Friday, April 27, 2007

suatu siang di pom bensin...

Suatu siang, terik ngga, ujan juga ngga. Saya lagi berburu bensin, karena emang jatahnya harus diisi nih. Dengan mengangkut dua orang bocil ini, saya meluncur deh ketempat pom bensin yang lumayan jauh, letaknya pas arah mau ke luar kota.

Ternyata sampe di tempat bensin, lumayan (lagi-lagi) antriannya. Karena dari kemaren-kemaren susah banget mau beli. Jauh-jauh kesana, tau-tau udah ada sign “BENSIN HABIS”. Maka kali ini pake mental baja (saya males antrian yg beginian), saya antri dengan sabar. Hmm…kira-kira ada enam mobil lagi, baru menjelang saya.

Okey…mata saya yang emang lagi ngantuk, ngider deh. Disebelah saya pas banget ada mobil tangki yang lagi ngisi bensin ke tempat di bagian bawah jalan arah antrian saya. Ooo… begini ya, kalau ngisi bbm ke pusatnya yang mengalirkan keselang-selangnya nanti. Terus mata saya ngider lagi ke arah mas-mas sopir (sepertinya mobil travel) yang juga sedang ngisi bensin. Nah, ada yang lucu buat saya. Dari dulu nih, saya suka heran bin ajaib, liat orang kalu ngisi bensin suka goyang-goyangin mobilnya, seperti….pernah liat iklan layanan pertamina? Nah seperti itu tuh. Bagi saya aneh lah! Coba pikir deh, bensin itu bentuknya seperti apa sih? Cair atau padat? Emang kalu digoyang-goyangin seperti itu akan memenuhi seluruh ruang bahan bakar itu tanpa ada satu pun yang lowong? Tanpa digoyang juga tetap terisi penuh kan? Bensin kan bukan pasir, yang kalu dibuat kedalam tempat harus di-egol-egolin biar terisi rata. Kadang saya suka pengen bilang “Mas/Pak, ga usah digoyang juga akan penuh, ga pernah belajar fisika ya?” (hahahahah…)

Kejadian yang lebih ngga enak dipandang, tertumpu pada si mobil tangki yang lagi ngisi/menuhin tempat persediaan bensin untuk beberapa hari. Ada laki-laki (nggak tahu ini karyawan, sopir atau apa) dengan santainya, nyiduk bensin yang udah ada dalam tempat penampungan itu dengan belahan gayung, terus nuangin ke beberapa tempat (derigen apa yak?). Tanpa dosa! Bukannya itu udah jatah yang harus masuk ke tempat penampungan. Herannya lagi, para pegawai yang tugasnya ngisi bensin cuman cengar-cengir aja. Arghhhh….

Kok bisa ya?

Bisa lah! Lha itu udah nggak bisa dipungkiri. Dan mungkin ini udah termasuk pungli kelas teri (bagi saya sih udah kelas kakap). Seudzonnya saya nih, pasti deh dijual ke eceran yang dengan setia dan nggak sadar malakin orang-orang seperti ini. Tapi nggak bisa juga disebut malakin, lha yang dipalakin seneng kok! Dapat duit lagi.

Ini namanya rakyat kecil jajah diri sendiri. Dan yang lebih nyebelin, saya cuman bisa mandangin sambil melototin biar orang itu rada malu. Berhasil? Nggak tuh! Dia mah tetep aja cuek. Wakkss…kenapa sih saya pake ngga turun, terus negur? Hmmm…takut? Dikira pahlawan kesiangan? Yang ada juga maling kesiangan…

Dan…arrgghhh…kenapa juga saya pake lupa bawa camdig?!?!?

Monday, April 23, 2007

Perempuan...riwayatmu kini...

Banyak perkataan atau kalimat yang pada intinya saya ga ngerti sama sekali. Seperti : ‘Kita harus memperjuangkan kesetaraan antara pria dan wanita, jangan mau dianggap remeh oleh kaum pria, kita harus bisa seimbang dalam kehidupan’. Tapi, kalau dibalik lagi, kita lontarkan kalimat yang lebih kepada pertanyaan : ’kesetaraan yang seperti apa? Seimbang dalam kehidupan yang seperti apa?’ Pasti pada bingung. Wah asal koar deh!

Seperti yang pernah saya tahu, RA. Kartini begitu dikungkung dengan segala yang ada pada sangkar emasnya, Kemudian dia perih melihat penderitaan kaumnya –yang pada waktu itu- sangatlah jauh di bawah standard. Hingga beliau dengan gigih memperjuangkannya. Dengan gigih membangun sekolah untuk para wanita, dan terus mengobarkan semangat agar wanita bisa mendapat hak-haknya sesuai pada porsinya.

Mundur lagi pada ribuan tahun sebelum Masehi. Saya terkenang dengan Fathimah ra. Putri terkasih dari seorang yang terkasih Rasulullah SAW. Beliau adalah sosok yang sangat bersahaja, penuh pengabdian dan berotak cemerlang. Kepatuhan dan ketaatannya pada Rasulullah SAW serta kecintaannya pada keluarga mungkin belum bisa disandingkan dengan wanita manapun pada jaman sekarang. Membanting tulang dengan bekerja keras, hingga suatu ketika ia mengeluh akan kecapaian yang amat sangat. Satu masa, ia melihat ayahnya mempunyai tawanan yang bisa dia bawa pulang untuk menemaninya (khadimat) dalam menjalankan tugasnya dirumah, lalu meminta dengan penuh kasih. Rasulullah SAW menolak. Sedikit kecewa, fathimah pulang, yang kemudian disusul oleh ayahnya. Penuh kasih diutarakan maksud dari Rasulullah SAW menolak permintaannya adalah demi kebaikannya. Dan Fathimah pun cepat menyadari serta lebih bisa memandang dengan arif

Atau kita bisa meneladani kiprah Siti Khadijah, istri dari Rasulullah. Beliau adalah seorang saudagar perempuan pada masanya yang amat kaya. Berilmu dan mempunyai banyak hubungan parallel dengan berbagai pihak yang tentu saja dapat memberi keuntungan pada bisnis beliau. Padahal pada masa itu, perempuan lebih teraniaya dengan segala bentuk jahiliyah. Perempuan dianggap hanya seperti barang mainan dan cuma layak sebagai pajangan. Kenapa beliau bisa survive?

Kesetaraan dan keseimbangan seperti apa yang sebenarnya harus kita perjuangkan?
Ilmu dan kesempatan untuk mendapatkannya. Dengan ilmu semua yang ada bisa diubah ke arah yang lebih maslahat. Dengan ilmu, wanita bisa mempunyai andil dalam segala hal untuk menyeimbangkan kehidupan.

Ketika wanita tidak berilmu, bisakah ia mengatur keuangan rumah tangga sebaik-baiknya? Atau bisakah ia mengajarkan pada anak-anaknya segala hal kebaikan? Jelas saja semua haruslah ada ilmunya. Apa harus didapatkan pada bangku sekolah? Lalu bagaimana ibu-ibu kita yang duluuuu bisa sangat sabar dan tekun mengajari kita –anak-anaknya- dalam pelajaran sekolah, bisa mengatur kehidupan rumah tangga sebaik mungkin, padahal pendidikannya hanya sebatas Sekolah Dasar, ga lulus lagi (misalnya loh). Itu karena lebih kepada karena mereka punya ilmu yang mereka gali dari diri mereka sendiri, tidak mesti duduk manis dibangku sekolah.

Kembali ke pada sekarang, yang sebenarnya pasti akan membuat ibu RA Kartini menangis, terlebih Siti Khadijah, Fathimah ra, Aisyah ra dan wanita-wanita pejuang yang mulia. Bisa dengan mudah kita temui para perempuan, gadis, wanita yang dengan bangganya mengenakan atribut yang berbau western atau yang ga layak untuk diperjuangkan. Pakaian tank top, pakaian yang terus aja kekurangan bahan, menor sana menor sini, cekakak sana cekikik sini, dan yang lebih parah mereka mau aja dijadikan mainan yang pantas (atau terpaksa dipatut-patutkan) untuk dipajang. Jika demikian adanya, wanita selamanya tidak akan bisa maju jika hanya memandang segala sesuatunya dari luar. Tidak akan bisa tercapai kebahagiaan hakiki.

Miris ya?

Seperti apa sih yang ingin diperjuangkan para pendahulu kita?
Wanita lebih mempunyai martabat yang tinggi. Bisa memegang teguh prinsip dan hanya taat dan patuh pada ajaran SANG PEMILIK, pribadi yang bersahaja, bisa membaca situasi yang bisa saja akan jomplang pada bumi yang dipijaknya, atau lebih kepada mawas diri agar hal-hal yang ‘jahiliyah’ tidak akan terulang lebih ‘jahiliyah’ pada masa sekarang.

Siap berjuang?

Thursday, April 19, 2007

Masa Orientasi = Balas Dendam?

Melihat STPDN, atau IPDN sekarang, saya suka ingat (lebih tepatnya bernostalgia) dengan jaman dimana saya juga mengalami masa orientasi yang penuh kedisiplinan. Dan saya adalah produk sebuah masa orientasi bergaya Resimen Mahasiswa. Angkatan ketujuh yang masih kental dapat perlakuan yang –waktu itu- saya mikirnya…duh kejamnya! Tapi ga sama dengan IPDN yang udah ada ajang smack down.

Orientasi di kampus saya dulu, sebenarnya juga bertopeng pada menguji ketahanan, kedisiplinan mahasiswa baru, yang nantinya digembleng dengan mata kuliah yang padat dan ga ada leha-leha sekalipun. Tapi jelas sekali, terlihat rasa dan keinginan pada diri para senior yang ingin membalas dendam pada apa yang mereka terima sebelumnya dengan memberikan perlakuan sama dengan adik-adik tingkatnya, termasuk saya.

Masa orientasi dimulai pada jam lima subuh, dan kendaraan yang mengantar harus berhenti lebih kurang satu kilo meter dari posisi mereka menerima kedatangan. Dan, berlari-larian lah dengan ngos-ngosan, tepat di hadapan, salah seorang senior, siap dengan pasang tampang sangar, beringas, suara meledak, ditambah kepekatan hutan pada waktu subuh, menggelegar “Kalian itu baru! Jangan sok deh mau jual tampang disini, ga bakal dikasihani! Lelet! Masih cepetan ayam kalau lari dibanding kalian, tau!!!!” (welehhh…masak manusia dibandingin sama ayam, yang bener aja!)

Kemudian, setelah dibagi perkelompok, masuk hutan, yang disetiap pojokan ada kakak senior yang tampangnya ga kalah menyeringai. Mereka menahan dan akan memberi hal instruksi yang harus dilakukan. Saya yang (emang sudah lahirnya) punya mata belo malah dikira melototin “Eh kamu! Kenapa pake melotot! Nantang? Coba rayu nih pohon, anggap ini pacar kamu!” Hah?!? Ga bisa nangis dong! Mana saya belom punya pacar (masak sih?) jujur bingung. Saya terpaksa, yang ga punya bekal acting menjalani arahan ‘kakak sutradara’ dengan seadanya. Lulus casting, disuruh jalan deh.

Sampai pada lapangan kampus, pertunjukkan penyiksaan -bagi saya waktu itu- ga berhenti gitu aja. Setelah diberi pengarahan, salah seorang senior dengan selang yang lumayan besar (sebangsa selang pemadam) siap menyemburkan air yang kekuatannya seperti kekuatan pemadam juga. Sebelum aksi basah ini mulai, sebuah instruksi “Bagi mereka yang ada penyakit yang membahayakan, silahkan keluar dari lapangan, menjauhi arah air”. Saya selamat! Asma saya ga bakal mau kompromi, dari hutan sampai lapangan mau disiram air dingin, alih-alih saya bisa ga sadarkan diri nanti.

Pembalasan dendam terus berlangsung. Saya pun punya nama panggilan dari senior. BISEK. Pertama kali dengar, saya kontan bilang “Saya ga mau dipanggil itu, dan ga akan mengganti tanda pengenal saya dengan kata itu”. Salah satu senior perempuan langsung melotot “Eh kamu berani ngelak! Mau dihukum? Harusnya bangga, itu nama ga sembarang dipilih sama mbak Eka untuk diberikan, tahu!". Senior perempuan yang bernama Eka, menghampiri saya, lalu “De, besok ganti ya, nama ini mbak yang turunin ke kamu, tahu bisek?”, suaranya sangat lembut dan pelan, bikin saya berani menggeleng, “Bisek itu bibir seksi, ok?”. Hah?!? Saya tuh dari biologi, dan bisek adalah memiliki jenis kelainan ganda atau begitulah. Ga taunya,…ah malunya!

Dua hari dua malam kita digembleng, pake naik-naik tiang basket, ngemut satu buah permen yang diemut oleh 480 mahasiswa baru, dan ga boleh habis, harus tersisa sampai pada orang ke empat ratus delapan puluh. Dibangunkan di tengah malam buta, disuruh baris-berbaris dalam keadaan ngantuk dan terseok-seok mencari barisan, dan pemandangan yang paling menyedihkan ada yang masih pake sarungan atau bedak basah yang masih memutih diwajah lelah.

Kemudian, semua itu dilanjutkan dengan dikirimnya mahasiswa baru mengikuti resimen selama dua minggu, Dan ini dipegang langsung para bapak-bapak angkatan TNI, yang sangat baik dan jauh dari kesan galak. Mereka benar-benar disiplin yang mendidik. Sayang waktu itu saya tidak bisa mengikuti pelatihan ini karena setelah masa orientasi, saya tumbang juga karena asma.

Dalam masa orientasi itu, tetap ada pengawas dari resimen mahasiswa langsung. Memantau gerak kakak senior takut melenceng dari scenario yang ada. Intinya, seperti yang biasa kita dengar dari hal-hal yang berbau kemiliteran, adalah agar mahasiswa baru yang diterima bisa tegar, tabah dan kuat menjalani masa perkuliahan yang sangat-sangat ketat dan memakan waktu sampe delapan jam setiap hari. Dan juga agar mahasiswa bisa menjadi contoh yang baik nantinya bila sudah terjun ke masyarakat. Seperti itu yang diinginkan.

Tapi banyak hasil dari yang mengikuti resimen mahasiswa, melenceng, nyeleneh, dan bahkan sampai ga bisa menggunakan akal sehat mereka untuk meneruskan perkuliahan. Ada yang ga tahan, ada yang merasa terlalu berat mata kuliahnya, ada yang mabok mesti delapan jam setiap hari kuliah dan jarang-jarang ada dosen yang absent. Salah satu teman saya malah stress berat dan hampir gila. Akhirnya DO pada tingkat dua.

So, menjamin ga kekerasan atau gaya kemiliteran diterapkan dikampus-kampus? Tidak! Jika memang dari sananya udah malas-malasan ya tetap aja
malas-malasan. Sepengetahuan dan seingat saya, gaya militer atau resimen yang dijalankan oleh para mahasiswa senior hanya terpusat pada satu titik di kepala mereka, yaitu balas dendam. Segala yang berbau balas dendam mana ada yang bener kan?

Monday, April 16, 2007

Perempuan itu...

beberapa tahun yang lalu…

"Aku difitnah! Dia katakan aku telah melakukan hubungan terlarang itu berulang kali, dan kami tau sama tau! Apa salah dan dosaku? Keji sekali dia merusak hubunganku dengan cara demikian piciknya! Yang lebih keji lagi, tunanganku malah percaya saja, dan dengan entengnya ia mengatakan “Aku sudah memilihmu untuk ku pinang dan kelak melahirkan anak-anak kita. Biarlah cerita ini menjadi bagian dari masa lalumu. Bukankah laki-laki keji juga untuk wanita yang keji, begitu pula sebaliknya”. Bayangkan! Tunanganku itu percaya saja dengan perkataan orang lain yang dia belum kenal baik. Orang yang sudah memfitnah aku. Bahkan, tunanganku itu baru mau mengatakan kenapa ia begitu suram, termenung dan banyak berbengong ria ketika kembali dari kampung halamannya. Ternyata, dia banyak memikirkan nasibnya yang telah menerima kucing dalam karung. Coba! Kucing dalam karung itu pastilah aku. Lebih baik kuputuskan pertunangan ini, yang sebenarnya bukanlah pertunangan yang nyata. Lebih baik aku tidak bersuamikan dia, lelaki yang mudah begitu saja memakan omongan orang lain yang tidak diterimanya dengan akal sehat".

Saya tercenung. Lebih tepatnya melongo. Perempuan yang berkata-kata itu kelihatan sangat tertekan tapi tetap manis dalam pakaian muslimah dan kerudungnya yang melebar menutupi dadanya. Kasian sekali dia. Dan lebih kasian lagi lelaki yang ia panggil dengan kata ‘tunangan’ itu, yang dengan mudahnya menerima fitnah dari mulut orang lain tentang masa lalu calon istrinya yang sangat buruk. Justru masalah ini muncul, ketika mereka sudah saling sepakat untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang yang lebih mulia, yaitu sebuah ‘pernikahan’.

Ketika saya tanya “sudah kamu tanyakan pada tunanganmu, kenapa ia percaya dengan orang yang memfitnahmu?”, dia menjawab “orang yang memfitnahku adalah mantan teman dekatku semasa kuliah. Dia begitu terobesesi dengan hubungan kami. Bahkan ia sempat mencoba memotong…entahlah…mungkin salah satu urat dibagian tangannya, dan memberikan darahnya yang ia torehkan pada sehelai kertas. Dia katakan, ‘aku tidak bisa kehilanganmu, karena kita sudah berjanji akan bersama selamanya, dan aku akan lakukan apapun asal kamu kembali padaku".

Saya tercenung lagi. Duh, pelik amat! Saya jadi berpikir “apa sih yang sebenarnya terjadi ketika pada masa pertemanan antara perempuan dengan lelaki yang menyebar fitnah itu?”, tapi sebelum bertanya, perempuan itu dengan tetap dinginnya berucap…

“Kami memang sangat dekat ketika berteman, bahkan gejolak cinta membuat kami berjanji untuk selamanya hingga ajal menjemput. Tapi ternyata aku semakin ketakutan jika disampingnya. Pemarahnya, pecemburunya, sampai aku harus melaporkan apa saja yang kulakukan selagi tidak bersamanya. Hidupku jadi sangat terbelenggu. Sepertinya dunia diperuntukkan bagi kami, tapi tidak dengan kebebasanku. Tapi, duh tega sekali dia menfitnahku seperti itu. Kejam! Jika itu terjadi pada mbak, gimana?”

Saya baru membuka mulut untuk menjawab, perempuan mulai menyambar lagi “Pasti sama denganku. Lebih baik tidak hidup dengan orang yang tidak percaya pada kita. Aku bahkan tidak akan mengakui dia tunanganku. Membuatku malu saja, tunangan kok malah menyudutkan aku seperti itu.”

Saya tersenyum, dan berpikir, ‘apakah lebih baik dia membuktikan pada tunangannya bahwa dia masih perawan dengan segera menikah dengan tunangannya itu?’. Dan dia memang seperti mempunyai pikiran yang sangat pandai membaca apa yang ada diotak saya. Tanpa selontar kata pun dari mulut saya, dia kembali berkata…

“Untuk apa aku buktikan keperawananku? Toh dia tidak percaya dari awal. Biar saja dengan ucapan orang-orang disekelilingku yang akan mencibir bahwa aku ternyata mudah goyah dengan hanya jenis angin seperti ini. Tapi aku tetap pada pendirianku, mbak. Aku tidak bisa memulai semuanya dari sebuah ketidak-percayaan”.

Saya (lagi-lagi) tercenung. Mungkin saya akan seperti itu jika mengalami hal ini. Saya akan bertindak sesuai kata hati saya. Dan akan tetap mantap untuk itu.

Sekarang…

Saya melihatnya bahagia. Perempuan sama yang saya temui dulu, masih dengan pakaian tertutup dan kerudung manis yang menutupi hampir kearah pinggangnya. Manis dan bersahaja. Bersama seorang lelaki yang berjanggut tipis, berpakaian taqwa (pastilah suami pilihan SANG PEMILIK usai masa fitnah itu). Dengan manjanya, mereka dikelilingi dua orang anak-anak, yang berceloteh menanggapi kejadian disekeliling mereka. Tertawa bahagia.

Dan, rasanya saya ingin sekali menghampirinya dan bertukar sapa lagi. Ternyata, perempuan itu masih sama beberapa tahun yang lalu. Dia melihat saya dan kemudian berbicara sebentar dengan lelaki disebelahnya. Sejurus kemudian melangkahkan kakinya kearah saya. Menjabat erat tangan saya.

“Ukhty, aku bahagia sekarang. Beliau suamiku yang telah memberiku kehidupan yang penuh islami dan anak-anak yang kami bimbing secara islami. Aku tidak pernah menyesal mengambil keputusan yang dulu ukh. Aku tinggalkan tunanganku, lalu mantan teman dekatku terus mengejarku setelah tahu dia berhasil dengan hasutannya memutuskan hubungan itu. Dia terus mengajakku nikah. Aku mengelak, aku katakan aku juga akan segera menikah. Padahal aku belum pasti siapa calon suamiku waktu itu. Alhamdulillah, aku bahagia lahir batin ukh. Aku mulai berdakwah, dan suamiku mendorong segala kegiatanku. Doakan aku tetap istiqomah ya ukh” dia akhiri uraiannya, berdiri, memeluk saya dan berbisik “Anti ukhty fillah bagiku”.

Saya menangis jika ingat kejadian itu. Perempuan itu berhasil keluar dari masalahnya. Dan tidak pernah gentar mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang sangat menyakiti banyak pihak waktu itu. Kedua orang tua tunangannya, sahabat-sahabatnya, juga pandangan miring dan negatif yang direngkuhnya. Dia sangat yakin dengan keputusannya. Dia sangat yakin akan bantuan Allah. Sangat yakin bahwa doa orang-orang yang teraniaya akan diijabah oleh Allah.

Dia tetap istiqomah. Barakallahu.

Monday, April 09, 2007

Kangen yang dilarang!

Tulisan ini masih ada sangkut pautnya dengan postingan mengenai kangen. Ada yang bertanya-tanya, bagaimana dengan rasa kangen yang ada pada yang berlawanan jenis (masih manusia dengan predikat ‘lelaki’)? Dalam hal ini sang ‘lelaki’ adalah seseorang diluar suami yang menjadi sahabat/teman/tempat curhat bagi sang ‘wanita’.

Saya (mencoba) tidak munafik bahwa saya sebelum menikah dan memakai hijab, banyak mempunyai teman lelaki yang bisa diajak diskusi, kongkow-kongkow, hahaha bersama, tapi tidak curhat! Kenapa tidak? Saya memang tidak membiasakan dan tidak mau memberi curhat saya kepada teman lelaki, walaupun sebaik dan sehebat apapun dia bisa memberi saya masukkan. Karena sama saja saya membuka lebar-lebar pintu aurat saya didepan mereka. Hal ini lebih-lebih ketika saya mulai ‘insyaf’ dan hijrah. Pergaulan pun bisa dikatakan sangat manusiawi. Saya banyak menghabiskan diskusi dan bertukar pikiran dengan kaum akhwat. Tapi, karena ketika itu saya masih ‘menjabat’ wanita yang harus berbaur dengan kaum ikhwan, maka berbicara dan bertingkah harus selalu bisa (berusaha) saya kontrol.

Ketika sekarang, memasuki delapan tahun pernikahan, saya pun masih mempunyai teman ikhwan yang biasa saya panggil ‘akhi’, yang kadang kala -kalau ada waktu- suka ‘mengunjungi’ saya lewat email dengan berbagai lemparan hal-hal yang bisa kami diskusikan. ‘Akhi’ ini juga bisa dikatakan mengerti saya (walaupun terkadang kami suka membuat kesimpulan yang salah). Pertemanan kami dimulai hampir sebelas (11) tahun yang lalu. Diantara kami malah banyak berinteraksi dalam hal memberi tausiyah yang akhirnya bisa menguatkan kami dalam memelihara ‘hubungan’ pertemanan lebih beradab dan syar’e. Hal yang perlu digaris bawahi, kami tidak saling curhat dalam masalah berat, malah ketika mulai ada signal-signal kearah itu, spontan salah satu dari kami akan mengingatkan bahwa curhat yang terbaik adalah pada SANG PEMILIK. Dan ini tentunya tetap sepengetahuan suami saya. Karena biar bagaimana pun, walau saya menjaga jarak dan berbicara lewat email dalam sebulan bisa dihitung dengan jari (tidak sampai lima kali dalam satu bulan), saya harus bisa menjaga perasaan suami saya. Begitu pula dengan teman saya itu, apapun yang kami diskusikan biasanya melibatkan pasangan masing-masing, walaupun hanya sebagai pendengar. Dan satu kalimat yang membuat saya yakin kami bisa mejaga hati masing-masing adalah “Anti bukanlah wanita yang tepat untuk saya jadikan istri, kecuali hanya sebagai teman”. Bijaksana dan sangat tegas kami membentangkan garis merah pada pertemanan kami.

Bagaimana jika ada perasaan kangen? Karena kita sudah anggap dia sodara sendiri? Bolehkah?

Perasaan kangen bisa saya deskripsikan adalah perasaan dimana ada suatu kejadian atau hal-hal yang bisa membuat hati kita bergetar dan rasanya ingin berbicara ataupun berusaha untuk bertemu. Tidak dinafikan, mungkin kangen akan bagaimana dia memberi solusi pada masalah kita, mengerti bagaimana jalan pikiran kita, perkataannya yang membuat hati teduh, tentram dan damai. Dan hal ini sudah termasuk ‘zina hati’. Karena, sedekat apapun, sebaik apapun, senormal apapun, hubungan kita dengan seorang ‘lelaki’ (yang kata salah seorang ‘ukhty’ sahabat saya, adalah ‘sohib) adalah sesuatu yang tidak perlu kita lanjutkan sampai ada perasaan kangen. ‘lelaki’ yang kita anggap sohib ini sudah jelas bukanlah muhrim kita, jelas tidak boleh dan sangat dilarang. Ingat! Say no to taqrabuzzina

Ah, sekeras itukah aturan islam menetapkannya? Bukankah perasaan 'kangen' seperti ini sangat manusiawi

Tidak keras. Malah indah. Begitu indahnya, hingga seorang perempuan begitu dilindungi dari hal-hal yang akan membuatnya tidak ‘terdaftar’ sebagai muslimah yang kaffah. Begitu disayangnya seorang makhluk yang disebut perempuan dengan begitu ketatnya berada dalam ‘lingkaran’ suci dengan tetap terjaganya hati.

Lalu bagaimana muslimah harus bertindak kepada ikhwan yang bisa dikatakan ‘sohib’, ‘mengerti’, ‘bersahabat’, ‘membuat rasa tenang’ pada diri kita yang bukan muhrimnya? Jagalah jarak agar tidak terjadi kontak ‘hati’ dalam berbagai masalah apapun. Tapi bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk bertukar pikiran, diskusi, ataupun berbagi pengalaman. Namun bukan dalam kontak membuka aib masing-masing, membuka aib keluarga ataupun menceritakan masalah-masalah, keresahan, perasaan tidak nyaman yang kita temui dalam lingkup pribadi kita. Walaupun dia sudah kita anggap sodara kita sendiri. Dan saya tidak pungkiri bahwa kita semua adalah sodara seiman.

Apakah saya tidak mempunyai (sedikitpun) rasa kangen pada teman saya itu?

Jujur, sampai tulisan ini beredar saya belum mempunyai rasa kangen padanya. Karena malu saya lebih besar pada SANG PEMILIK dibandingkan dengan rasa kangen pada seseorang yang jelas-jelas bukan muhrim saya. Dan saya bukan orang suci, ga pengen nambah-nambah masalah dengan hal yang taqrabuzzina (mendekati zina).

Tapi, semua kembali pada setiap hati yang mau menyikapi, bahwa islam diterapkan bukan hanya karena dalil ini, atau dalil itu, tapi lebih kepada sebagai rahmat, karunia, anugerah, nilai keindahan, sebagai hal yang menggambarkan betapa wanita adalah makhluk yang benar-benar dijaga karena kemilaunya, kehormatannya, dan keagungannya.

Maaf jika tulisan ini agak keras. Semoga ini bukanlah hal yang kontrovesial, menyudutkan satu golongan atau apalah namanya. Ini hanyalah tulisan yang setidaknya bisa membuka sedikit mata hati agar kita –saya khususnya- lebih bisa menerima nilai-nilai indah yang sudah SANG PEMILIK atur dan tetapkan untuk kita jalani. Insha Allah

Terakhir, berpikiran positif dan jauh kedepannya adalah hal yang sangat baik sebagai cermin agar kita berhati-hati dalam bertindak, apalagi jika memiliki rasa ‘kangen’ seperti ini.

Lalu, jika saya tanya, “Siapkah ukhty, jika saja ada wanita lain yang ternyata memilki rasa ‘kangen’ pada ikhwan lain yang ternyata adalah suami ukhty? Wajarkah dan tidak terganggukah ukhty walaupun ‘kangen’ itu sebagai sodara sendiri, karena mereka intens melakukan tukar pikiran, atau curhat misalnya?”

Bagaimana?

Wednesday, April 04, 2007

Kado milad!

Layak ga? Ga layak? Layak ga?

Okey deh…kirim aja! Terpilih atau ga, yang jelas saya pengen tahu apakah tulisan saya sudah layak untuk dinilai oleh beliau,…atau paling tidak, menjadi motivasi bagi saya untuk menulis lebih baik dengan tetap pada jalur GSB.
GSB? GSB adalah gerakan spiritual blog

Dan…the winner is…

Alhamdulillah…salah satu kado milad saya bentar lagi nih…
Tulisan saya bisa terpilih sebagai Top Indonesian Low-Profiled Post Jan-Feb 2007
Terima kasih yang tidak terhingga atas ide-ide yang Allah berikan pada saya…

Ayo…berkarya lagi!
Berkarya dengan jujur!
Semangat lagi!
Bermanfaat selama ruh masih bersanding pada jasad yang fana ini…
"Jangan pikirkan apa yang akan kamu tulis, tapi tulislah apa yang kamu pikirkan" (Annis Matta)

Tuesday, April 03, 2007

dedicated for eight years of ours....

Jaman dulu…
“Kenapa kamu bisa suka ke saya?”
“Hmmm…saya ingin keturunan saya pinter, salah satunya kamulah bibit kepinteran itu”

Masih jaman dulu…
“Kenapa kamu suka ke saya?”
“Karena kamu easy going, sante banget, sampe-sampe aku dicuekin!”

Masih juga jaman dulu…
“Kenapa kamu suka ke saya?”
“Kenapa ya? Kamu tuh orangnya enak diajak ngobrol, nyambung, dan sante!” (teuteubbb sante!)

Mendekati delapan tahun yang lalu…
….(ga ada pertanyaan, tapi ada pernyataan)
“Saya juga ga tahu, kenapa saya sayang sama kamu. Ini sudah Allah tetapkan buat saya. Semoga kamu dan saya sama-sama ikhlas menerima apa adanya masing-masing”.
….(terpana dan salah tingkah…padahal dia ngomongnya cuma lewat telpon)

Lalu…
“Teteh dan saya sama-sama sholat istikharah ya? Sama-sama mintanya hanya pada Allah, karena cuma Dia yang bisa membolak-balikkan hati kita berdua”.
….(celingukkan takut ada yang ngeliat, ngambil tisu dan wipe the tears…)

beberapa minggu kemudian, setelah sama-sama sepakat tidak ada komunikasi untuk sementara hanya berkomunikasi kepada SANG PEMILIK…masih lewat telepon
“Teteh…kita nikah ajah ya?”

Delapan tahun yang lalu…
Dan…sebuah buku “Kupinang kau dengan hamdallah” sebagai kado milad saya ke 24 tahun, lima hari setelah akad. Semoga pernikahan dan janji yang telah diikat akad akan disatukan dalam kasih sayang dan keikhlasan tiada akhir.

Sampai sekarang, tanpa saya tanya ‘kenapa kamu suka ke saya?”, lelaki yang saya panggil Abi, yang meminang saya delapan tahun itu, yang saya kenal langsung selama satu minggu, yang melamar saya lewat telepon, akan dengan santai dan yakin memberi pernyataan…

“Abi sayang Ummi, tidak bisa dilukiskan dengan kalimat apapun. Abi sayang Ummi hanya karena Allah SWT. Abi ingin Ummi menjadi istri Abi dunia dan akhirat. Maaf, banyak waktu abi habis untuk mencari ilmu untuk bekal kita membangun rumah diakhirat. Karena itulah, abi ingin ummi sayang ke abi hanya karena ummi mencintai Allah SWT, bukan karena abi kasep (cakep-sunda) dimata ummi ya”.

Alhamdulillah, barakallahu…
Jazakallah akhi’ku…
Jazakallah untuk satu tahun pertemanan kita…
Jazakallah untuk satu minggu mengenalmu secara nyata…
Jazakallah untuk menyayangiku tanpa satu alasan apa pun…
Jazakallah telah mencintaiku karena cintamu pada yang MEMILIKIMU…
Jazakallah telah memilihku karena hijabku…
Jazakallah untuk delapan tahun membimbingku menjadi ummi yang kuat bagi jundullah…
Jazakallah untuk mau menjadi imamku di dunia…
Jazakallah untuk memilihku sebagai istri dunia akhiratmu (InshaAllah)…
Jazakallah ya akhi…

Thank you my indro…you already hold my heart for the first time we meet, not with your hand but your heart. You already trust me before know how I am, already love me after I have wear my hijab, and love me just with your heart.

Thank God, for answering me

Sunday, April 01, 2007

Pada perayaan Maulid...

Proyek akhirat! Ya begitulah. Insya Allah.

Selama pindah, kegiatan saya justru membludak. Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW baru aja selesai di SDIT tempat Aa sekolah. Saya yang (lagi-lagi) mendapat tugas di bagian kepanitiaan dokumentasi, harus bertempur dengan peralatan perang dari jumat malam sampai sabtu pagi hingga selesai siang. Dan…ternyata, kerja orang lapangan itu sangat dan sangat menguras tenaga ya? Wah, bagaimana kalau saya bener-bener seorang fotografer merangkap cameragirl? Hayahhh…ya seperti sabtu pagi itu. Dengan bawa-bawa tas handycam, tripod sampe camera digital, setia saya giring sana-sini, mencari lokasi dan anggel pas dimana hasilnya bisa bagus, baik untuk warna dan cahayanya. Lebih-lebih, karena saya orangnya rada ga PeDe, jadilah dengan didahului beberapa menit menghimpun keyakinan dan kepasrahan, akhirnya saya dengan tampang dibuat sangat biasa, melenggang ke tengah arena, yang sudah dikelilingi puluhan mata, menenteng tripod, pasang sana sini dan… okey, its my duty!

Dari perjalanan tugas ini, paling berat adalah menghindari tatapan orang-orang disekelilingi saya yang mayoritas adalah penduduk asli Sangatta. Mereka mungkin heran, darimana SDIT bisa menghire cameragirl sekaligus fotografer perempuan? Ditambah anak-anak yang belum melek media ini. waduh…mereka loncat-loncat didepan handycam saya, sambil cengangas-cengingis, senyam-senyum, dan bilang “Halo tante! Ada aku ga?”. Saya dengan mencoba tetap ramah, sebenarnya sangat antusias dengan kelakuan mereka. Maksudnya antusias mau jelasin, ini loh yang disebutfungsinya… Tapi kan tugas terhampar didepan, jadilah tripod selalu diamankan jika ada yang iseng coba tengak-tengok.

Dari yang berkesan dari acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini adalah ketika tausiyah yang diberikan ustadz Muchlisin. Beliau mengingatkan kita bahwa kelahiran Kekasih Allah ini adalah hal yang patut dan harus kita teladani. Bagaimana beliau berprilaku, pemikiran dan ilmu, hidup sederhana dan sangat santun serta berkepribadian mulia yang tercermin pada diri belaiu. Tapi bagaimana orang tua pada abad sekarang bertindak untuk anak-anaknya, dengan gamblang beliau memaparkan bagaimana banyak orang tua yang sangat ketakutan dan resah ketika mendapati anak-anak mereka tidak pandai baca tulis, tidak pandai matematika, atau tidak pandai bahasa inggris. Dan kenyataan berbanding terbalik ketika mereka menemui anak-anak mereka tidak pandai mengaji, sholat, atau tidak mengerti cara berwudhu sama sekali. Berbanding terbaliknya adalah mereka menanggapi ketidak pandaian anak dalam hal akhlak dan agama, bukanlah hal yang mampu meresahkan mereka. Padahal setiap Maulid Nabi Muhammad SAW, seharusnya orang tua banyak merenung, apakah anak-anak sudah banyak mendapatkan pengetahuan agama, akhlak dan akhirat seperti yang sesuai dan harus kita bawa ketika menghadap SANG PEMILIK nanti? Dan hal yang paling penting, adalah memberikan sikap tauladan bagi putra-putri kita. Memberikan contoh yang baik lebih sangat ampuh daripada memberikan bertrilyun-trilyun wejangan tanpa ada tindakan yang mengacu pada wejangan tersebut.

Setuju ibu-ibu dan bapak-bapak??? SETUJUUUUU…. (Koor serempak)

Nelangsa ya. Duniawi masih bisa membuat rabun kita bahkan sampai kedasar otak kecil kita. Hingga tidak bisa meresap tujuan akhir hidup kita yang sebenarnya.

Jadi seperti apa yang saya dengarkan dan simpulkan. Jangan pernah takut ketika anak kita tidak bisa memeluk banyak gunung-gunung yang bermanfaat bagi kehidupannya didunia, tapi usahakanlah anak-anak kita bisa dan mampu memeluk satu gunung yang menjulang tinggi sekali, sarat ilmu dan bisa dipertanggung-jawabkan diakhirat kelak. Amin. Insya Allah.

By the way, acara ini juga disandingkan dengan Bakti Sosial (BakSos) dan bazar. Moment yang sangat mengejutkan saya, ketika tausiyah dan doa masih berlangsung, ibu-ibu yang sedari tadi ngebet banget pengen belanja (mumpung murah pisan) dengan tampang tanpa dosa, mulai menyeruak kebagian bazar dan stand BakSos. Lho, katanya mau ngasi contoh yang bisa diteladani untuk putar-putrinya bu? Kok ya malah ngasi contoh yang tidak layak tayang?

Euhhh…gemes deh ngeliatnya!