Tuesday, March 18, 2008

Behind The Story


Ada sedikit cerita pada saat merampungkan tulisan saya yang dimuat pada kumpulan kisah nyata ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’. Satu bulan, ide saya yang telah cair dan selesai menjadi satu jalinan cerita, ternyata harus dibantai lagi. Alasanya, karena naskah itu masih kental dengan nuansa non fiksi, maka jadilah pihak penerbit meminta saya guna memoles sedikit, agar menjadi kisah sejati. Waktu itu saya sempat bingung, bukan mengenai cara dan bagaimana memadu cerita yang sudah rapi, tapi lebih tentang menata hati milik saya. Karena pada saat itu, isi otak seperti membludak usai Muscab FLP Sengata, yang mendaulat saya untuk mengemban tugas pada tampuk pimpinan. (stop! jadi curhat deh)

Singkat cerita, kisah yang telah ditulis untuk penerbit, saya tarik lagi, dan saya diberi kelonggaran waktu selama seminggu untuk memperbaiki, kemudian mengirim ulang. Argghhhh…memolesnya dalam satu minggu, mungkin bisa. Tapi paniknya, ide saya yang lain malah bergelayut lagi, berpikir merombak semua kisah, dan mengganti subjek berikut isi naskahnya.

Lalu siapa? Cerita yang mana?

Menjadikan saya terkesan ‘menderita’ dan berusaha tidak cengeng akhir muscab, nggak asyik banget! Menelisik bahan hasil ‘keberanian’ teman-teman curhat pada saya, yang mana? Nah lho! Memang segitu banyaknya ya? Sampai-sampai bingung cerita mana yang akan diambil? Hm, bukan! Saya hanya tidak ingin sembarang menaruh curhat mereka, tapi lebih fokus pada tujuan untuk mengurai kisah, agar kita jangan selalu merasa menjadi makhluk paling menderita sedunia. Caranya, dengan membaca paparan dongeng ketegaran perempuan lain selain kita. Memang, ada beberapa yang mau dengan suka rela menyemangati saya untuk menjadikan kisah mereka dibingkai dalam satu cerita, tapi ada saja kendalanya. Salah satunya, saya menemukan kesulitan untuk menghubungi ‘pemeran’ kisahnya. Alhasil, saya pun kembali berusaha mencoba mengutak-atik cerita sebelumnya, dengan harapan, hasil polesannya akan indah.

Lagi-lagi, saya tetaplah saya, ngotot untuk menggolkan ide, walau jelas waktu mepet banget. Saya yakin, kalau niat yang tulus, pastilah tidak sulit untuk mencari nara sumber yang pas, untuk menggali hikmah dibalik ceritanya.

Lalu, datanglah ‘dia’. Seorang wanita muda, kerap tanpa sungkan mau
menegur dan mengajak saya berbicara. Ia bercerita banyak hal tentang dunianya dan dunia orang-orang disekitarnya. Sampai kemudian dengan rela, ia memberikan saya inspirasi menulis salah satu dari sekian ceritanya. Dia bahkan sangat membantu, mudah untuk dihubungi, baik melalui sms, atau hanya dengan email saja. Dari sisi penulisan pun, saya sempat terbawa dalam alur ceritanya. Emosi dan penjiwaan saya tuangkan dalam bait-bait cerita miliknya. Dan jadilah, polesan yang memang diinginkan penerbit, kisah nyata yang diceritakan dengan tipe kisah sejati, dengan judul, 'Walau Kemilaunya Semakin Pudar'.

Terus terang, pada awalnya saya pun tidak menyangka ide saya untuk punya kisah lain jatuh padanya. Sosoknya yang baru mengenal saya, justru punya daya tarik tersendiri. Dari seorang yang periang, ternyata menyimpan duka yang dalam. Niat saya untuk tidak hanya sebagai sparing curhatnya pun jelas saya lakoni. Banyak usul dan masukan yang akhirnya bisa membawa sedikit manis pada kehidupannya sekarang. Hingga setahu saya dia sekarang bisa menghilangkan luka boroknya sedikit demi sedikit.

Lepas itu semua, apa saya tidak masuk dalam kategori tema ‘Jangan Jadi Perempuan Cengeng’ hingga harus menaruh ceritanya untuk dijadikan bahan rujukan bagi wanita lain?

Saya merasa -memang- belum pantas untuk dijadikan cerita di buku itu. Saya masih tergolong wanita biasa dengan kehidupan biasa. Bahkan bisa dibilang, kehidupan saya terlalu mudah dibanding wanita itu. Saya menjalani hari-hari biasa dengan rutinitas biasa. Jika sibuk -menjelajah sampai ke pelosok-, itu karena saya sudah memproklamirkan diri untuk menyibukkan diri semasa masih diberi waktu untuk itu. Jika sedih, itu karena memang gen saya adalah tanda lingkaran dengan tanda plus.
Yah, that’s me, just an ordinary woman with simple life.

Banyak hal yang bisa didapat dari kumpulan kisah nyata pada buku itu. Kita –khususnya saya- tidak perlu mendongak ke atas untuk melihat kemilau permata yang tidak dimiliki, yang bisa saja menitikkan noktah bernama iri bersemayam. Pun tidak perlu menunduk lesu, memberi kesan selalu minder dan terasingkan. Sebaliknya, kita semestinya harus lebih sering memasang senyum bahagia, bisa memberikan arti walau kecil pada sedikit cerita yang menghampiri. Lebih harus mampu berbagi, walau terkadang ada rasa tidak adil melihat mereka yang tertimpa perih.

Jangan jadi perempuan cengeng, walau kemilaunya semakin pudar.


Karena kebahagiaan memang harus kita ciptakan. Jika kita membiarkan hidup kita senantiasa diwarnai tragedi, maka selamanya air mata akan membasahi pipi.
Dan kita kehilangan sebuah kesempatan besar.
Mengecap warna-warni indahnya dunia ini...
(Jangan Jadi Perempuan Cengeng, 2008)

12 a little note:

Ayu Ambarsari Hanafiah said...

oh semakin sukses saja dirimu sayangku? Benar-benar wanita ini.. lain kali bikin cerita tentang aku dong kak? Cerita yang jelek2 juga gpp. Heeee...

Harum Bunga said...

Sudah beredar di pasaran ya? Berapa harganya, mbak?

Shinta Octaviani said...

Wah...buku baru lagi! Hebring euy.. :thumb:

Anonymous said...

hiks...hiks...udah dua bukunya satupun blon kebaca... doain taun ini bisa pulang ke Indo yah...biar bisa beli bukunya...

kita sebagai wanita memang harus selalu tegar, yakin bahwa cobaan yg diberikan Allah tidak pernah melampaui batas kemampuan kita :)

Anonymous said...

@ ayu : tenang, kk udah siap dengan ceritamu yg emang..ya gitu deh :P

@ harum bunga : mungkin sebulan lagi ada ditoko-2

@ shinta : euleuh sanes hebring, biasa aja lagi neng

@ um ibrahim : kapan pulang ukh? sapa tahu bisa ketemuan :)

Ayu Ambarsari Hanafiah said...

yg emang.. ya gitu deh gmana??
agh =( promosikanlah ade mu ini kak..

Ryuta Ando said...

Jadi penasaran saya mau baca nih teh, ...

Aku juga klo bisa gag mau jadi wanita cengeng...*bisa gag ya*

Shella Mawardi said...

kayaknya kudu baca niy....secara tergolong cengeng banget....

Vera said...

Salut deh ma penulis..hebad..hebad...terusin ya nulis-nulisnya, Bunda...aku baca deh semuanya...beneran...

Anonymous said...

tentang cerita itu.... apakah memang diganti???benarkah????

Rey said...

whaa aku jadi pengen beli bukunya. Biar kata judulnya "Jangan jadi perempuan cengeng", tp aku rasa banyak perempuan yg bercucuran air mata pas baca buku ini. Mungkin isinya mirip2 "catatan hati seorang istri"nya Asma Nadia kali yaa?

Anonymous said...

Seandainya tulisan Rien di paragraf terakhir ini menjadi sinopsis buku tsb, buku itu akan nampak lebih menggoda untuk dibaca dan dibaca.

Rasanya buku ini lebih tepat untuk menjadi penyejuk hati kita ya Rien. Ah semakin penasaran untuk membacanya.