Tuesday, November 25, 2008

Pribadimu Malam Itu


Malam itu saya batalkan beberapa janji, karena dia hanya ingin bertemu saya. Cukup lama dia menunggu saat untuk bisa bertemu langsung dengan saya. Bukan GR. Namun demikianlah yang dikatakan oleh salah seorang teman baik saya. Saya tak ambil pusing. Karena memang tidak mudah GR, lagipula ini kesempatan saya membuktikan apa yang banyak orang gunjingkan tentang dia. Setidaknya tak perlu saya menelan semua omongan orang, selain hanya melihatnya sendiri.

Perempuan itu biasa berkeluh dengan saya, baik chatting maupun telpon. Keluhan seorang perempuan yang memang sedang ingin memandang hidup ini lebih indah, tanpa banyak awan mendung yang menggelayut. Setiap waktu sepertinya gerimis datang. Bahkan sesekali diselingi halilintar. Dia merasa tak tahan.

Saya selaku pendengar mencoba mencernanya. Merasakan kepedihannya. Mencoba mencarikan sedikit obat penghilang rasa sakitnya. Ampuh sebentar. Dan dalam beberapa waktu dia akan kembali bersama rinai atau petir-petir kecil. Saya kembali mencernanya. Begitu setiap kali. Hingga saya tak lagi memberinya obat penghilang rasa sakit yang hanya bekerja sebentar. Kali ini saya beri ia pecut, cambuk kecil. Dengan perlahan saya sarankan ia untuk menggunakannya, setiap kali ia merasa hidup tak adil, tak pernah ada bahagia. Pecut yang sekedar mengingatkannya, sebenarnya apa yang ingin ia raih. Pecut yang akan meninggalkan bekas sedikit, namun terasa sampai kesekian kali derita itu datang.

Semakin lama, dia pelan-pelan membentangkan jarak keluhannya pada saya. Waktu saya pun semakin padat, jadi setiap kali ia ingin topangan, saya hanya bisa dihubungi lewat SMS, itu pun dibalas beberapa jam kemudian. Karena saya tak mungkin membalasnya, kala pikiran dan hati saya sedang di pekerjaan lain. Memang tak enak, hati saya sedikit gundah. Bisakah dia menggunakan pecut yang saya pernah sarankan? Bukan obat pereda sakit, yang hanya membuatnya hilang rasa.

Malam itu pun saya dan dia bertemu. Berpapasan di lobi, dia hanya melirik sekilas. Saya pun menegurnya. Mengenggam tangannya erat. Memeluknya hangat. Badannya ringkih, jika saja tidak ada gundukan kecil amanah dari Allah, yang sedikit membuat tubuhnya melebar. Wajahnya sedikit pucat.

Dalam satu meja, kami duduk berhadapan. Dia lebih banyak diam dan tersenyum kecut. Saya selalu menggodanya. Mencoba membuat suasana cair seperti halnya chatting. Dia mulai memberikan reaksi. Namun tetap pelan. Hanya ketika saya korek, dia mau mengeluarkan apa yang ingin ia utarakan. Selebihnya, dia hanya terdiam tak jelas. Saya pun enggan mengorek lebih dalam.

Saya baru merasakan. Betapa memang tidak gampang menumpahkan segala keluh kesah langsung pada orang yang ingin kita bagi. Tidak mudah untuk mengenyampingkan perasaan takut, sungkan, walaupun orang yang biasa kita ajak bicara tidak merasa keberatan sama sekali. Ya, karena memang kita manusia biasa. Cela dan cacat tak akan pernah dapat kita hindari. Meskipun untuk urusan sombong, kita tetap saja tak mau kalah.

@@@

Malam itu kami hanya bertemu sebentar. Saya dan dia berpisah di lobi lagi. Saya melambaikan tangan pada sebuah taksi. Membuka pintunya dan mengucapkan salam padanya. Dia hanya tersenyum. Selebihnya tidak saya perhatikan reaksi apa lagi yang ada padanya.

Saya tak menemukan dirimu yang suka mengeluh malam itu.
Saya tak menemukan celotehanmu yang kerap saya tegur, karena biasanya terlalu tak enak untuk didengar.
Saya berharap pecut yang pernah saya berikan, lebih bisa membuatmu semakin tahu dan mengerti bagaimana menyikapi gelombang kehidupan.

1 a little note:

Anonymous said...

Ingin juga senantiasa bisa berbagi denganmu, andai saja jarak tak menempatkan dirinya di tengah-tengah kita ya ukhti yang kusayangi...