia biasa, kami malu. Malu pada keadaan kami yang selalu menggerutu. Keadaan kami yang tak pandai belajar mensyukuri.

Lalu nikmat-Ku yang mana ingin kau ingkari

Saturday, August 30, 2008

Doa Selalu Sama Menjelang Ramadhan


Banyak hal yang ingin saya ceritakan menjelang ramadhan ini. Banyaknya sama dengan jumlah pemandangan akhir-akhir ini yang saya lihat dan terpampang, pada saat-saat mendekati bulan suci ini.

Sebenarnya hanya dua hal yang membuat saya tertarik untuk saya bagi pada anda. Satu adalah ketika saya menonton siaran berita di televisi. Begitu banyak orang lesehan pada sebuah tempat, dengan atap yang menjulang, tas dan penat yang menggelantung pada wajah mereka, disertai tatapan lelah. Mereka bahkan telah melakukan aktivitas lesehan itu sejak jam 5 subuh. Pada saat adzan bergema, mereka tafakur dalam diam, merunduk mencium kedua lutut mereka. Bukan dengan khidmat mendengarkan adzan lalu melakukan sholat fajar setelah itu. Karena memang tempat mereka lesehan itu bukan di rumah Allah, melainkan pada sebuah stasiun alat transportasi. Stasiun kereta api Gambir. Mereka sambut ramadhan dengan antri pada loket tiket keberangkatan. Alasannya tentu tak ingin kehabisan jika harus antri seminggu menjelang idul fitri. Bahkan pihak terkait tidak bisa menjamin, apakah tiket masih tersedia menjelang lebaran. Maka, mereka harus melakukannya, jika tidak ingin berlebaran jauh dari kampung halaman.

Hal kedua adalah gemuruh di satu mesjid, kawasan Sengata Baru, sekitar jam 8 pagi. Cuaca waktu itu tak bersahabat. Sedari subuh, rinai tak hentinya turun. Namun, aktivitas gemuruh itu tak terganggu sedikit pun. Ratusan anak dan orang tua berkumpul. Sebuah panggung kecil ditengah mesjid telah dipersiapkan. Kemudian anak-anak itu dengan tertib masuk, duduk sesuai dengan tanda yang harus mereka sepakati, agar anak yang lain dapat menempati posisi mereka secara teratur pula. Sedang para ibu-ibu mengatur beberapa barang, diteras mesjid. Menatanya sedemikian rapi, hingga sangat nyaman dipandang. Lalu tiba-tiba, MC mulai bersuara, “Anak-anak, takbir!” maka gemuruh jelas menggema dari mulut-mulut kecil itu, “Allahu Akbar!”. Tempat itu serempak riuh, dengan kegiatan mendongeng kisah ramadhan dari seorang ustad pendongeng yang sengaja didatangkan dari Yogyakarta. Kegiatan ini disebut Tarhib Ramadhan atau menyambut ramadhan yang diselenggarakan Yayasan Pembina Mesjid Daarussalaam Sengata, yang isinya adalah sekolah islam terpadu, dari TK hingga SMP.

Menarik. Itu yang ingin saya ungkap. Betapa ragam aktivitas bisa manusia tampilkan dalam satu kesempatan. Entah itu aktivitas menyenangkan, menggelikan, menyusahkan bahkan menyesatkan. Lebih geli lagi, manusia rela untuk melakukannya, demi rutinitas yang memang telah terbentuk sejak mereka kenal dengan hal ini. Mau tidak mau, mereka pun menjadi terbiasa, bahkan sebagian beranggap, akan aneh jika tidak melakukannya.

Saya teringat, seorang teman mengatakan; ia tidak akan pulang selama ramadhan hingga masa i’tikaf selesai. Selain ia terbiasa akan mengisi ruhiyah tiap ramadhan, karena begitu banyak ustad yang akan ke Sengata, juga ia selalu beranggap ramadhan ini adalah ramadhan terakhirnya. Jelas, itu berarti ia sekali lagi akan menghabiskannya jauh dari keluarga besarnya di rantau. Alasannya masuk akal. Ia tak ingin ramadhannya kali ini akan sia-sia jika harus ia habiskan di perjalanan, sampai di kampung, bertemu dengan sanak saudara, lalu lupa akan indahnya bulan suci ini, jika hanya dilewatkan dengan ngobrol tentang segala hal selama ia tak berada di kampung.

Seorang teman lain, berpikiran hampir sama; apa yang akan ia lakukan di kampung selama ramadhan? Ia terbiasa sibuk mengurus rumah, anak-anak, dan tarawih pada malam harinya. Jika pulang, tinggal di tempat orang tua, tentunya kesibukkan akan menurun. Bingung, karena apa-apa yang ia perlukan serba tersedia di rumah orang tuanya. Ada assisten, yang siap membantu, dari memasak, mencuci, hingga membenahi halaman rumah. Tidak ada aktivitas yang berarti, kilahnya.

Menjelang ramadhan, betapa banyak ragam peristiwa dari sebuah aktivitas yang disuguhkan pada kita. Ada yang berdesir pilu, miris juga pedih. Namun tak sedikit ada warna cerah, berbunga-bunga serta harum. Inilah kebesaran milik-Nya. Banyaknya hal yang disajikan, menjadi pertanda, DIA begitu mencintai kita. DIA masih memberikan kesempatan serta kemampuan pada kita dalam memilah segala hal dengan baik.

Apapun itu, saya yakin, doa saya maupun anda, selalu memiliki kesamaan; berusaha menjadikan ramadhan kali ini sebagai pembelajaran dalam hidup, mengokohkan kesantunan seorang muslim dalam berprilaku, serta meraih setinggi-tingginya ridho milik Allah SWT. Banyak doa yang terlantun, semoga diiringi dengan banyaknya pula usaha dalam menggapai cinta-Nya. Wallahu a’lam bishowab.

Marhaban ya Ramadhan

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa 1429H

Friday, August 22, 2008

Merdeka Pada Seorang Anak SMP

Anak-anak itu begitu rapi, duduk di tempat yang telah dipersiapkan oleh panitia, pada sebuah ruangan sederhana yang mereka beri nama kelas. Pakaian mereka biasa saja, bahkan ada diantaranya masih mengenakan seragam, karena memang baru saja melaksanakan upacara peringatan 17 agustus di sekolah mereka. Namun rona kegembiraan tak bisa mereka sembunyikan. Menyambut kami dengan senyum, mengingat sekolah mereka yang harus ditempuh sejauh 13 kilometer dari kabupaten, jalanan yang berkerikil, laju kendaraan harus merayap pelan, hingga jarang yang mau berkunjung ke sekolah itu. Jadi, layak saja antusias ingin tahu jelas terpancar, walau hanya diwakili oleh 17 raut wajah milik mereka.

Pagi itu, setelah sesi pengenalan FLP serta permainan kreatif selesai, acara inti dilanjutkan dengan membedah karya mereka yang telah dipersiapkan. Saya pun mengambil jatah ini, dengan memilih 3 karya dari mereka untuk dikoreksi. Sungguh, membuat saya kagum, diantara mereka telah ada yang mempunyai keunikan, kepolosan dalam menuangkan pikiran pada tulisan, walau terbalut pemikiran klasik pada temanya; apa arti kemerdekaan bagimu.

Secara keseluruhan, tulisan mereka masih khas tulisan anak-anak dimana kemerdekaan mereka pandang sebagai bentuk hasil pengorbanan dari para pejuang selama 350 tahun, gegap gempita berjuang hingga titik darah penghabisan agar negara bernama Indonesia ini merdeka. Tidak dapat dipungkiri, mereka masih begitu terkotak pada menghargai kemerdekaan itu dengan menghadiri upacara, mendengarkan teks proklamasi dikumandangkan, serta kibaran bendera dengan hikmat diberi penghormatan, ketika dinaikkan perlahan-lahan diiringi alunan lagu Indonesia Raya. Pemikiran yang kemudian begitu diperjelas pada salah satu mata pelajaran di tiap jenjang sekolah.

Hingga ketika saya dengan tegas bertanya, ”Apa sih arti kemerdekaan yang sebenarnya bagi kalian?”, mereka hanya diam sambil mesem-mesem. Lalu saya kembali mempermudah bahasa saya, dengan melontarkan kalimat, ”Kalian sudah merdeka sekarang ini?”, ada yang berbisik-bisik tak jelas, hingga saya hampiri salah satu dari mereka. Saya sorongkan pengeras suara pada salah seorang anak laki-laki, berusia sekitar 14 tahun, dan dengan lirih dia menjawab, ’Belum, mbak”. Ketika kembali saya memberondongnya dengan, ’Belum merdeka pada hal apa?’. Dengan suara tertahan, dia kembali menjawab, ”Biaya hidup semakin tinggi. Buku pelajaran semakin mahal. Orang tua saya gak mampu, mbak”. Suasana hening. Saya mencoba tersenyum, dengan embun yang pelan merembeti hati.

Benar, bangsa Indonesia telah merdeka 63 tahun yang lalu. Para pejuang telah mewariskannya pada kita. Benar, kita telah terbebas dari penjajahan, kerja rodi ataupun romusha. Kita bisa mengembangkan segala kemampuan kita dalam berkarya untuk mewarnai kemerdekaan ini. Benar, kita telah terbiasa serta leluasa dengan mengeluarkan pendapat, baik itu pujian ataupun umpatan keji. Tapi, benarkah kita telah mewarisi sifat para pejuang? Benarkah kita mampu mengembangkan kemampuan kita untuk membantu memupuk kemampuan orang lain?

Kenyataanya, prilaku kita tak jauh dari sifat penjajah. Tanpa sadar kita telah membelenggu saudara kita sendiri. Terjebak pada rutinitas mengais rejeki tanpa sesekali berpikir apakah kita tanpa sadar mengambil ladang rejeki orang lain. Cara kita mengais pun, tak pelak harus sikut sana sikut sini. Berani melakukan tindakan tak bermoral, mengambil penghidupan orang lain. Tanpa terbersit pun rasa takut, jika sifat ceroboh ini, mengental di darah dan akan mengalir deras pada keturunan kita nanti. Atau... benarkah ini merupakan warisan dari penjajahan dulu, yang telah diberikan pada kita? Mengusir, namun tak mampu mengelak didikan serta tempaan mental seorang penjajah pada pribadi kita sendiri. Naudzubillah....

Seorang anak SMP kelas 8, telah membuat perenungan pada batin dan diri saya yang telah merasa merdeka. Kembali bertanya, merdekakah diri ini, ketika kita masih bisa tersenyum pada tangisan serta perut mereka yang berbunyi minta diisi?

Seorang anak SMP kelas 8, mengingatkan kembali pada rasa peduli kita yang terlampau transparan. Terlampau gemar pada bilik kesenangan pribadi. Setidaknya, ia mencoba mengingatkan untuk peduli dan berani mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya bukan menjadi kesadaran kita, karena belum menjadi ’trend’.

Bagi kita, merdeka sudah menjadi bagian dari kehidupan. Merdeka dengan segala bentuk kebebasan tanpa syarat. Bagi anak SMP kelas 8 itu, merdeka belum sepenuhnya ia dan keluarganya dapat raih, jika diukur pada kemerdekaan orang-orang mampu disekelilingnya. Merdeka masih harus ia perjuangkan. Dibalik sekolah sederhana jauh dari kawasan keramaian kota. Merdeka harus ia terus dengungkan, beriringan dengan kebutuhan sekolahnya yang juga semakin memberi dengung nyaring, tanda semakin meningkatnya biaya demi meraih itu semua. Merdeka masih harus ia deritkan di antara kibaran merah putih, diantara gegap gempitanya perayaan, diantara teriakan kemenangan. Semoga, darah serta mental para pejuang ada pada dirinya.

Wednesday, August 06, 2008

Silnas: Perjalanan Ilmu dan Persaudaraan


Postingan yang mengendap cukup lama :)

Jumat, 11 Juli 2008. Udara sangat bersahabat, tidak terlalu panas atau sebaliknya, walau keramaian telah menyeruak sepanjang jalan ke arah Srengseng, kawasan Lenteng Agung, dimana acara besar, Silaturahim Nasional Forum Lingkar Pena akan digelar. Sebagian pengurus FLP cabang Sengata, terdiri dari Rien Hanafiah (Ketua), Nurika Nugraheni (Kaderisasi), Yunny Touresia (PimRed) dan Arif Wibowo (Humas), stand by di lokasi sekitar pukul 7.30 waktu setempat.

Keadaan sudah ramai. Wajah-wajah berseri walau lelah, dikarenakan perjalanan yang sangat menyita waktu, tidak memudarkan rasa gembira bisa bertemu langsung dengan FLP’ers, karena selama ini kami hanya dapat menyapa lewat milis atau sms. Rombongan yang pertama kali menyambut hangat, tentunya panitia pada bagian registrasi. Memberikan name tag, serta mengatur ‘bagasi’ yang akan disalurkan pada masing-masing kamar nantinya.

Rombongan kedua, menegur kami dengan sumringah dan pelukan hangat adalah teman-teman dari FLP Jawa Tengah. Bertemu kembali dengan Afifah Afra, mengembalikan memori ketika ia berada di Sengata setahun yang lalu. Kemudian sapaan mbak Izzatul Jannah, penulis senior yang juga merupakan salah satu ‘warga’ Majelis Penulis pada struktur FLP Pusat, semakin membuat kami begitu melupakan keletihan perjalanan menuju tempat acara ini.

Setelah beres dengan masalah registrasi dan sarapan (tentunya!), langkah kami kayuh ke arah aula utama, dimana pembukaan acara akan berlangsung. Selama kurang lebih 3 jam, acara dimulai dengan sambutan dari M. Irfan Hidayatullah (biasa kami sapa Kang Irfan), ketua FLP Pusat. Beliau sangat tergugah dengan semangat teman-teman FLP seluruh Indonesia, juga dari Hongkong, Jepang, Cairo, dan Amerika Serikat, yang menyempatkan diri hadir. Sangat takjub, karena dulu, silaturahim nasional pertama hanya dihadiri kurang lebih 50 orang. Jumlah yang sangat signifikan dengan tahun 2008 ini, yaitu hampir mencapai 300 peserta. Kemudian acara dilanjutkan dengan presentasi Dr Prihardi Kahar. Seorang peneliti lingkungan hidup, yang bekerja pada ACER Biomass Research Group, Meisei Universitas Jepang. Disini kita baru melek, ternyata banyak kesalahan diperbuat manusia, dan sangat mempunyai dampak negatif bagi lingkungan. Dan untuk kesalahan ini, justru kita tidak sadar bahkan tidak peduli. Tunggu saja pengupasannya pada edisi depan ya!

Setelah selesai dengan presentasi Dr Prihardi Kahar, sesi selanjutnya diserahkan pada Boim Lebon selaku moderator, dengan dua pembicara, Putut Widjanarko (Penerbit Mizan) dan Aris Nugraha (Penulis skenario Bajaj Bajuri, Pendiri ANP Production). Talk Show dengan tema Kreatif dan Kaya tanpa Merusak Lingkungan ini sangat santai, karena dibawakan dengan kocak oleh Boim. Disini banyak dibahas proses kreatif menulis skenario serta cara-cara menembus penerbit. Agak bergeser dari tema, tapi tetap patut disyukuri, karena bertebaran ilmu dari talk show ini.

Aura kehangatan bertemu sesama FLP’ers kembali memenuhi aula itu, kala bertemu dengan Rahmadiyanti. Ia salah satu pengurus pusat yang –lagi-lagi- biasanya hanya menyapa di milis. Senyum merekah dan berbicara sejenak dengannya, sedikit dapat melonggarkan kepenatan selama 3 jam duduk pada acara pembukaan.

Sore hari, seperti jadwal yang telah disepakati, kami berbagi tugas untuk mengikuti 2 acara yang dilaksanakan pada waktu bersamaan. Ada Fiksi Gila: Pelatihan Penulisan Fiksi, dipandu Nanik Susanti, dengan menghadirkan Afifah Afra (Penulis, CEO Indiva Media Kreasi, Solo) dan Sofie Dewayani (Penulis FLP Amerika). Sofie yang sangat tulus memberikan materi, serta Afra sangat atraktif mengajak peserta mengikuti arahannya. Antusias pun terlihat, walau sedikit terhalangi dengan waktu yang sangat terbatas. Namun –lagi-lagi-, tetap ilmu mengalir memenuhi ruang otak kami.

Satu acara lagi adalah Pelatihan Optimalisasi Perpustakaan Sekolah dan Taman Baca untuk Lingkungan Sekitar. Hadir Yessy Gusman, Wien Muldian dimotori Lusiana M. Novita. Suasana begitu menyenangkan. Pembawaan luwes dari moderator serta pembicara yang ringan, dapat mengobati keingin-tahuan kami dalam mengembangkan taman baca nantinya. InsyaAllah.

Sore hari menjelang maghrib, mulailah internal meeting. Berbagai utusan dibagi pada 3 kelompok diskusi. Ada yang membahas Organisai, Kaderisasi dan Perluasan Jaringan. Sempat dipotong dengan kegiatan ishoma (Istirahat Sholat Makan), sesi inilah yang paling menguras tenaga dan pikiran. Setiap orang mengemukakan ide serta usulan demi kemajuan dari FLP secara menyeluruh. Hingga waktu bergulir sangat cepat. Dengan wajah sangat tak berdaya, kami akhirnya bisa kembali istirahat pada pukul 11.00 malam.

Bagaimana keesokkan harinya?

Awal pagi, kami telah disibukkan dengan riuh rendahnya para FLP’ers yang berlalu lalang dalam asrama. Ber’say’ hello, mengajak sarapan, atau hanya bercanda mengingat kelucuan-kelucuan sewaktu malam pertama dilewati. Hal-hal kecil seperti ada yang tidak tahan dengan AC atau sebaliknya. Wajar saja, apalagi, teman sekamar bukanlah teman yang sehari-harinya biasa dihadapi di daerah. Dalam satu kamar, ada 3 utusan FLP dari berbagai cabang di Indonesia. Inilah salah satu hal yang membuat kami begitu melewati hari tanpa terasa. Terlalu asyik dengan bulir-bulir persaudaraan yang begitu bening dan jernih. Ada saja yang kami korek dari cerita-cerita mereka di tiap daerah.

Sedang acaranya? Jangan ditanya tentang kelelahan dan kaki yang serasa hendak copot, kami tetap semangat diantara teriknya udara jakarta, khususnya depok, yang menyengat menembus kulit. Kegiatan menyita waktu kami diantara alunan bait-bait cinta padaNYA setiap malam. Seluruh pikiran kami tercurah sempurna, agar tempat bernaung kami bernama FLP, bisa tetap harum, merekah, merona sepanjang kami tetap konsisten memperjuangkannya. Cinta kami tetap berseri mengiringi hari-hari dalam suasana yang menggembirakan.

Tanpa terasa, 3 hari kami lewati dalam suasana linu di segenap otak, disekujur tubuh, juga linu pada hati yang teriris, mengingat betapa singkatnya pertemuan kami yang hanya 3 hari, namun meninggalkan banyak cerita manis dalam rangkaian. Rasanya persaudaraan ini tak mungkin ditebus dengan apapun.

Inilah kegiatan FLP kesekian, yang dapat membekali kami dengan berton-ton ilmu dan persaudaraan teramat erat dan manis.

Jadi semakin yakin, dengan oleh-oleh seperti ini, kami akan bisa menebar ilmu dan cinta, dimana pun berada. InsyaAllah.


dimuat di bulletin FLP Sengata, edisi Agustus 2008
poto-poto bisa dilihat di rumah kedua

Saturday, June 14, 2008

Curhat si Penulis


Hey Now, Hey Now
Don’t dream its over
Hey now, Hey now
With the world comes in
They come, they come
To build a wall between us
We know, they won’t win
(Don’t’ dream its over by crowded house)

Perputaran waktu sungguh tak terduga. Kembali mengingat setahun lalu saya harus istirahat sejenak dari rutinitas di tempat terpencil, sekarang, saya pun bersiap, sedikit ingin menyandarkan punggung sejenak, menghalau penat yang tiba-tiba saja mendera. Kelelahan yang terkadang diluar batas kendali emosi saya sebagai manusia biasa, membuat orang-orang di sekeliling saya merasa sedikit ‘teraniaya’.

Yup, saya memang akan mengambil jatah ‘cuti’, untuk sekedar istirahat di kota kelahiran. Berkumpul dengan ibu yang –sering- saya layangkan hati penuh rindu padanya. Berkumpul sejenak sebelum saya bergegas lagi untuk menyiapkan segala sesuatu di kota lain (Kutai Kertanegara) dalam rangka RakorWil FLP. Berkelanjutan dengan keberangkatan ke acara SilNas FLP di Jakarta. Piuh, tetap saja saya ditumpuk tugas.Tapi, no problemo, cinta memang mengalahkan segalanya, inilah tanggung jawab saya sebagai seorang dari pucuk pohon yang sedang mencoba berkembang, menebar daun dan membuat wangi kelopak-kelopak bunganya. Ah, bahasa aneh!

Kemaren, saya sempat menerima SMS dari seorang teman, yang saya kenal setahun lalu dari acara kopdar di Jakarta, “Asslkm, Mbak Rien, lagi dijakarta ya? Ketemuan yuk! Wass.” Jadi senyum-senyum sendiri, jadi pengen senyum selebar mungkin. Ternyata saya masih punya teman yang –juga- rindu akan hadirnya saya. atau terbiasa kopdar jadi siapa aja diajak kopdar? Hehehe,…jangan marah ya neng! Lalu my dear Uwie, udah nelpon (walau sekali tidak bisa saya angkat karena saya sedang syuro –rapat), menanyakan,"Kamu dimana Rien?" saya yang kebingungan dengan tanpa dosa menjawab, “Di Sangatta!” dan kami pun tertawa lirih, karena kesalahan informasi, yang ia kira saya sudah dijakarta sejak tanggal 10 juni lalu. Hm…

Saya memang akan berangkat, itupun dalam rangka ‘kerja dinas singkat’ yang harus saya tunaikan. Tanpa pasangan romantis, seperti setahun yang lalu. Karena, kami punya masing-masing tugas pada masa liburan kali ini.

Hh...postingan kali ini, sekedar mencoba melepas beban di segala penjuru tulang belulang yang saya miliki. Biarlah ia menguap, membekas menjadi tanda, bahwa banyak cinta dalam mengukir peradaban.

Teman,
Maaf jika banyak hal dan tugas yang ku pacu untuk gerak kita
Maaf jika kuabaikan segala resah serta gelisahmu dalam ruang lain
Teman
Seperti halnya nafas yang ku persembahkan demi Maha Pemilik Cinta
Langkah kita pun sengaja ku arahkan pada tujuan yang sama
Yakinlah,
Banyak cinta dalam setiap tegur sapaku
Banyak cinta dalam setiap tatapanku
Banyak cinta di setiap lekuk ukiran yang kita pahat
Percayalah,
Aku pun masih berjalan di garis ‘belajar’
‘Belajar’ untuk membangkitkan cinta dalam pergerakan kita
Dan…
Maafkan diri yang fana ini
Jika kalimat cinta belum tersampaikan seluruhnya


teruntuk sahabat seperjuangan di FLP Sangatta, tersenyumlah walau onak duri masih ada di jalan yang kita lalui

Monday, June 02, 2008

Colour of My Sons


Tahun ajaran baru kali ini, selain kegembiraan untuk 2 buah hati saya, juga kesedihan (nggak penting) buat saya. Bisa berlibur, bertemu keluarga besar di luar kota Sengata, sekaligus meregangkan otot yang telah –hampir- kaku selama kurang lebih 6 bulan bergelut dengan kehiruk-pikukan kota sengata, pastinya ditunggu. Namun perasaan lain ada, ketika mengingat tahun ajaran baru besok adalah semakin sorenya si sulung, Jihad, bisa pulang kerumah. Sudah menjadi konsekuensi. Dari taman kanak-kanak, kami memilih menyekolahkannya di sekolah islam terpadu, yang jam belajarnya selesai pada pukul 14.00 atau jam 2 siang. Hingga kelas 2 ini, Jihad sangat menikmati untuk tetap berada di sekolah hingga jam 2. Bahkan beberapa hari ini, dia sangat susah untuk tidur siang. Staminanya seakan berada pada tingkat ‘habis di-charge’, semakin ada saja energinya untuk menolak istirahat siang. Walaupun, rutinitasnya setelah di rumah dia lakukan, namun yang satu ini, seperti ia kondisikan untuk kelas 3 nanti.

Maksudnya?

Ya, kelas 3 nanti, Jihad akan berada disekolah hingga jam 4 sore. Otomatis, kebersamaan kami harus lebih terletak pada kualitas. Ditambah kesibukkan sebagai aktivis pun telah menyita saya selama hampir setahun ini. Kadang di akhir pekan pun, saya habiskan sedikit waktu untuk berinteraksi dengan kegiatan yang seakan mudah menggunung. Serta merta, saya pun telah siap dengan jadwal untuk bulan berikutnya.

Membicarakan kesedihan (paragraf sebelumnya bukan kesedihan), saya sebenarnya telah berlaku egois pada bungsu saya, Kareem. Sejak akhir tahun lalu (awal tahun ini), Kareem sibuk merengek ingin sekolah. Segala pernik sudah sering ia kumpulkan. Tas pun siap dengan isinya setiap pagi, mengawali kesibukan saya selain mempersiapkan yang lain. Dimana egoisnya? Saya masih menahannya untuk bisa menemani saya selama dirumah. Segala cara saya kerahkan agar kareem melupakan keinginan sekolahnya untuk sementara waktu. Setiap ia mulai dengan rengekannya, saya mulai berdendang dan berlaku seolah-olah menjadi guru yang menyambanginya dirumah. Kareem kadang terkecoh, namun banyak tidaknya.

Ketika Jihad ingin sekolah, usianya 2,10thn. Saya dan suami, dengan suka cita menyekolahkannya di sebuah Play Group Islam pada tahun 2003. Kemajuannya memang pesat. Dari seorang guru yang berpredikat ’ummi, dia telah ’mengantongi’ beberapa hal sebelum mulai masuk sekolah. Jihad sudah mengenal huruf (latin maupun hijaiyah), mengenal bilangan angka, serta do’a-do’a pendek. Alhamdulillah. Lalu bagaimana dengan Kareem? Kemampuannya kurang lebih sama dengan Jihad, sedikit ’cepat’ dengan melihat contoh yang diberikan kakaknya. Usia hampir 3.5thn, dia dengan PD’nya mengetik namanya pada tuts komputer. Seorang yang mandiri, karena sejak usia 2 tahun dia telah memaksa saya melepas diapersnya, 2.5thn terbiasa buang air kecil pada tempatnya. Mandi dan berpakaian sendiri. Akan sangat tidak suka jika kita –yang sudah besar ini- mencoba membantunya.

Jika pada akhirnya egois saya tidak bisa dipertahankan, saya pun harus rela melepasnya untuk segera (pertengahan juli) memasuki masa sosialisasi, dunia disiplin, dan wawasan luas, di sebuah PG Islam. Dia pun sumringah. Ketika iseng saya dan dia ngobrol, tetap saja saya bisa melihat kemandiriannya;
”Ade nanti sekolah ya? Mau ditungguin sama Mi?”
”Anter aja. Ummi pulang aja lagi, nanti kalau sudah waktunya pulang baru jemput ade ya?”
Ups
,...belum dewasa saja, saya sudah memikirkan ”apakah kamu masih memerlukan ummi, Nak?” Konyol ya!

Saya sangat bisa merasakan, setiap anak mempunyai ciri dan ke’khas’an mereka masing-masing. Setiap anak mempunyai daya pikir dan nalar sendiri. Setiap anak berbeda. Namun kita yang dipanggil orang tua, kadang selalu terjebak pada status kita sebagai ‘orang tua’. Penempatan orang tua yang semestinya semakin bertambah umur akan berubah menjadi ‘teman’ bagi mereka. Kadang terjebak pada kasih sayang yang begitu meluap. Menjadi enggan membiarkan mereka bermain pada dunia yang akan mereka miliki, dan lupa melihat fungsi kita, menyelamatkan dunia mereka baik kini maupun nanti.

For sons of mine
I do love you
I do really want to share my colour with you
Much colour in yours
Colour of Love
Love from the Creator


Monday, May 12, 2008

Mereka pun Ingin Bersandar


Ketika menonton berita-berita di televisi, saya kerap merasakan haru biru didalam dada. Mereka, rakyat kecil, antri berjejer pada sebuah penjualan minyak, atau malah saling dorong pada satu kesempatan dimana mereka bisa mendapatkannya gratis. Tidak jarang, isak tangis anak balita yang ibu-ibu bawa menambah lengkap penderitaan mereka menghadapi zaman yang serba canggih dan modern namun tidak mampu memodernkan kehidupan mereka.

Ketika beberapa minggu terakhir ini, saya harus masuk ke dalam gang-gang becek, melihat deretan rumah padat nan rapat, haru biru itu bukan saya rasakan lagi, tapi, sesak dan merasa kecil serta lemah tanpa daya. Setiap ibu, bapak atau bahkan nenek-nenek yang kami ajak berdialog, selalu mempunyai topik sama. Kapan kita bisa merdeka sebenarnya?

“Begini nih mbak, setiap harinya kami cuma bisa ngeluh. Sepertinya juga yang denger capek. Air disini senen kemis, jalanan amburadul, semua jadi serba ngga enak.”
“Yah, mbak, namanya juga orang kecil, siapa yang mau denger kami. Makanya ketika ada yang datang door to door seperti ini, kami merasa terperhatikan, merasa kami masih dianggap.”
“Sama aja mbak! Mau diperintah oleh pemimpin mana pun, kita tetap aja seperti ini, melarat, nggak punya arti. Suara kita ya nggak pernah didengar, percuma!”
Mereka putus asa…

Kehidupan di Sengata, khususnya di daerah perumahan perusahaan tempat saya tinggal, jauh dari kemalangan-kemalangan yang demikian. Pernah, sekitar akhir 2006 hingga memasuki tahun 2007, kira-kira kurang lebih 6 bulan, pemadaman listrik terjadi terus menerus. Jatah listrik menyala full seharian dalam seminggu hanya kami dapatkan selama dua hari saja, selebihnya bergantian. Kadang listrik padam dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Esoknya, akan berubah, padam dari jam 5 sore hingga jam 10 malam. Melelahkan.

Dulunya memang, aliran listrik ditanggung perusahaan, tapi dengan berbagai kebijakan, diambil oleh perusahaan milik negara. Tentunya dengan asumsi, pelayanan haruslah menyamai seperti yang disediakan perusahaan. Bisa dibayangkan, dengan keadaan byar pet saat itu, banyak yang mengeluh, banyak yang mencaci maki dalam keadaan panas, apalagi setelah tahu, perusahaan sebenarnya telah menyumbang genset besar untuk mengatasi hal ini, apalagi yang salah? Hingga diputuskan, harus turun kejalan untuk demo. Waktu itu, demo belum berlangsung, pihak perusahaan listrik milik negara ini sudah kocar-kacir mencari cara agar demo tidak berlangsung, disusul dengan menjanjikan tidak adanya pemadaman lagi, ditambah perusahaan kembali menyediakan genset berkekuatan besar (lagi) untuk menopang ini semua. Semua pun dapat bernafas lega. Semua warga di perumahan merasa lepas dari penderitaan.

Ternyata, tidaklah berlaku bagi warga diluar komplek. Kalau hal listrik mereka sudah tidak mengeluh serta menyadari asupan dari perusahaan dapat membantu satu dari sekian kebutuhan mereka yang selama ini terabaikan, namun masalah yang dulu belum pun teratasi dan tetap melelahkan. Hal-hal vital malah semakin tidak menentu. Ditambah membengkaknya segala kebutuhan hidup, biaya sekolah semakin mencekik (terutama dalam pengadaan buku), belum lagi rencana kenaikan BBM yang pastinya akan berimbas pada kebutuhan pokok lainnya. Malah ada beberapa ibu dengan lugunya mengatakan, “saya bisa apa mbak? Walaupun katanya PDAM udah masuk, tetap saja kami tidak pernah merasakannya. Setiap bulan kami membayar kewajiban tanpa adanya pemenuhan hak atas kami. Setitik pun air PDAM itu tidak mengalir. Malah pernah saking lamanya menunggak, tagihan air mencapai 2juta, padahal saya tetap make air sumur.” Masya Allah.

Pedih! Namun, dibalik ini, ternyata ada yang lebih pedih. Banyak kalimat yang saya dapatkan dari orang-orang mampu berbagi, namun tetap mengabaikannya;
“Kita bisa apa? Semua yang ngatur kan pemerintah? Capek-capek saja berkeliling sampai masuk ke pelosok, toh mereka tidak hanya ingin didengarkan, tapi harus ada realisasinya dong. Lagi pula nih, saya ngga bakat deh ngomong kayaq ginian, masih banyak yang harus saya urus, anak-anak saya masih harus diurus, masak, mesti ngurus orang lain? Yang benar aja!”

Saya hanya bisa menyalurkan semangat. Meyakini, apa yang kami lakukan, pasti ada hasilnya. Aspirasi mereka tidak kami diamkan, namun akan berusaha kami suarakan, bagaimana pun usahanya. Rasa lelah, keringat, kaki mau copot menyusuri jalan menuju tempat mereka, rasanya tidaklah seberapa dibanding beban mereka selama ini. Didengarkan merupakan terapi buat mereka, bukankah dikala beban menghimpit, kita pun kerap ingin curhat? Rasa plong akan dirasa jika kita bisa menyisihkan waktu istirahat kita sekedar duduk diberanda sederhana milik mereka. Memandang dalam mata mereka dan memberikan senyum yang tulus, merupakan hadiah indah tak ternilai bagi mereka yang merasa kecil.

Yah, betapa kita masih lebih beruntung dari mereka. Masalah kita bukanlah apa-apa. Maka lebih beruntunglah yang bisa berbuat banyak, tidak sekedar menyisihkan sedikit rejeki, tapi juga rela mewakafkan sebagian waktu, tenaga, kenyamanan tidur pada waktu sore, berleha-leha diruang berAC, untuk mau berbagi sebagian waktu bersama mereka, mendengarkan serta mencoba memahami masalah mereka. Karena, mereka pun butuh tempat untuk bersandar.

Saya dan teman-teman sangat yakin, semua akan mendapat ganti dengan yang lebih dahsyat, dengan keindahan yang luar biasa, dengan kesempurnaan tiada kata, jika kita menghadapinya dengan kesabaran. Semoga kami tetap istiqomah.

Wednesday, April 30, 2008

Berjilbab karena Cinta


Saya lebih suka menyebutkan kerudung. Karena jika masih berada pada kata ‘jilbab’, sudah menyeluruh dari atas kepala hingga ujung kaki. Tapi, baiklah, karena (lagi) di Indonesia lebih dikenal dengan jilbab, mari kita membahasakannya demikian.

Sejak SMU, keinginan terbesar saya adalah memakai jilbab. Namun, semakin besar, semakin banyak pula alasan yang tercipta dari ketidak mampuan diri membendung nafsu lahiriah. Walaupun pribadi saya yang bukan pesolek, tidak suka shopping, tidak pernah rutin berganti model dan merk pakaian, toh, tetap saja seabreg pengalihan pendapat menggunung. Seperti, apakah saya harus mengenakan jilbab ketika lari ditengah pertandingan softball, dengan pakaian –yang tahu sendiri- kebangsaan olahraga itu mengharuskan press pada bagian pinggul ke bawah. Atau, haruskah saya jingkrak-jingkrak menggiring bola basket, lalu meliuk-liukkan badan menghindari lawan? Duh, nggak mutu banget kalau diingat stok alasan saya dulu.

Walau demikian, kobaran keinginan untuk segera mengenakan tidak padam. Penyalurannya, saya kerap ada pada berbagai hari besar islam dengan segala pernik muslimah. Buku-buku yang saya baca pun tidak pernah lepas dari hal-hal yang berkaitan islam. Saya pikir kala itu, cukuplah saya menjejali diri dengan menghadirkan ruh untuk segera menggapai hidayah itu.

Hingga pada saat saya bisa dengan leluasa berkeliaran di hutan kalimantan. Hidup dengan rute yang itu-itu saja. Hanya asrama, kantor, tempat makan, kantor lalu asrama lagi. Tidak ada stick, gluf, atau pun pertandingan-pertandingan yang selalu saya ikuti bersama tim. Tidak ada sibuk mempersiapkan dengan latihan setiap hari, tidak ada kesibukkan dimana harus memacu adrenalin untuk bisa tetap PD ditengah lapangan. Justru…adrenalin saya terpacu pada hal lain. Saya harus segera mewujudkan untuk segera berjilbab. Kapan lagi?!?

Lingkungan saya punya andil besar dalam mendukung saya untuk segera mengenakannya. Teman-teman se’gank’ pun telah duluan ambil start berjilbab dibanding saya. Walaupun kami sama-sama tidak lepas dari kegiatan IRMA (Ikatan Remaja Masjid), namun justru saya yang –ngakunya- anak ibu, masih saja takut akan ketidak-nyamanan akan pendapat orang tua kelak jika mereka melihat perubahan saya. Apa kata dunia?!? Wah…

Saya masih ingat, teman sekamar saya, waktu itu minta tolong untuk membelikan beberapa jilbab melalui ibu saya.
“Teh, tolong titip ibu ya buat beliin jilbab. Warnanya ini, ini dan itu.” Saya pun segera mengontak ibu agar membelikan pesanan teman saya itu. Kalimat ibu pun tidak saya duga,
“Kamu mau pake jilbab, Rien? Udah siap belum?? Kalau belum siap, ntar aja, takutnya udah pake, ehh dilepas.”
Saya tidak mengiyakan ataupun menyanggah. Cukuplah si pemilik hati tahu bagaimana hati saya saat itu.

Jadilah, dengan berbekal satu buah jilbab (nodong beli dari teman sekamar saya), bismillah saya kenakan. Lucu jika ingat kejadian itu. Pagi-pagi sekali, saya ngantor seperti biasa dengan memakai lengan panjang dan celana panjang, lengkap kaus kaki dan ransel. Sedari pagi hingga menjelang makan siang, saya gelisah dan bingung untuk menahan perasaan. Salah seorang teman, yang kerap menasihati, menegur seolah tahu kegundahan saya. Ketika saya jelaskan duduk persoalannya, dia mantap menyemangati, “Rien, doaku selalu mengiringimu!”. Selesai makan siang, saya kembali ke kantor dengan telah memakai jilbab, seraya diiringi tatapan heran dari teman-teman kantor saya.

Dalam metamorfosa berjilbab, mungkin saya tidak terlalu neko-neko (baca: saya memang kuno dalam mode). Jilbab saya dari dulu haruslah menutup dada. Kalaupun masih bercelana panjang ria ke kantor, lebih karena medan kantor saya yang berada di area pabrik mengharuskan demikian. Setelah kembali beraktifitas di asrama atau pun di mesjid, saya pun dengan bebas mamakai gamis/abaya, lengkap jilbab panjang. Dan alhamdulillah, itu berlangsung hingga sekarang. Pernah iseng saya kenakan dengan gaya ‘ngatung’, dan … ups! saya diprotes orang-orang disekitar saya, “Gaul amat Rien! Nggak syar’e banget ah!’. Saya tersipu. Ini namanya menghindari atau mengabaikan nurani sendiri, karena pada saat itu pun hati saya protes, rasanya saya terlalu ‘gaul’ dan nggak mencirikan bagaimana berjilbab sebenarnya. Namanya juga proses. Semua akan berjalan sunatullah. Tergantung kita sebagai manusia pandai-pandai untuk memilahnya.

Tidak jarang, ketika berkumpul bersama binaan saya, mereka bertanya, “Mbak, kalau pengen make jilbab lalu gimana kalau gini, kalau gitu?” Yah, manusia kan paling pandai memberikan alasan. Tidak terkecuali saya. Tapi justru karena alasan itulah kita semakin tidak berarti, semakin tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Kapanpun ingin dimulai, mulailah hanya ingin mengharap cinta-NYA, bukan karena trend, mode atau apapun itu. Saya yakin, ketika kita memulai segala sesuatu hanya berdasarkan karena Sang Pemilik Kehidupan, apapun yang dimiliki-NYA akan menghapus segala kendala pada diri kita. Toh, dengan berjilbab kita tetap bisa melakukan banyak hal, bahkan lebih banyak hal lagi, yang bermanfaat bagi orang lain.

Jika ditanya sekali lagi, kenapa saya berjilbab?

Saya hanya manusia biasa, seorang hamba yang ingin mentaati serta menjalankan segala perintah dari Sang Pemilik Kehidupan. Dan, karena cinta saya, saya ingin selalu melakukan apa yang diperintahkan-NYA. Karena, cinta saya, hanya DIA yang menggenggamnya.



ps: ukhti, syukron jazakillah dikasi tag, semoga manfaat. Uhibbuki fillah.

Thursday, April 17, 2008

Mereka pergi, saya pun rindu...


Umurnya lewat dari angka 60 tahun. Dengan wajah yang mempunyai garis keras, beliau disegani diantara saudara-saudaranya. Dan juga dengan senyumnya, saudara-saudaranya pun menyayanginya. Terlebih, pada anak-anaknya yang berjumlah 7 orang, lelaki yang dipanggil ‘Abah’ ini sangat disiplin. Segala tindak tanduk mereka tak lepas dari perhatiannya.

Hidup dengan seorang ibu, abah mulai belajar berdagang. Dari usaha kecil, hingga mampu mempunyai toko besar disalah satu pedalaman kalimantan, sebagian hasil dari tekunnya abah. Sosoknya kerap dianggap angker oleh sebagian masyarakat didaerahnya. Yah, mungkin tempaan beban hidup sejak kecil membuatnya kesulitan bersikap ramah, walaupun dari pribadinya, sifat itu memang ada. Kalimat yang keluar biasanya hanya sepotong atau dua potong kata kerap jadi alasan para pelanggan tokonya menyingkir, begitu melihat beliau di depan toko. Namun, justru, tokonya tidak pernah sepi pengunjung. Ada saja orang yang berbelanja, dari barang kecil hingga besar. Selain murah, istrinya adalah penyeimbang sosok Abah. Murah senyum dan selalu berbicara lembut serta ramah pada siapa saja.

Abah, sosok yang selalu di’tua’kan diantara saudara-saudaranya. Nasehat beliau selalu bisa menjadi rujukan bagi setiap masalah. Selain itu abah punya pengetahuan islam yang baik. Mengerti al qur’an, serta banyak ilmu fiqih menjadi tabungan ilmu yang suka abah hibahkan bagi siapa yang mau belajar.
Dibalik sosok abah, ada seorang ibu yang mengayomi beliau, sejak bapaknya abah memilih menikah lagi. Yah, abah anak tunggal, dan saudara-saudaranya adalah saudara satu bapak, saudara tiri. Menakjubkan, abah tumbuh dan besar satu kampung dengan bapak yang meninggalkan ibunya, tapi tidak ada secuil pun dendam dihati abah serta ibunya. Abah tetap menyambangi bapak dan keluarga barunya. Apalagi, bapaknya abah pun orang yang sarat ilmu agama. Saya yakin, abah menjadi pribadi berilmu, keras namun lembut hati merupakan warisan dari sifat bapak abah.

Ketika bapak abah meninggal, abah tak sedikit pun lengah dalam mengurusi jenasahnya. Dari memandikan hingga menguburkan, abahlah orang pertama yang sigap. Cinta abah tak pernah berkurang pada sosok yang telah memberinya cinta dan ilmu. Kejadian serupa pun terjadi ketika ibu abah serta ibu tiri abah meninggal, abah tetap berlaku sama. Abah pontang-panting mempersiapkan segala sesuatunya. Dari perjalanan dari samarinda ke tanah hulu, abah iringi hingga ke liang kubur. Tidak ada bedanya, apakah ibu kandung atau ibu tiri, abah tetap berbakti.

Dulu, ketika usaha abah habis dimakan kobaran api, abah sempat terpukul. Abah merasa, apa yang ia lakukan sia-sia. Abah merasa telah melakukan salah besar. Abah merasa tidak ada gunanya lagi. Memang, abah sempat down, namun semakin beliau menjauh, semakin mendekatlah istri serta anak-anaknya. Abah tidak dibiarkan terlalu lama bermuram durja. Mereka tetap merangkul abah, memberi semangat, bahwa abah masih punya mereka dan Allah lah pemilik semua kepunyaan abah.

Sejak itu abah jadi sosok yang lebih lunak. Senyumnya terus tersungging. Abah lebih tawadhu. Abah lebih pasti menatap hari. Pelan-pelan dibangunnya lagi kehidupannya. Pelan-pelan dibangunnya lagi rumahnya yang dulunya rata dengan tanah. Abah mulai menata hidupnya menjadi lebih baik. Orang-orang disekitarnya –yang dulu menganggap abah sinis- semakin percaya, abah memang berhati lembut, juga tidak pendendam.

Terakhir, 6 bulan yang lalu, saya melihat abah tersenyum demikian terkembang, menyaksikan pernikahan anaknya yang ke 5. Seperti biasa, abah pun tetap tidak mau tinggal diam. Selalu sigap dalam setiap kesempatan. Pada saat itu, beliau banyak tersenyum dan mengajak suami saya berbincang. Memang, sejak kami menikah, abah sangat gembira ketika bertemu kami. Selain tempat tinggal kami yang jauh, karena abah juga sangat menyayangi suami saya, dengan selalu mengajaknya berbincang. Walau saya tidak tahu pasti apa suami saya mengerti dengan bahasa kutai abah yang kental. Namun, pandangan abah yang saya lihat adalah pandangan sayang pada kami. Terlebih pada anak-anak saya, abah selalu mencoba merangkul dan menaruh mereka pada pangkuannya. Sambil mengajak berbicara, sesekali abah tertawa akan tingkah laku cucu-cucunya. Abah yang selalu tersenyum dan meminta anak sulung saya untuk mengaji di depannya, lalu dia akan mengucapkan, ‘Subhanallah! Cucu kai haji pinter!’.

Ketika bapak abah meninggal, saya sosok yang terpukul. Bapaknya abah, yang saya panggil dengan ‘kai bongkok’, selalu punya waktu untuk berdiskusi tentang islam dengan saya. Dan setiap kali kami berpisah, kai bongkok selalu menatap saya, dan berkata, ’Neng, jangan tinggalkan sholat!’. Hingga tak jarang cucu-cucunya yang lain mengatakan, ‘Riny itu kesayangan kai!’, karena memang beliau banyak mengajarkan banyak hal pada saya. Memberikan banyak pelajaran hidup, dan bisa memaklumi, dengan permintaan beliau untuk tidak memberi kabar pada saya ketika beliau sakit, dikabulkan oleh anak-anaknya, mengingat saya jauh di dalam hutan, juga tidak ingin saya melepasnya dengan kesedihan.

Kai bongkok meninggal setelah sholat jumat dilaksanakan. Rampung menyelesaikannya, beliau mengatakan akan pergi. Begitu pun dengan abah. Jumat pagi hari setelah datang dari bepergian, abah diminta membimbing seseorang dikampungnya yang sakratul maut (mentalqinkan), kemudian beliau menunaikan jumat siang itu, istirahat sejenak sebelum membersihkan kebun belakang. Menjelang senja abah naik ke rumah, berkata kelelahan, dan …

Sebelas tahun kai bongkok pergi, saya masih suka menangis pelan dalam diam. Sekarang, seminggu setelah abah pergi, mata saya kerap berkabut. Hati saya kehilangan. Kai bongkok adalah bapak abah, juga bapak papap saya, sedangkan abah tidak lain adalah uwa' saya.

Saya menangis dalam diam, bukan tidak menerima kenyataan. Saya hanya rindu pada sosok mereka yang banyak memberikan ilmu. Saya takjub, dengan cara Sang Pemilik memanggil mereka. Dalam keadaan telah menyelesaikan urusan umat, dalam keadaan tenang.

Saya menangis dalam diam, karena rindu dan ingin pertemuan indah seperti mereka, dapat menjelang di akhir perjalanan saya nantinya.

O My Lord, you have my soul in your hand.
Saya menangis dalam diam…

Monday, April 07, 2008

Ulang Tahun: Bertambah atau Berkurang?


Pernah dilempar telur, tepung terigu dan juga air? Malahan airnya bukan air biasa, melainkan air comberan atau selokan? Atau jika tidak pernah merasakannya, apakah kamu pernah melihat kejadian itu? Saya pernah melihatnya. Siang hari, di dekat pasar, ditengah orang banyak, seorang gadis mengenakan seragam biru putih tak berdaya ‘dianiaya’ oleh teman-temannya –yang juga mengenakan seragam yang sama. Tapi, sebentar…sepertinya gadis itu malah menyeringai atau lebih tepatnya tersenyum bangga. Beberapa orang temannya yang lain -yang kebetulan lewat, namun tidak ikut melemparinya, berhenti, tertawa, kemudian meneriakkan; ‘Ulang tahun ni yeee, selamat ya!” Oh ternyata, hari itu merupakan hari ulang tahunnya, dan acara membubuhi beberapa jenis bahan untuk membuat kue itu pun menjadi kesan yang mungkin tak terlupakan baginya kelak.

Ulang tahun bagi kebanyakan manusia adalah kesempatan untuk mendapatkan ucapan selamat, kado, tak urung juga simpati. Pada saat itu, perasaan senang akan bertambahnya umur biasanya akan di wujudkan dengan cara mentraktir teman terdekat (walau dengan cara sedikit memaksa orang tua untuk menyiapkan dananya), membuat syukuran kecil-kecilan, bahkan sampai menyelenggarakan pesta yang mewah. Potret sebagai manusia yang sukses pun menjadi tolok ukur besar atau tidaknya orang-orang yang diundang. Pada cara berpakaian mereka, hingga semakin kecilnya kado yang mereka persembahkan. Dilain pihak, kita pun tidak menutup mata, ketika masih ada segelintir orang menyambut ulang tahunnya dengan biasa saja. Melewati hari tanpa ada yang spesial. Mungkin pikir mereka, ‘dirayakan atau tidak, toh, tanggal kelahiranku ini akan berlalu.’

Seperti apa sebenarnya hakikat ulang tahun tersebut? Jelas, setiap tahun berganti, maka tanggal dimana kita dilahirkan akan kita lewati juga. Otomatis usia kita beranjak satu langkah dari sebelumnya. Banyak harapan ketika hal itu terjadi, banyak doa yang teruntai demi mengiringi hari-hari yang bukannya bertambah ringan bagi manusia. Seperti halnya seorang anak bayi, ketika umurnya semakin bertambah, semakin meningkat pula kepandaian dan pengetahuannya dalam bergerak serta berpikir. Dari hanya bergulingan, akhirnya merangkak, berjalan dan berlari. Demikianlah hakikat sebenarnya. Semakin bertambah dalam hitungan angka, semakin bertambah pula kepandaian kita dalam menyikapi kehidupan.

Pada kenyataannya, justru hal ini dianggap omong-omong saja. Hanya sebagai pengantar doa sebelum perayaan dimulai. Hanya kalimat-kalimat sakral, perlu di’amin’in lalu menguap bersama gelak tawa dalam pesta.

Mari kita lihat, setelah sehari, seminggu, sebulan, bahkan hampir setahun lagi melewati momen ulang tahun itu, apakah kita telah berbeda, menjadi lebih baik dari tahun kemaren? Apakah ada sesuatu yang berharga dan bermanfaat daripada melempar sebuah telur, sekantung terigu atau pesta? Sayangnya, perihal seperti inilah kerap kita lalaikan. Kerap kita anggap sepele. Sepertinya cocok saja kita selalu berada pada barisan paling depan sekelompok orang-orang yang merugi jika hanya ikut-ikutan merayakan, tanpa mau menilik lagi kebelakang, menjadikan bahan untuk selalu bisa mawas diri.

Ulang tahun akan selalu berulang, itu sudah pasti! Angka pada deretan usia akan selalu bertambah satu, itu pun sudah jelas pasti. Langkah selanjutnya justru kita harus bisa memastikan bahwa kita tidak akan mau kalah dengan prilaku balita yang akan bertambah ‘bisa’ seiring bertambahnya usia. Tak perlu ada pesta, atau perayaan yang menghabiskan dana besar jika hanya sekedar membingkainya dalam kenangan, bukan? Merenung, bahwa hidup kita semakin dikurangin jatah untuk bernafas, menelaah segala perbuatan, bertekad tidak mengulangi yang tidak senonoh, memperbaiki kualitas hidup, itulah sebagian yang harus kita jalani. Siapa yang mampu menduga, ulang tahunmu kali ini, merupakan ulang tahun yang terakhir kalinya?

Bukan hal aneh, jika usia itu tetap hanyalah angka, namun secara pasti belum bisa dijadikan sebuah acuan dewasa atau bermartabatkah kita. Masih banyak orang-orang yang berumur ‘banyak’, tapi bermental baik dengan ukuran ‘sedikit’. Menyedihkan bukan? Padahal ulang tahun selalu berulang, ia menyapa kita untuk bisa kita sikapi lebih seimbang. Ulang tahun selalu dinanti, tapi bukan sebagai kaca pembesar untuk melihat berapa banyak kesalahan maupun kebaikan yang telah kita lakukan. Ulang tahun sebenarnya penanda, pengingat, bahwa jalan yang kita tempuh semakin mendekati titk akhir.

Saya, kamu, kita, setiap makhluk yang bernyawa akan berulang kali melewati ulang tahun, setiap tahun hingga akhir hayat. Bertambah usia apakah berarti bertambah matang, bertambah kebaikan atau malah berkurang? Dan mampukah kita melewatinya dengan baik? Itu yang sepatutnya harus kita usahakan. Semoga.


Dimuat di bulletin FLP, edisi April 2008
Dipersembahkan untuk siapa saja, insan yang berulang tahun di bulan ini.
Selamat Milad utk FLP Sengata, juga met milad untuk beberapa pengurusnya.
Dengan cinta, mari bersama, bergegas mengukir peradaban

Thursday, March 27, 2008

Menulis di Bontang


Jalanan antara Sengata dan Bontang yang mengocok perut, bikin kepala puyeng, rasa mau muntah, harus saya kalahkan demi permintaan ketua FLP Wilayah Kalimantan Timur, Muthi Masfu'ah, untuk bisa hadir memberikan sedikit stimulasi dalam hal penulisan cerpen, hari sabtu, 22 Maret 2008. Pesertanya pun bukan anak ABG –yang biasa saya hadapi-, melainkan ibu-ibu dharma wanita PKT (Pupuk Kalimantan Timur), yang umurnya kebanyakan usianya seusia ibu saya.

Jadilah, usai menyelesaikan beberapa tugas di SMP 1 Sengata Utara, saya, Ika (she’s my special person in kaderisasi, heheh) bertolak ke Bontang, bersama temannya Mas Indro, yang juga -suami istri- tetangga kami yang baik hati. Loh, kok bukan pergi sama Mas Indro? Yah, karena kebetulan, kami telah sepakat berbagi tugas, beliau menemani anak-anak pergi bersama komite sekolah dalam rangka kunjungan ke BPPUTK, sedang saya memenuhi amanah ini.


So, hujan rintik terus menderas mengawali perjalanan kami. Melirik jam, hm...jam 11.00 siang, kira-kira sejam setengah lagi kami akan tiba di Bontang.

Pukul 13.00, Setelah dhuhur di mesjid Baiturrahman milik PKT yang megah, kami menuju TKP (Tempat Kejadian Pelatihan), disambut beberapa pengurus FLP Bontang minus mbak Muthi (dia datang beberapa saat menjelang training dari kami dimulai), dengan hidangan makan siang bersama. Selanjutnya saya langsung men’setup’ laptop untuk bisa dihubungkan dengan LCD Proyektor. Sedikit masalah bisa teratasi, saya dan ika pun mulai brain storming tentang konsep, sebelum memulai pelatihannya sendiri.

Maka dimulailah pelatihan itu dengan semangat dari ibu-ibu yang mengikuti ‘pemanasan’ dari tim FLP Bontang dengan sedikit yel-yel, yang mampu membuat mereka tergelak. Tiba prolog yang saya pandu (ini sekitar jam 13.45 WITA), ibu-ibu makin semangat, bisa terlihat dari wajah mereka, walau dari pagi sudah ada ditempat untuk mengikuti training motivasi dan pelatihan singkat bagaimana menulis artikel/feature, mereka tetap memberikan respon positif. Beberapa pancingan berupa game singkat sebelum memulai menulis cerpen, bisa sedikit menguak kesulitan mereka untuk bisa memulai cerita. Kesulitan itulah yang kemudian dipandu Ika pada sesi kedua.

Ada hal unik dan mengharukan ketika kami memandu untuk menulis ‘kesan pada sesuatu’ dan pengalaman yang menyedihkan. Ada satu orang ibu, belum memulai menulis tentang sedihnya sesuatu yang pernah dialaminya, beliau sudah sesegukan. Ketika ditanya, tambah sesegukan. Begitu sedihnya ia, sampai-sampai kami terus menyemangatinya, memintanya tetap menulis, agar kesedihannya tertuangkan melalui cerita. "Menulis yuk, bu!" Ia pun kemudian menulis walau tetap ber ’sut-sut’ dengan hidungnya yang mulai mampet. Kemudian, masih ada babak sedih selanjutnya, yaitu…ia tetap menangis, ketika kami memintanya membacakan cerita sedihnya itu.

Berhenti sampai disitu?

Ternyata tambah unik dan mengharu biru. Ketika mbak Muthi meminta para peserta membacakan artikel/feature yang telah terkumpul sejak pagi, seorang ibu bersedia membacakan. Baru mulai dengan kalimat pertama, suaranya sudah tersendat, kemudian semakin pilu. Dia menceritakan sebuah puisi yang ditulis oleh anaknya. Saya lupa isinya, kurang lebih, si anak ingin ibunya selalu bisa mendampinginya, dan memohon pada Allah untuk tidak cepat-cepat mengambil ibunya, karena ia sangat sayang padanya. Suasana begitu hening, diantara seguk sedan dari para peserta, juga panitia. Saya berusaha menahan tangis, sambil tetap mengulum senyum dibalik buku tebal non fiksi yang dibawa dari Sengata.

Rata-rata mereka merasa dengan menulis, segala perasaan bisa tertumpah ruah. Tidak perlu dipendam ataupun menjadi bahan gosipan di antara mereka. Justru, dengan menjadikan segala hal yang kita pikirkan menjadi sebuah tulisan, tanpa sengaja kita telah menemukan obat bagi kebaikan kita sendiri. Dimana, duka nestapa, gembira ria, bisa disalurkan pada hal yang positif, membiarkan orang lain bisa memetik hikmah dibalik cerita, bukankah itu sudah perbuatan baik?

Tidak ada kesulitan sebenarnya ketika kita ingin memulainya. Cukup, dengan banyak menyikapi sekeliling kita dengan lebih arif, rasanya ide untuk menulis bisa mengalir tanpa tersendat. Pun tidak perlu mengerutkan kening berusaha mencari ‘kalimat mana harus diletakkan pada awal paragrap?’, just do it! Just being your self.

Waktu menunjukkan pukul 16.30 sore, saat akan berpamitan, saya pun ditanya seorang ibu. Beliau merupakan perintis FLP Bontang, yang memprakarsai pelatihan ini juga. Dengan senyum terkembang, sambil menggenggam tangan saya, ia berkata;
“Mbak nginep dimana?”
“O, enggak bu, saya langsung kembali ke Sengata. Masih banyak tugas buat besok.”
“Walahhh… ta pikir mau nginep, kan cape?! Saya salut loh! Dari Sengata, langsung bisa cuap-cuap ngasi training depan orang banyak. Kalau saya? wahaha…udah mabok nggak karu-karuan, wong jalanannya nggak ngenakin perut kan?”


Saya (masih) tersenyum. Senyum getir mengingat perjalanan kembali ke Sengata adalah sebuah perjuangan untuk tidak muntah. Andai dia tahu (berdendang dalam hati, pakai iramanya 'Andai dia Tahu'nya Kahitna)...*smile*

See you, we'll be back, another time!


Tuesday, March 18, 2008

Behind The Story


Ada sedikit cerita pada saat merampungkan tulisan saya yang dimuat pada kumpulan kisah nyata ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’. Satu bulan, ide saya yang telah cair dan selesai menjadi satu jalinan cerita, ternyata harus dibantai lagi. Alasanya, karena naskah itu masih kental dengan nuansa non fiksi, maka jadilah pihak penerbit meminta saya guna memoles sedikit, agar menjadi kisah sejati. Waktu itu saya sempat bingung, bukan mengenai cara dan bagaimana memadu cerita yang sudah rapi, tapi lebih tentang menata hati milik saya. Karena pada saat itu, isi otak seperti membludak usai Muscab FLP Sengata, yang mendaulat saya untuk mengemban tugas pada tampuk pimpinan. (stop! jadi curhat deh)

Singkat cerita, kisah yang telah ditulis untuk penerbit, saya tarik lagi, dan saya diberi kelonggaran waktu selama seminggu untuk memperbaiki, kemudian mengirim ulang. Argghhhh…memolesnya dalam satu minggu, mungkin bisa. Tapi paniknya, ide saya yang lain malah bergelayut lagi, berpikir merombak semua kisah, dan mengganti subjek berikut isi naskahnya.

Lalu siapa? Cerita yang mana?

Menjadikan saya terkesan ‘menderita’ dan berusaha tidak cengeng akhir muscab, nggak asyik banget! Menelisik bahan hasil ‘keberanian’ teman-teman curhat pada saya, yang mana? Nah lho! Memang segitu banyaknya ya? Sampai-sampai bingung cerita mana yang akan diambil? Hm, bukan! Saya hanya tidak ingin sembarang menaruh curhat mereka, tapi lebih fokus pada tujuan untuk mengurai kisah, agar kita jangan selalu merasa menjadi makhluk paling menderita sedunia. Caranya, dengan membaca paparan dongeng ketegaran perempuan lain selain kita. Memang, ada beberapa yang mau dengan suka rela menyemangati saya untuk menjadikan kisah mereka dibingkai dalam satu cerita, tapi ada saja kendalanya. Salah satunya, saya menemukan kesulitan untuk menghubungi ‘pemeran’ kisahnya. Alhasil, saya pun kembali berusaha mencoba mengutak-atik cerita sebelumnya, dengan harapan, hasil polesannya akan indah.

Lagi-lagi, saya tetaplah saya, ngotot untuk menggolkan ide, walau jelas waktu mepet banget. Saya yakin, kalau niat yang tulus, pastilah tidak sulit untuk mencari nara sumber yang pas, untuk menggali hikmah dibalik ceritanya.

Lalu, datanglah ‘dia’. Seorang wanita muda, kerap tanpa sungkan mau
menegur dan mengajak saya berbicara. Ia bercerita banyak hal tentang dunianya dan dunia orang-orang disekitarnya. Sampai kemudian dengan rela, ia memberikan saya inspirasi menulis salah satu dari sekian ceritanya. Dia bahkan sangat membantu, mudah untuk dihubungi, baik melalui sms, atau hanya dengan email saja. Dari sisi penulisan pun, saya sempat terbawa dalam alur ceritanya. Emosi dan penjiwaan saya tuangkan dalam bait-bait cerita miliknya. Dan jadilah, polesan yang memang diinginkan penerbit, kisah nyata yang diceritakan dengan tipe kisah sejati, dengan judul, 'Walau Kemilaunya Semakin Pudar'.

Terus terang, pada awalnya saya pun tidak menyangka ide saya untuk punya kisah lain jatuh padanya. Sosoknya yang baru mengenal saya, justru punya daya tarik tersendiri. Dari seorang yang periang, ternyata menyimpan duka yang dalam. Niat saya untuk tidak hanya sebagai sparing curhatnya pun jelas saya lakoni. Banyak usul dan masukan yang akhirnya bisa membawa sedikit manis pada kehidupannya sekarang. Hingga setahu saya dia sekarang bisa menghilangkan luka boroknya sedikit demi sedikit.

Lepas itu semua, apa saya tidak masuk dalam kategori tema ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’ hingga harus menaruh ceritanya untuk dijadikan bahan rujukan bagi wanita lain?

Saya merasa -memang- belum pantas untuk dijadikan cerita di buku itu. Saya masih tergolong wanita biasa dengan kehidupan biasa. Bahkan bisa dibilang, kehidupan saya terlalu mudah dibanding wanita itu. Saya menjalani hari-hari biasa dengan rutinitas biasa. Jika sibuk -menjelajah sampai ke pelosok-, itu karena saya sudah memproklamirkan diri untuk menyibukkan diri semasa masih diberi waktu untuk itu. Jika sedih, itu karena memang gen saya adalah tanda lingkaran dengan tanda plus.
Yah, that’s me, just an ordinary woman with simple life.

Banyak hal yang bisa didapat dari kumpulan kisah nyata pada buku itu. Kita –khususnya saya- tidak perlu mendongak ke atas untuk melihat kemilau permata yang tidak dimiliki, yang bisa saja menitikkan noktah bernama iri bersemayam. Pun tidak perlu menunduk lesu, memberi kesan selalu minder dan terasingkan. Sebaliknya, kita semestinya harus lebih sering memasang senyum bahagia, bisa memberikan arti walau kecil pada sedikit cerita yang menghampiri. Lebih harus mampu berbagi, walau terkadang ada rasa tidak adil melihat mereka yang tertimpa perih.

Jangan jadi perempuan cengeng, walau kemilaunya semakin pudar.


Karena kebahagiaan memang harus kita ciptakan. Jika kita membiarkan hidup kita senantiasa diwarnai tragedi, maka selamanya air mata akan membasahi pipi.
Dan kita kehilangan sebuah kesempatan besar.
Mengecap warna-warni indahnya dunia ini...
(Jangan Jadi Perempuan Cengeng, 2008)

Wednesday, February 27, 2008

Ketakutan akan Tua


Saya tidak mau tua!

Benarkah? Kesannya egois sekali. Padahal tua akan dilewati dengan pasti oleh setiap makhluk bernyawa. Lalu kenapa tidak mau tua? Jelas-jelas ketuaan adalah hal yang pastinya tidak akan kita dapat tolak.

Iya, banyak yang mengatakan, mereka (kaum perempuan) takut akan ketuaan mendera nantinya. Ketuaan seperti momok mengerikan, hingga diciptakanlah berbagai macam produk, guna menyamarkan kerutan-kerutan wajah. Dari produk pemutih hingga penghilang flek. Dari produk menghaluskan kulit hingga mengencangkannya. Dari harga sekian hingga harga dua kian. Urusan wanita ya?

Saya tidak mau tua!

Mungkin perkataan seperti ini kemudian memacu beberapa pemikiran orang-orang dibalik penciptaan inovasi berbagai macam produk kecantikan. Dengan embel-embel wanita adalah keindahan tiada tara, maka patut diberi pelindung agar keindahan itu tetap terjaga dengan sempurna. Dengan embel-embel seperti itu maka lahirlah kata-kata ‘seni’ jika saja wanita mau saja dieksploitasi dengan hanya selembar benang pada dirinya. Seni darimana? Naudzubillah.

Saya tidak mau tua!

Tapi apakah bisa tidak tua, jika enggan dan tidak terbiasa menyentuh produk-produk yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Apakah bisa tidak keriput, kalau bedak pun masih bedak baby? Apakah bisa tetap mempesona, jika lipstick hanya sebagai pajangan –yang entah kemana sekarang- saja? Ummm…mari saya berpikir sebentar. Oya ya…pernah tahu cerita saya kan? Yang akhirnya untuk pertama kalinya membawa saya pada Top Post Indonesian Spiritual Blog? *jadi malu-malu meong*…

Tuh kan saya nggak pernah berubah. Kalau pada akhirnya ada postingan ini, itu karena saya mengalami lagi kejadian memalukan, ketika sedang berbicara dihadapan siswi-siswi SMP. Waktu itu tanpa dinyana-nyana mereka menanyakan umur saya, ketika menemukan kalimat spontan saya,
“Saya ini udah pernah menjalani usia seperti kalian, udah belasan tahun yang lalu”
lalu salah seorang dari mereka nyeletuk, “Mbak ini umurnya berapa sih? Kok pake kalimat belasan tahun ninggalin umur SMP?”
Saya sebutkan sejumlah angka, yang spontan membelalakan mata mereka. Ngga percaya? Kasian banget saya ya? Udah jujur, malah disangka bohong.

Lalu saya takut tua?

Sebenarnya bukan takut akan keriputnya, atau ciut nyali pada kendornya kulit-kulit yang dulu muda nan kencang, apalagi gentar dengan flek-flek hitam, menggurat keras pada wajah saya nantinya. Percaya deh, dari kecil saya sudah ditempa untuk tegar menghadapi segala sesuatunya. Terbiasa biasa saja menghadapi persoalan hidup, walau kadang melilit perih.

Tapi saya memang takut tua. Dalam arti, saya takut ketika tua dan umur semakin banyak dalam angka, berkurang dalam hal waktu, tapi masih dalam keadaan tidak sadar. Tidak sadar akan umur, tidak sadar akan banyaknya nikmat yang sudah DIA berikan, tidak sadar, tidak sadar …dan tidak sadar untuk selalu berusaha memperbaiki diri. Tidak sadar dengan terus saja melakukan hal yang merugikan, melakukan hal yang membuat orang lain kecewa.

Ya, saya tidak mau tua jika nanti hanya membuat saya tidak sadar…

Bagaimana dengan anda? Takut tua dengan versi apa?


Tuesday, February 12, 2008

Keindahan dalam Bergerak


Dulu, beberapa tahun yang lalu, saya sempat selalu mengurut dada, akibat pertanyaan saya pada seorang teman, selalu dijawab dengan hal yang tidak terpikirkan oleh saya.

“gimana, hari ini jadi ketemu kan?”
“Bentar ukhti, saya liat jadwal saya dulu?”
“Jadwal apa’an sih?” saya bertanya penuh bingung
“iya ukhti, saya liat dulu, takut ada jadwal yang harus saya selesaikan lebih dahuluu”


Wahkeren banget! Saya cuma pengen ketemu dan ngobrol, dan dia harus melihat jadwal acaranya, apakah bentrok atau tidak dengan kegiatannya hari itu. Padahal teman saya itu seorang perempuan yang tidak terikat dengan peraturan baku, seperti harus pergi ke kantor pagi dan selalu pulang sore hari. Namun dia memang seorang aktivis, seorang guru pada salah satu lembaga pendidikan balita.

Sungguh, pada saat itu saya sempat mengalami perasaan heran luar biasa. Sesibuk apa sih dia, sampai harus mempunyai jadwal, bahkan untuk beberapa bulan kedepan pun, telah ada tanggal-tanggal dimana dipastikan dia akan tidak bisa ditemui. Hm, seperti artis saja! Ya, selama ini, dalam pandangan –bak katak dalam tempurung- saya, hanya artis/orang terkenal yang akan mempunyai jadwal kegiatan untuk beberapa bulan kedepan. Ternyata, teman saya sendiri terkait hal ini. Jadi dapat dibayangkan, dia akan ada untuk rapat ini, rapat itu, training ini juga training itu. Piuhh!!!

Sebenarnya kesibukkan dia seperti itu pernah menghantui saya. Apa ya jadinya, ketika saya harus wara-wiri memenuhi beberapa jadwal dalam sehari, namun keadaan saya ternyata tidak memungkinkan? Pikiran ini terbentuk, mungkin karena saya tidak sadar, bahwa segala hal pastilah mempunyai konsekuensinya masing-masing. Jika dulu saya harus bekerja di balik meja, terikat waktu, merasa terbelenggu, itu sebagian besar disebabkan rasa ketidak-nyamanan akan keterbatasan dalam mengapresiasikan diri. Hingga dengan mudahnya saya memilih untuk melepaskan pekerjaan, untuk memulai langkah awal baru yang lebih, dinamis, nyaman, serta memenuhi kisi jiwa yang sempat kosong. Lalu bagaimana dengan teman saya itu? Apakah dia tidak merasa terbelenggu?

Iseng, saya pernah menanyakannya langsung, dan dia hanya menjawab santun disertai senyum,
“Ukhti, duniamu sebenarnya ada pada duniaku yang sekarang aku jalani, cuma dirimu belum sadar saja. Coba deh perhatikan sendiri, saya tidak merasa jenuh, bahkan hidup saya terasa berjalan begitu lincah, sampai-sampai otak saya dipenuhi oleh segala bentuk ide. Menyenangkan!”

Oya? Tapi apakah harus sesibuk itu?
“Ukhti, sibuk ini hanya kelihatan dari kulit luarnya saja. Perasaanmu akan tenang, karena sibukmu untuk kebaikan, jadi untuk apa kita santai namun dalam keburukan?”

Seorang teman lain juga pernah mengatakan,
“Coba lihat aliran air. Kodratnya adalah harus terus bergerak, mengalir jauh, hingga memenuhi anak sungai, bahkan sampai mendesak ke permukaan laut. Begitu pun udara, akan terus berayun membuat sirkulasi baik, memberikan kenyamanan serta kehidupan. Seandainya, air tidak bergerak, tidak mengalir, yang ada adalah bintik-bintik bibit nyamuk, yang kemudian membawa dampak buruk bagi manusia, begitu pula udara, akan terasa pengap dan menyesakkan ketika kodratnya untuk bergerak tidak dapat ia lakukan. Sama halnya dengan manusia, fitrahnya adalah terus bergerak, selama ia masih diberi kesempatan untuk melakukannya.”

@@@

Akhir-akhir ini, ada sebuah pesan singkat yang masuk pada ponsel saya, isinya:
Mb Rien, ada drmh kpn?tlg mb sms ja k HP q,kpn,jm brp,mb bs q ajak ngbrol. Mumet niy! Lg pngn dskusi,tp mb ssah bgt bwt ktemu

Saya tersenyum dan membalas pesan itu:
Sy ada drmh hr…jam…,atau sms aja sy,kpn kmu mo ktmu,sy ushakn u luangkn wkt,smile

Ah, ini namanya senjata makan tuan, atau memang kehidupan itu ibarat roda yang terus bergulir, jadi bisa diatas atau kadang ada dibawah. Namun kenyataanya, memang sesuatu yang bisa bergerak sesuai fungsinya, akhirnya mampu memandang hidup ini selaras dengan warna keindahannya.


Wednesday, January 23, 2008

Good Bye, My Sister...

Kemaren, saya masih melihat senyumnya mengembang, sambil menggenggam tangan saya dan menempelkan ke pipinya, “Assalamu’alaikum mbak!”. Seorang gadis belasan tahun, tingginya sebahu saya, kulitnya hitam, dan wajahnya manis. Matanya bulat, santun dengan kerudung putih yang selalu ia kenakan setiap kali saya mengunjungi sekolahnya untuk membimbing ia dan teman-temannya.

Nama gadis itu mengingatkan saya pada nama seorang artis, yang beken pada saat ia dilahirkan, Sinta Bella. Lalu, ketika saya tanya dan ia sebutkan namanya, saya tersenyum dan dibalas senyum malu menyembul dari sudut bibirnya. Senyum malu seorang gadis yang berbeda 18 tahun dari umur saya.

Ia tekun. Setiap kalimat yang keluar dari bibir saya, ia telaah dengan baik. Setiap saya tatap matanya ia serius menatap balik dalam mata saya. Hingga sesi diskusi bisa sukses saya pancing pertanyaan-pertanyaan, yang pada awalnya enggan ia bagi.

Sejak minggu ketiga desember lalu, saya tidak bertemu dia lagi. Karena memang kami merencanakan untuk off dulu sebelum ujian. Hingga pagi hari pada awal januari, sebuah kabar datang, ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Kala itu, saya pun sedang terserang demam, tidak enak badan, apalagi cuaca memang tidak bersahabat. Dengan perasaan bersalah, saya hanya bisa meneleponnya. Menanyakan kabarnya, lalu menitip doa dan kangen saya buat dia dan teman-temannya. “Terima kasih, mbak. Udah mau nelpon saya.”

Berlalu, sampai pertengahan januari, saya hanya mendapat kabar dari smsnya, bahwa dia tidak bisa mengikuti kegiatan kami seperti biasanya, karena kondisinya yang masih sangat lemah. Saya balas, “Iya de, Mbak ngerti. Cepet pulih ya! Setelah kelar rihlah, mbak dan teman-teman akan jenguk ya. Salam sayang dari mbak”

Yah…saya memang telah menjenguknya. Selesai tiga pekan berturut-turut saya harus berada dilapangan untuk menyegarkan keadaan binaan, saya memang bisa juga menembus rumahnya yang jauh dipelosok. Saya bersama-sama temannya, berkumpul dalam salah satu ruang sempit pada bagian rumah sederhana milik orang tuanya.

Saya memang menjenguknya. Namun, ia tidak bisa menghampiri saya sambil menggenggam tangan saya lalu menempelkan pada salah satu pipinya. Saya hanya bisa melihat senyumnya dalam kaku. Matanya yang basah oleh air mata perpisahan. Tubuhnya yang bersih mulai ditutup kain kafan. Ia membeku. Dan saya memang telah menjenguknya.

Saya teringat kamu. Karena dia pergi juga karena merasakan sesak yang teramat sakit. Dia tidak bisa bernafas. Keadaan ekonomi keluarga yang seadanya menyebabkan terlambatnya pertolongan yang diberikan. Karena, ternyata dia telah merasakan sakit ini sejak lama. Namun tetap hanya bisa dirasakan dan dipendam, mengingat ayahnya hanya bekerja di kebun dan ibu hanya ibu rumah tangga. Subhanallah.

Kalau sekarang hati saya memang tertaut pada sosok mungil ini, walau hanya 7 pertemuan kami melewatkan dengan berdiskusi, tapi ikatan hati saya padanya susah untuk digambarkan. Dalam limbung saya coba menyeka airmata dan melihatnya sekilas. Saya tidak kuasa. Saya tidak mau mengiringinya dengan sesegukan yang pastinya akan sakit.

Selamat jalan, De’. Walau 7 pertemuan kita lalui, tapi banyak hal yang telah kita bagi. Senyum kecil dan kerlinganmu tetap ada dihati. Cukuplah, hati dan jiwamu melayang bersama indahnya kebersamaan kita. Cukuplah, saya menyertaimu walau sesaat. Titip rindu untukmu, serta sahabat yang masih menanti.

“Alangkah sunyinya syurga, jika kita hanya meminta keselamatan bagi kita sendiri. Alangkah sepinya sungai yang mengalir didalamnya, jika kita tidak berusaha mengajak mereka bermain dipinggiran kecilnya. Maka, ajaklah saudaramu yang lain, kelak kalian akan bercengkrama, bercanda dan berkasih-sayang didalamnya, selayaknya ketika kalian saling berkasih-sayang ketika masih berada didunia pinjaman ini.”

mengenang almarhumah, gadis mungil yang telah pergi. Rindu akan sosoknya yang menanti dengan senyum di sudut bibirnya.