Monday, June 02, 2008

Colour of My Sons


Tahun ajaran baru kali ini, selain kegembiraan untuk 2 buah hati saya, juga kesedihan (nggak penting) buat saya. Bisa berlibur, bertemu keluarga besar di luar kota Sengata, sekaligus meregangkan otot yang telah –hampir- kaku selama kurang lebih 6 bulan bergelut dengan kehiruk-pikukan kota sengata, pastinya ditunggu. Namun perasaan lain ada, ketika mengingat tahun ajaran baru besok adalah semakin sorenya si sulung, Jihad, bisa pulang kerumah. Sudah menjadi konsekuensi. Dari taman kanak-kanak, kami memilih menyekolahkannya di sekolah islam terpadu, yang jam belajarnya selesai pada pukul 14.00 atau jam 2 siang. Hingga kelas 2 ini, Jihad sangat menikmati untuk tetap berada di sekolah hingga jam 2. Bahkan beberapa hari ini, dia sangat susah untuk tidur siang. Staminanya seakan berada pada tingkat ‘habis di-charge’, semakin ada saja energinya untuk menolak istirahat siang. Walaupun, rutinitasnya setelah di rumah dia lakukan, namun yang satu ini, seperti ia kondisikan untuk kelas 3 nanti.

Maksudnya?

Ya, kelas 3 nanti, Jihad akan berada disekolah hingga jam 4 sore. Otomatis, kebersamaan kami harus lebih terletak pada kualitas. Ditambah kesibukkan sebagai aktivis pun telah menyita saya selama hampir setahun ini. Kadang di akhir pekan pun, saya habiskan sedikit waktu untuk berinteraksi dengan kegiatan yang seakan mudah menggunung. Serta merta, saya pun telah siap dengan jadwal untuk bulan berikutnya.

Membicarakan kesedihan (paragraf sebelumnya bukan kesedihan), saya sebenarnya telah berlaku egois pada bungsu saya, Kareem. Sejak akhir tahun lalu (awal tahun ini), Kareem sibuk merengek ingin sekolah. Segala pernik sudah sering ia kumpulkan. Tas pun siap dengan isinya setiap pagi, mengawali kesibukan saya selain mempersiapkan yang lain. Dimana egoisnya? Saya masih menahannya untuk bisa menemani saya selama dirumah. Segala cara saya kerahkan agar kareem melupakan keinginan sekolahnya untuk sementara waktu. Setiap ia mulai dengan rengekannya, saya mulai berdendang dan berlaku seolah-olah menjadi guru yang menyambanginya dirumah. Kareem kadang terkecoh, namun banyak tidaknya.

Ketika Jihad ingin sekolah, usianya 2,10thn. Saya dan suami, dengan suka cita menyekolahkannya di sebuah Play Group Islam pada tahun 2003. Kemajuannya memang pesat. Dari seorang guru yang berpredikat ’ummi, dia telah ’mengantongi’ beberapa hal sebelum mulai masuk sekolah. Jihad sudah mengenal huruf (latin maupun hijaiyah), mengenal bilangan angka, serta do’a-do’a pendek. Alhamdulillah. Lalu bagaimana dengan Kareem? Kemampuannya kurang lebih sama dengan Jihad, sedikit ’cepat’ dengan melihat contoh yang diberikan kakaknya. Usia hampir 3.5thn, dia dengan PD’nya mengetik namanya pada tuts komputer. Seorang yang mandiri, karena sejak usia 2 tahun dia telah memaksa saya melepas diapersnya, 2.5thn terbiasa buang air kecil pada tempatnya. Mandi dan berpakaian sendiri. Akan sangat tidak suka jika kita –yang sudah besar ini- mencoba membantunya.

Jika pada akhirnya egois saya tidak bisa dipertahankan, saya pun harus rela melepasnya untuk segera (pertengahan juli) memasuki masa sosialisasi, dunia disiplin, dan wawasan luas, di sebuah PG Islam. Dia pun sumringah. Ketika iseng saya dan dia ngobrol, tetap saja saya bisa melihat kemandiriannya;
”Ade nanti sekolah ya? Mau ditungguin sama Mi?”
”Anter aja. Ummi pulang aja lagi, nanti kalau sudah waktunya pulang baru jemput ade ya?”
Ups
,...belum dewasa saja, saya sudah memikirkan ”apakah kamu masih memerlukan ummi, Nak?” Konyol ya!

Saya sangat bisa merasakan, setiap anak mempunyai ciri dan ke’khas’an mereka masing-masing. Setiap anak mempunyai daya pikir dan nalar sendiri. Setiap anak berbeda. Namun kita yang dipanggil orang tua, kadang selalu terjebak pada status kita sebagai ‘orang tua’. Penempatan orang tua yang semestinya semakin bertambah umur akan berubah menjadi ‘teman’ bagi mereka. Kadang terjebak pada kasih sayang yang begitu meluap. Menjadi enggan membiarkan mereka bermain pada dunia yang akan mereka miliki, dan lupa melihat fungsi kita, menyelamatkan dunia mereka baik kini maupun nanti.

For sons of mine
I do love you
I do really want to share my colour with you
Much colour in yours
Colour of Love
Love from the Creator


1 a little note:

Anonymous said...

Sudah kangen dengan postingan anti tentang kids...
Begitulah ukhty... anak kedua, ketiga dst akan terbentuk menjadi seorang anak yang mandiri.
Mungkin karena dia melihat contoh kakaknya yang mandiri, atau karena kita yang secara tidak sadar membuatnya mandiri. How?
Dengan kesibukan kita, kita (tanpa disadari) memohon padanya untuk banyak melakukan hal-hal sendiri.