Tuesday, April 19, 2011

Mahar

Salah satu bahan pembicaraan yang kerap menjadi kelakar, ketika masih melajang, adalah soal mahar. Ada-ada saja yang menarik dari satu kata itu; MAHAR. Seorang perempuan berangan-angan akan meminta mahar sebuah uang yang hitungannya sesuai dengan tanggal pernikahan atau pertama kali keduanya bertemu dan dibingkai dengan pigura paling bagus. Atau ada yang bermimpi ingin membeli sesuatu yang kelak menyenangkannya dan tak akan pernah ia lupa seumur hidup, bahkan jika hancur sekalipun. Namun ketika masing-masing kami kembali memikirkan apakah harus seperti itu, yang muncul gelak tawa dan kembali berucap; Mahar itu harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami yang telah bersedia melamarmu. Sungguh tak tahu diuntung jika jelas-jelas calonmu itu tak bisa membawa sebuah gunung, lalu kau memintanya dipanggul kehadapanmu, bagaimana pun caranya, bukankah itu mendholiminya?

Itu jauh, bertahun-tahun lalu. Pembicaraan itu telah usai. Para perempuan yang dulu menghabiskan sore dengan menggoreng pisang, bala-bala, singkong ataupun duduk berjajar di lapangan volley di samping asrama tempat mereka menetap, jauh dari kebisingan kota serta dikelilingi hutan belantara, semuanya kini telah menikah dan mendapatkan maharnya masing-masing. Uniknya, mahar yang mereka terima tak satupun memberatkan dari para suami yang telah mendampingi mereka bertahun-tahun (bahkan sudah ada yang sampai belasan tahun). Dengan senang hati pula, ada suami yang membocorkan dengan mengatakan begitu bahagia mendapatkan istri yang dulu tak pernah rewel terkait masalah mahar, walaupun sungguh mahar merupakan hak calon gadis yang dipinang untuk bisa mendapatkannya.

Dari berbagai adat di Indonesia, mahar memang memiliki masing-masing takarannya. Di Flores misalnya, dari sebuah artikel yang pernah saya baca, dikatakan mahar mereka berupa gading gajah yang sebuahnya bisa berkisar 10-15 juta bahkan ratusan juta. Toko-toko tempatnya menjual pun semakin langka, jadi bisa berpengaruh sekali pada harga yang semakin membumbung tinggi. Mengenai ketidaksanggupan calon pengantin pria pun tetap diberi dengan mencicil, walau caranya masih beragam. Ada yang harus bekerja di keluarga pihak wanita sampai lunas, ataupun beban itu akan diberikan dan dipikul pada cucu mereka nantinya. Ah keringanan ini bisa dikategorikan dalam jenis apa? Saya tidak berani meraba.

Lain Flores lain adat Banjar. Pengalaman saya melihat bagaimana prosesi adat yang mengharuskan uang yang diberikan dihambur dalam sebuah tempat, dilihat banyak orang yang hadir, lalu dihitung ramai-ramai. Tak jarang, jika kekurangan yang diinginkan belum terpenuhi, sedangkan waktu dan hari acara hantar jujuran tak bisa diundur, keluarga mempelai pria meminjam untuk beberapa ‘jam’ saja atau setelah selesai acara menaruh ditempat terbuka dan diperlihatkan banyak orang, maka uang akan langsung dikembalikan pada pihak terpinjam. Yang penting sudah dilihat oleh para tamu undangan yang hadir di acara jujuran. Dan semakin banyak jumlahnya, semakin terlihatlah kemapanan calon pria yang akan meminang, lalu –sepertinya- semakin tampak jelas nasib yang akan mereka jalani kedepannya. Walaupun semuanya tak bisa luput dari yang namanya takdir. Bukankah kebahagiaan tak bisa selamanya ditakar dengan materi?

Lalu siang itu, ketika menyempatkan berbincang hal-hal ringan pada seorang perempuan yang telah saya anggap seperti adik, saya dibuat terpana oleh cerita unik lain mengenai mahar. Calon mempelai wanita ingin barang yang ia inginkan dari calon mempelai pria adalah sesuatu yang berwarna tertentu, model tertentu, jenisnya tertentu dan mesti didapatkan, karena jika tidak ia tak segan mengembalikannya, meminta untuk mencari yang benar-benar seperti permintaan, dengan alasan; mahar itu adalah barang yang diberikan pada calon istri, dan akan dipakainya. Maka jika tak sesuai dengan keinginannya, lalu kelak istri tak mau memakainya, bagaimana? Bukankah pemborosan? Tapi mengembalikan karena tak sesuai?

Ideal atau tidak, setiap gadis yang telah dilamar memang berhak meminta mahar. Ini sudah disyariatkan dalam islam. Banyak kisah di zaman lampau tentang mahar. Seorang Ummu Sulaim meminta mahar keislaman dari pinangan Abu Thalhah. Atau Fatimah, putri Rasulullah SAW menerima mahar dari Ali bin Thalib berupa baju besi, karena ia begitu ikhlas dan tahu kemampuan Ali bin Thalib dalam hal materi. Atau seorang pemuda lain yang memberikan mahar pada seorang perempuan berupa beberapa hafalan surah Al Qur’an yang ia miliki, maka pada saat itu Rasulullah menikahkan keduanya. Bukankah memberi mahar mesti disejajarkan dengan kemampuan si pemberi? Apalah arti sebuah mahar jika untuk mendapatkannya, pihak pria harus berhutang kesana kemari, menadahkan tangan dibawah meja-meja ketika sedang rapat, melihat wajah kepiluan teman-temannya yang menjadi tanda tanya baginya, atau melakukan puasa setiap hari, atau hatinya menjadi sedikit merinding akan kepribadian calonnya, jika saja mahar yang diminta menjadi ukuran harga dari seorang manusia, yang memang tak ada bernilai lebih daripada keimanannya. Dan mahar tidak bisa disandingkan dengan kredibilitas perempuan yang akan dilamar. Mahar pun tak mesti ‘seadanya’ kecuali keikhlasan dan ketenangan si pemberi.

Mengingat para perempuan yang kerap menghabiskan sore dengan berbincang dengan sepiring pisang goreng, atau singkong, atau bala-bala, atau duduk bersejajar di bangku panjang pada sebuah lapangan volley, kembali mengingat kesederhanaan cara berpikir mereka walaupun itu untuk masalah paling crusial sekalipun. Kembali mengingat, mereka perempuan yang datang dari keluarga cukup berada, yang banyak menghabiskan waktu di kota besar sekelas metropolitan, meskipun harus menyelesaikan sebagian umur mereka untuk bekerja di tempat terpencil jauh dari jangkauan yang bernama ‘kecanggihan’, tetaplah mereka memiliki hati yang tak mampu memandang sesuatu dari kulit luarnya saja. Terlebih itu menyangkut mahar. “Pernikahan itu mesti diawali dengan mahar. Mahar yang tidak memberatkan, yang tidak neko-neko, kami percayai sebagai awal kehidupan pernikahan yang kelak tak akan berat apalagi neko-neko. Walaupun kita tetaplah manusia biasa yang akan menjalani segala takdir. Dan bukankah Rasulullah mengatakan; Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Duh Gusti, kalian mau kan menjadi wanita-wanita penuh barokah dan mendapat anugerah Allah?”

Jujur, saya rindu dan bahagia pernah berada diantara mereka dan diantara perbincangan sore, tentang mahar, belasan tahun silam.

Sunday, January 02, 2011

Mencari Awanmu...




Kembali membuka-buka album lama. Album kenangan…

Tiba-tiba rindu bertumpuk-tumpuk, berlipat-lipat. Jika bisa dan boleh kutanyakan, apakah kau melihatku? Apakah kau tahu hatiku sedang melayang padamu? Apakah kau rasa sesakku mengingatmu? Sedang apa kamu disana? Menungguku?

Aku kerap melihat awan putih berarak, melayang perlahan. Jika mataku tak mendapatkan apa yang kucari, maka pikiranku akan mengambil posisinya. Ia terbang, menyibak awan itu, membuka setiap helainya, kembali mencari apa yang pernah kau titipkan. Sayangnya, ia kembali terkulai.

Kamu lupa? Aku yakin tidak. Hanya pesanmu tak pernah datang lagi. Siluetmu telah lama tak melintas. Bukan karenamu, tapi karena aku semakin tahu diri dan memeluk jiwa sendiri. Aku yang tak mampu meredam hati ketika harus menghadirkan bayangmu.

Aku yakin bukan karena kamu telah lupakan semua. Hanya saja, waktu dan ruang semakin berjarak. Kamu pun tak ingin membuatku selalu terpaku pada duniamu. Walau salah satu duniamu pernah kumiliki, tapi sekarang, duniamu yang lain belum lagi dapat kau bagi.
Aku sedih, mengingat jarak…mengingat waktu…mengingat awanmu…

Tidak…aku tak ingin melihatmu kecewa. Katakanlah, aku bahagia, maka kutitip awan ini kembali padamu. Dimana pun kau berada, aku bahagia. Bahagia pernah menjadi bagianmu, pernah terburai oleh tawamu, pernah mencair menangisimu, pernah tergugu dengan diammu.

Aku rindu…dan terisak mencari awanmu...

(Inong, 6 bulan lagi, maka 5 tahun lamanya kita telah berpisah)

Wednesday, September 08, 2010

Melembutkan Hati

Sebulan yang lalu, lelaki itu mungkin tidak akan pernah menyangka, hari-harinya akan begitu pilu. Ia mungkin tidak pernah mengira, ketika ramadhan tiba, kehangatan yang selalu ada, akan terenggut. Ia mungkin tak pernah membayangkan, kelak, selesai tarawih, jama’ah mulai meninggalkan tempat satu persatu, bahkan telah hampir kosong, tapi ia, lelaki itu, hanya dapat memandangi putri bungsunya, tertidur lelap di lantai masjid yang dingin.

Sebulan lalu, ia, lelaki itu, baru saja kehilangan istrinya. Istri yang selama ini begitu dicintainya. Ibu dari ketiga anaknya, yang sangat ia percaya mampu mendidik mereka, walau sang istri masih bisa berkarir diluar rumah. Istri yang sangat sabar menghadapi tingkah polah ketiga anaknya. Hanya diam dan tersenyum, ketika rengekan anak-anaknya kerap terdengar diantara warga yang menghadiri pengajian. Ibunya tetap memberi keleluasaan pada anak-anaknya, walau kadang dirasa berlebihan oleh orang lain.


Terakhir bertemu, sekitar bulan Februari. Ketika itu ada pengajian rutin yang diadakan oleh warga komplek. Seperti biasa, ia, lelaki itu datang, bersama istri dan ketiga anaknya. Agak terlambat, hingga istrinya duduk di barisan belakang. Tidak banyak bicara, dan sesekali berbisik, mencoba menegur salah satu anaknya yang aktif kesana kemari. Diantara para ibu-ibu, sang istri pun hanya tersenyum, dan menjawab teguran dengan kalimat-kalimat pendek. Pemalu atau pendiam, saya tidak tahu persis. Karena sang istri jarang terlihat, karena kesibukkannya sebagai karyawan perusahaan. Tapi hanya satu yang saya dengar dan lihat, sang istri sabar sekali menghadapi anak-anaknya. Bagi saya, luar biasa.

Hingga menjelang ramadhan, kabar itu datang, di sela-sela suka cita menyambut bulan suci itu. Kabar pedih bagi lelaki itu. Juga bagi para teman dan tetangga yang mengenalnya dengan baik, ataupun sekedarnya. Sang istri tak pernah menampakkan sakit yang parah. Ia, sang istri, hanya mengeluh pusing. Lalu beberapa saat kemudian koma, dan pergi beberapa hari kemudian. Sungguh, kala itu yang terpikir pada masing-masing kami yang mendengar, adalah tak mengira sang istri pergi begitu cepat tanpa sebab yang terlihat oleh kasat mata. Terlihat baik-baik saja, tanpa gejala yang mengkhawatirkan. Tapi siapa nyana? Bukankah ini salah satu rahasia yang tak pernah mampu kita perkirakan? Kapan pun itu, bukankah kita harus siap? Yang ditinggal maupun yang ditinggalkan harus siap? Kemudian semua menjadi terhenyak dan merasakan perih sembilu milik lelaki beserta ketiga anak-anaknya itu. Betapa dekatnya sebuah hubungan, tetap saja akan ada batas yang menjauhkannya.

Maka selalu terlintas dalam benak, ketika melewati rumahnya yang memang sepi, lalu membayangkan, kesepian itu semakin sempurna dengan tidak adanya istri bagi lelaki itu, dan ibu bagi ketiga buah hati mereka. Melihat ketiga bocah itu bermain di pekarangan, namun tak ada senyum manis yang menyambut dan menemani mereka. Tak ada kesibukkannya mempersiapkan berbuka puasa, karena kepergiannya justru merupakan saat dimana kebersamaan sangat begitu bisa dirasakan. Saat-saat yang pastinya selalu dinanti, selalu akan dikenang. Dan, ia, perempuan itu, memang telah memberi kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh lelaki dan ketiga buah hati mereka.

Menjelang dan selama ramadhan kali ini, pikiran saya sibuk melanglang, termenung, membayangkan seperti apa rasanya jika posisi lelaki itu terjadi pada salah satu diantara kami. Atau mungkin posisi perempuan itu yang akhirnya menuntaskan segalanya. Pikiran saya mencari-cari, harus seperti apakah menghadapinya? Harus seperti apakah menampilkan diri setelah ditinggal oleh seseorang yang setia mendampingi selama ini? Atau, apakah yang tengah dialami seseorang yang telah pergi itu? Harus seperti apakah makhluk yang telah menemukan jalan akhirnya? Apa yang ia alami, di dimensi yang lain? Atau, sungguh, betapa tak kuasanya manusia berpaling dari ajal, walau bulan penuh cinta ini telah tampak untuk disongsong.

Pikiran-pikiran yang mengganggu. Namun mau tak mau, menuntun jiwa ke dalam sebuah ruangan yang kosong. Hingga terus berpikir, apa saja yang akan menjadi isi dari ruangan itu, agar penghuninya dapat tinggal nyaman.

Hingga menjelang berakhirnya ramadhan, terasalah, mengapa tidak hanya lelaki itu yang merasakan kehilangan. Mungkin –bahkan pasti ada lelaki-lelaki lain, atau perempuan-perempuan lain, dengan usia dan bentuk kehilangan yang beragam. Menjelang berakhirnya ramadhan, segala kegelisahan terjawab. Menghadapkan kita pada kematian, adalah cara Tuhan untuk membuat hati kita yang telah keras dan berkarat, menjadi lembut. Hati yang dengan mudahnya bisa Ia bolak-balik. Hati yang banyak kita lalaikan untuk dijaga. Hati yang semakin hari semakin berkurang kadar sensitivitasnya. Hati yang kita abaikan walau hanya untuk merasakan, bahwa ada takdir di setiap tarikan nafas yang telah diberikan-Nya. Hati yang tidak kita sematkan pada ruangan penuh kasih, pada hal-hal yang menjadi bekal kita kelak ketika kematian itu bukan kita dengar lagi, tapi justru kita alami.

Dan, benarlah! Cara Tuhan untuk melembutkan hati hamba-Nya, jika bukan sebagai peringatan, tentunya sebagai cinta kasih-Nya yang masih mau kita datangi, walau kuantitas serta kualitasnya bukan sebagai hamba yang taat.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dan… Wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu memberikan cara padaku
Bagaimana merawat dan memperlakukan milik-Mu ini
Maka, hancurlah diri yang fana ini sejak dulu
Dan… wahai Sang Pemilik hatiku
Jika saja, Kau tak berkenan untuk selalu kutemui
Menyebut nama-Mu di setiap keindahan pada pelupuk mataku
Maka, sungguh… siapa lagi yang akan kutemui kelak?
Dan… wahai Pemilik hatiku,
Maka, sungguh…aku tak tahu jalan pulang
Selain pada diriMu