Monday, February 26, 2007

R.I.P



Pernah terpikir tidak oleh para perempuan yang sudah bisa dipanggil ‘Ummi’ atau ‘ibu’, atau ‘bunda’ atau ‘mommy’, untuk mengajarkan makna dari kata ‘kematian’ pada anak-anaknya? Terdengar aneh?

Suatu malam, saya menemani Jihad, menyelesaikan kliping untuk tugas PKnPS di sekolah. Gunting sana, gunting sana. Patut sana, patut sini. Saya yang memilih contoh gambar, sedang Jihad menulis deskripsi gambar yang sudah ditempel. Saya yang sedang asyik memilih dan menggunting, tidak menyadari sama sekali kalau Jihad sudah tercenung diam sambil memandang saya. Merasa tidak apa-apa dan biasa saja, saya tetap melanjutkan kegiatan memilih dan menggunting.

Jihad : “Mi, kalau Ummi sudah ga ada, Aa mengerjakan tugas-tugas seperti ini sendirian deh!”
Saya mendongak, kaget…
Ummi : “Maksud Aa teh Ummi meninggal?”
Anak saya itu mengangguk sambil kembali menulis deskripsi klipingnya.
Ummi : “Kalau Mi sudah ga ada, Aa harus bisa mengerjakan sendiri, mandiri ya Nak".
Jihad : “Iya Mi, nanti kalau Mi udah ga ada, Aa do’akan Mi biar Mi masuk syurga” .
Duh,…coba deh! Hati siapa yang ga runtuh, dengar kata-kata anak berumur 6.5 thn ini. Saya peluk dia, saya bisikkan “You are My Jundi!” dan dia pun tersenyum lebar.

Saya tidak menampik, bahwa sayalah orang yang mengakibatkan Jihad berkata seperti itu. Setiap dia ‘agak’ susah untuk diajak tahfidz, atau males-malesan mengambil air wudhu, saya selalu mengatakan...

“My Jihad, ga selamanya Ummi bisa mengingatkan ini, ga selamanya Ummi bisa dampingi Jihad, ga selamanya Ummi bisa memeluk dan menggiring Jihad untuk berwudhu atau memperbaiki lafadz-lafadz Jihad selama tahfidz, karena Ummi manusia biasa, suatu saat nanti Ummi akan seperti yang lain, meninggal dan pergi selama-lamanya. Terus Ummi punya warisan apa selain menanamkan ketaatan dan ketaqwa’an Jihad kepada yang menciptakan Jihad. Mau ketemu Ummi lagi kan Nak diakhirat? Kalau Jihad mau ketemu lagi, bakti sama Allah dan doa kalian yang akan menyelamatkan Ummi”.

Belajar untuk kehilangan segala sesuatu didunia ini adalah hal yang paling sulit untuk kita sebagai orang dewasa apalagi untuk anak-anak. Tapi itu harus dijalani, seterjal apapun yang akan dilalui. Egois kah saya? Memang saya merasa egois ketika saya malah tidak mengenalkan hal ini pada mereka. Sangat egoisnya saya, ketika meninggalkan mereka tanpa memberikan bekal apapun. Sangat egois!

Pembelajaran hal ini bukan tanpa awal suatu kejadian. Semua bermula pada tahun 2005, ketika melahirkan Ade Kareem, saya dipaksa untuk belajar akan kehilangan kesayangan kita. Saya hampir merasa dijauhi oleh SANG PEMILIK ketika Ade divonis retina blastoma, kanker mata yang tidak akan menyelamatkan pengidapnya. Saya sempat runtuh, larut dan kecewa, kenapa bukan saya yang mengalaminya. Tapi, memang Allah maha BIsa Berbuat segalanya. Vonis itu dimentahkan dan diganti dengan Fibrioptik yang menyebabkan terhambatnya perkembangan salah satu matanya. Alhamdulillah, bukankah berarti Allah sayang pada saya, dengan memberikan sesuatu yang akan mengingatkan saya pada’NYA. Dari situ saya belajar, saya tidak bisa merengkuh apapun yang saya sayangi untuk selamanya. Karena begitu besarnya perasaan sayang pada mereka, masih begitu besar sayang SANG PEMILIK pada mereka. Lalu, jika ditanya apakah saya akan siap ketika kehilangan mereka? Saya akan jawab “Saya harus siap!!" Lalu, ketika mereka ditanya apakah mereka siap jika kehilangan saya, akan dijawab “Semoga Ummi masuk syurga, we love you Mi” dengan mata dan tatapan yang polos.

Aneh kah apa yang saya terapkan?
Siapkah para mommy untuk mengenalkannya?

15 a little note:

pyuriko said...

Membaca pernyataan Ade Jihad, Iko menjadi kaget,.... anak seusianya sudah menyadarkan kita smua, bahwa kematian bisa kapan saja menjemput... dan kita harus siap untuknya.

Anonymous said...

teh, duh wats a nice posting, bacanya sampe merinding.. untungnya msh bs nahan air mata.. bahagia bgt ya py anak2 kaya jihad dan ade.. aku iri banget ama teteh.. hiks2..

*masih merinding niy*
makasiy ya udh berbagi teh..

Shinta Octaviani said...

Dapat pelajaran berharga nih.Makasih dah diingatkan ya mba Rien.

Anonymous said...

Mbak, postingannya bgs bgt. Terharu membacanya... Banyak pelajaran yg bs diambil :)

Anonymous said...

Aku juga sering berpikir ini.. tp gak tahu rasanya takuuut sekali buat mengucapkan soal kematian ke anak. Baca postingan ini, tampaknya memang hrs dicoba!

Ryuta Ando said...

Duh terharu banget deh bacanya..jadi pengen nangis nih, memang kematian kapan, dimana dan bagaimana datangnya siapapun nggak ada yg tau. Rien, thank u..udah ngingetin kita lagi..

Nita Fernando said...

Teh, I can't say any words after read this .... pen nangissss :((

Makasih ya Teh untuk selalu mengingatkan saya, untuk ilmu2nya yg bermanfaat ...

Siapkah Saya? :((

Rey said...

Duhh sista, aku terharu bgt bacanya, apalagi yg di-ijo2in, hiks... jadi pengen punya anak (kok hr ini komen gue punya anak mulu ya?). Aku selalu terharu kalo baca tulisan kamu :)

Ada cerita lucu soal mengajarkan kematian ke anak. Ceritanya wkt sepupuku msh kecil (cowok), dia pernah nakal bgt dan buat ibunya (tanteku) gak sabar, sampe akhirnya tercetuslah kata2 "biar aja ya, nanti kalo ibu meninggal kamu sendirian, ngapa2in sendiri, gak ada yg bantuin, bla bla bla" ehh emang dasar sepupu gue bandel, dia malah seneng "asik... asik..." maksudnya gak ada yg nglarang2 dia lg, trus tanteku nambahin lg "ooo gitu ya, ya udah, liat aja, kalo ibu meninggal ntar ibu datengin kamu tiap malem" baru deh sodara gue takut "jangan ibu, jangan, aku takutt". Hahahahha... bukan contoh yg baik sih... tp kocak :D

Anonymous said...

Gak aneh kok Rien, perlu juga ku rasa. Masalahnya tidak setiap orang punya nyali untuk bisa menjelaskan hal ini kepada orang yang sangat kita sayangi.
Sama aja seperti kematian, kita tahu kita pasti akan mati, kadangkala dalam keseharian kita membuang jauh-jauh kenyataan bahwa anytime kita bisa mati.
Thanks Rien telah mengingatkan bahwa kapanpun kita harus siap atas takdir illahi.

mbokne kyra said...

mbak..postingannya bikin gimanaaa gitu...salut buat mbak rien

Mama Firza said...

jadi terharu baca postingnya teteh.. emang kita kadang suka lupa yach teh. mudah-mudahan kita bisa menjadi orang yang tidak melupakan hal itu... *amin*
Muach buat jihad dan ade...

Anonymous said...

tiara juga akhirnya aku jelasin sedikit2 ttg meninggal, tepat ketika kakeknya meninggal, karena dia terheran2 kenapa ke Bandung kakek ga ada. Mungkin ga ngerti2 amat ya, da masih kecil. Yang penting adalah menyiapkan diri kita untk berpulang plus mendidik anak kita biar jadi anak soleh yang selalu mendoakan kita....

Anonymous said...

insya allah ateu aku mulai berhijab. Tepat setelah pulang dari makam bapakku bulan Januari lalu. Asa tersadar aja, betul semua milik Allah, padahal kita sayang banget sama Bapak kita. Ari tos waktosnamah. Aku juga tersadar kalo 'pulang' teh ga bawa apa2, jadi mulailah memperbaiki diri sedkt2, bermulai dari hijab. DOakan ya mudah2an bsia istiqomah terus. Amin,,,...cipika cipiki juga...:-)

Anonymous said...

makasih teh... udah diingetin.. a very nice point of view :)

Harum Bunga said...

Buat sy mah gak aneh, justru SUBHANALLAH bgt.
Sy salut bgt deh! Semoga para ummahat bisa seperti itu, amin.