Wednesday, May 30, 2007

Ngaret bukan Budaya!

“Eh, inget loh, besok kita ketemuan jam setengah sembilan, jangan ngaret!”
“Okey, insya Allah saya usahakan nggak ngaret”


Dan, pagi itu saya sudah rapi jali duduk mematung didepan ruang pertemuan, sedikit kesal dan bertanya-tanya “kemaren kayaqnya saya deh yang diingatkan supaya nggak ngaret, tapi kok, malah saya yang kepagian?”. Coba aja gimana ngga kesal, saya sudah nangkring sejak pukul 08.10 menit, sampai jam tangan saya udah menunjukkan hampir jam sembilan, orang yang mewanti-wanti saya supaya ngga ngaret belum kelihatan batang hidungnya. Apa saya yang salah ya? Saking bingungnya, saya bolak-balik kertas edaran pertemuan hari itu -yang saya buat sehari sebelumnya-. Bener kok! Pertemuan dimulai jam 08.30 waktu indonesia Tengah. Masya Allah! ngaret amat yak! Jadi inget salah satu postingan, my dear Ria, tentang budaya ngaret ini.

Heran ya, orang suka sekali membuat janji dan membuat molor waktunya. Kalau dipikir, untung dari budaya ngaret ini apa sih? Dan budaya ini sangat-sangat melekat pada pribadi orang indonesia. Sampai ada yang bilang “kalau sampai nggak ngaret, bukan orang indonesia” Aneh kan? Kasian ya, orang-orang kita dikaitkan dengan budaya yang jelas-jelas tidak sehat dan merugikan.

Masalah disiplin waktu seperti ini, saya pernah punya pengalaman yang susah buat dilupain. Waktu itu saya masih SMU, salah satu teman ingin bertemu saya, di salah satu tempat, dekat dengan asramanya. Kebetulan dia adalah salah satu atlit daerah (pada cabang bulutangkis). Janjian jam empat sore pun disepakati. Ngga disangka-sangka, karena ada aral melintang, dan saya tidak bisa memberi kabar padanya, saya molor datang pas banget jam 04.30. Sampai ditempat, bisa dibayangkan si teman cemberut, sambil gedeg mungkin ya? Setelah saya hampiri, kulit yang membungkus tangan saya dicubit sekeras-kerasnya. Dia mulai mencerocos (hiya bahasanya!!), sambil bumbu-membumbui “Kamu tuh, dateng jam segini! Kesorean lagi! Katanya atlit softball? Mana jiwa disiplinnya?!?”. Masya Allah, tangan masih kerasa pedes, tampang perangas-peringis saya pun kena semprot. Tapi ampuh loh! Sejak saat itu saya berusaha untuk disiplin waktu, dalam artian, saya berusaha menjadi orang yang menunggu, daripada ditunggu. Walaupun menunggu sungguh menjemukan, tapi seperti kata mutiara jaman SD, lebih baik menunggu daripada ditunggu.

Kelihatannya ini hal yang sepele ya? Kenapa dipermasalahkan? Bukan masalah jam atau karetnya juga. Saya tergelitik akan halnya waktu yang bisa kita korting semau kita, padahal satu detik itu sangat berharga. Time is money. Bukan pula waktu dipersamakan dengan uang. Jika ditarik garis lurus, disamakan dengan uang, karena manusia lebih memilih pepatah ini. Mana ada manusia yang menyiakan waktu jika sudah menyangkut uang? Tapi, secara logika, saya menyamakan hal ini dengan nilai. Waktu adalah nilai. Yang jika kita komulatifkan akan sangat bisa memberatkan kita pada hal kebaikan. Dimana ya sangkut pautnya? Jika tepat waktu, kita sudah berbuat kebaikan pada orang lain yang bisa saja sebel menunggu kita, atau jika tepat waktu datang pada satu pertemuan, bukankah waktu yang biasanya dibuang untuk menunggu dapat digunakan untuk memperpanjang silaturahim dengan menambah materi pada pertemuan, tanpa harus melihat jam melulu karena sudah terikat dengan janji lain (ngaku! Saya tuh suka lirik-lirik jam, karena bentur-benturan dengan pertemuan setelah acara ngaret). Atau paling mudahnya, dengan tepat waktu, kita bisa mengurangi bahkan menghilangkan resah yang kadang terbelenggu di hati kita, yang dapat mengakibatkan otak tidak bekerja dengan baik. Seperti yang terjadi, kemaren saya celingak-celinguk, karena dari waktu yang ditentukan, ngga ada satupun anggota yang diharapakan hadir tepat waktu, sampai saya berpikir “Apa saya salah tempat ya?”. Akhirnya, saya bolak-balik ketempat yang satu dan ketempat yang lain. Hingga merasa dungu. Resah kan?

Disurat cinta SANG PEMILIK, kita bahkan diingatkan, “Demi Masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian”. Jelas, bahwa masa atau waktu adalah hal yang sangat berharga, yang jika dilewatkan akan merugikan kita baik materi maupun immateri. Tidak berguna jika diabaikan dan tidak akan kembali dalam keadaan sebaik-baiknya. Ngaret bukan hal yang bisa disebut budaya. Karena budaya sama dengan seni. Seni sama dengan keindahan. Keindahan bisa terletak pada bagaimana seorang manusia bersikap dan berperilaku. Jadi komplek.

Hal yang terburuk pada perkembangannya, saya pun harus mengikuti arus ngaret, khususnya di tempat kecil yang bernama Sangatta ini. Karena berpikir tidak akan menemukan kemacetan di jalan, hingga ngaret sah-sah saja. Sekarang, saya akan dengan sadar datang 5 menit bahkan 10 menit dari waktu yang ditentukan. Itu pun masih yang paling awal. Jadi kalau bikin waktu pertemuan jam 08.30, maka datanglah pada jam 09.00, molor 30 menit. Atau seperti yang baru-baru terjadi, waktu pertemuannya adalah jam 08.00, saya hampir telat hingga datang 09.00 (bener deh, ini karena ada proyek yang mesti diselesaikan, dan saya sudah memberi kabar pada penyelenggara). Sampai di tempat, dengan ngos-ngosan, ternyata….pertemuan masih adem ayem, alias belum dimulai. Kecele deh!
Loh, jadi tidak mengintimidasi yang lain untuk bisa tepat waktu?
Sudah! Kalau kasarnya sih udah sampai bengak-bengok lagi, tapi kenyataan tidaklah manis seperti yang diinginkan. Tapi, usaha intimidasi Insya Allah jalan terus. Hidup Intimidasi!!! *smile*

Monday, May 21, 2007

Anak 2 thn masih nempel? Wajar lagi...


Saya ingin berbagi pemikiran, kenapa ya anak saya usia dua (2) tahun masih lengket sama bundanya?
Ehem…ehem, bener loh, saya serasa pakar aja!

Umm, jadi begini,…bukan melangkahi para pakar (permisiiii…), mari kita buka wawasan kita sebagai ibu dalam menyikapi berbagai problema anak. Khususnya untuk ibu yang berkarir eight to five di luar rumah.

Hmmm…kenapa anak kita sudah usia 2 tahun masih lengket sama kita, khususnya ibu? Menurut buku-buku yang pernah saya baca. Usia 0-2 tahun adalah masa pembentukan bounding atau ikatan kasih sayang antara anak dan ibu. Dan akan semakin kuat apabila ibu bisa terus memberikan asi full hingga 2 thn, serta bisa membaca dan mengerti pola tingkah anaknya. Okey, saya percaya dan yakin akan ikatan bounding semakin erat karena ada kontak langsung. Terbukti dengan anak saya pertama, Jihad, walaupun menyusui hanya mampu selama 12 bulan, tapi ikatan saya dan dia kuat banget. Begitu juga halnya dengan anak kedua saya, Kareem. Walopun saya tidak bisa memberikan kemampuan saya untuk menyusui secara ekslusif (hanya bisa selama satu bulan), tapi saya berusaha menciptakan kedekatan kami, saya bangun ikatan bounding dengan selalu siap disampingnya ketika harus menyusuinya dengan menggunakan botol. Selalu mengajaknya ngobrol dan mengajaknya berdoa setiap minum susu.

Bagaimana, lengketkah anak-anak saya ketika berusia 2 tahun? Jawabannya, YA!

Jihad, ketika kecilnya nggak akan tidur siang kecuali ada saya disampingnya. Nggak akan mau makan kalau bukan saya yang menyuapinya. Agak repot, tapi saya nikmati saja. Bagaimana Kareem? Ini dia super duper lengket. Diusianya yang sudah dua tahun tiga bulan (27 bulan), dia ngga akan minum susu yang sudah siap dalam botolnya yang teronggok manis disampingnya, kecuali saya yang membuka tutupnya dan memasukkannya kedalam mulut kecilnya, walau setelah itu bisa ditinggal karena dia sudah bisa pegang sendiri. Kareem ngga akan bisa tidur kalau saya tinggal. Mau seharian saya tinggal pun, dia bakal terus melek, keukeuh nungguin saya datang. “Mau bobo sama Ummi” pasti itu yang dia jawab. Bagaimana? Repot kan kalau tergantung seperti ini. Segala urusan komite, tarbiyah, kumpul untuk kegiatan menulis pun harus saya selesaikan dengan memberinya pengertian terlebih dahulu. Lebih ampuh, ketika dia sudah tidur lelap.

Kadang saya mikir, gimana kalau saya kerja? Tambah repot bin riweuh kali ya? Harus ditempelin dan digandoli oleh anak bungsu ini. Tapi mungkin keadaan tidak akan sama seperti yang saya bayangkan. Karena teori-teori yang saya baca hanya mendukung. Selebihnya, pandai-pandai kita menerapkan dalam prakteknya sendiri.

Jadi menurut saya, ketika anak usia 2 thn sangat lengket sama ibu atau ayahnya, hal yang patut kita syukuri dan berbahagialah kita. Karena dengan cara itu, si anak mengungkapkan rasa aman dan tenangnya dia disamping kita. Sangat wajar! Apalagi tanpa kita sadari, kita sebenarnya sudah menciptakan bounding sejak ia dilahirkan. Itu sudah naluri kita sebagai ibu dan ketentuan dari SANG PEMILIK yang digariskan pada kita. Juga hal yang sangat wajar, ketika seorang ibu khawatir bahkan cenderung ketakutan jika anaknya kelak tidak bisa mandiri, atau tidak seperti anak lain yang seusianya sudah bisa mandiri. Persoalannya sekarang, apakah kita sadar bahwa inilah anugerah yang mungkin nggak akan didapat 3 atau 4 tahun lagi? Karena dengan beranjaknya usia anak memasuki dunia sekolah, kemandiriannya akan segera terbentuk juga. Seperti anak sulung saya. Sekarang ini, dia sangat malu-malu ketika saya peluk-peluk, atau dia mulai enggan jika saya ajak pada satu kegiatan, "Mau main sama temen aja" , dan hal ini mulai nampak pada saat usianya masuk empat tahun. Bisa dibayangkan, bagaimana sekarang ia diusia hampir 7 tahun? Bisa mandiri! Dan akan lengket kalau ada maunya.

So, still thinking to refuse some act that your child give to stop all of your activities?

Bagi saya pribadi, nikmati aja deh! Karena dengan cara demikian anak-anak menunjukkan sayangnya pada kita. Tinggal kita orang tua yang mengaku lebih dulu mengecap asam garam kehidupan, lebih dulu bisa menulis dan membaca dibanding anak-anak kecil ini, coba menyikapi lebih bijaksana. Memberi pengertian dengan bahasa sederhana akan lebih kena di pola pikir anak-anak itu. Walaupun anak-anak diusia 2 thn sudah bisa diperkenalkan pada reward dan sangsi. Tapi pelan-pelan. Seiring waktu, mereka akan paham apa yang mesti lakukan dan tidak perlu mereka lakukan. Buktikan deh! Saya berani bilang karena sudah saya buktikan sendiri. Karena setiap saya mulai merasa naik darah, Kareem, bungsu saya pasti akan bilang “Ummi ini, emang!”. Nah loh, omongan saya ditiru kan?

Dunia anak itu indah! Saya suka takjub ketika memasuki dunia ini. Serumit apapun masalah yang kita hadapi, akan sedikit terobati dengan mau memahami bahwa hal-hal seperti ini adalah rangkaian medali yang kita sandang sebagai seorang ibu. Saya malah selalu ingin bermain di dunia mereka. Jadi nggak heran, saya dan anak-anak bisa ketawa cekikikan atau terbahak-bahak, hanya dengan cerita-cerita lucu dari saya.

So, dari paragraf atas hingga spasi di akhir garis ini hanya sedikit pemikiran dan sikap saya. Silahkan ambil hikmahnya (mudah-mudahan ada) dan singkirkan ketika tersirat hal yang tidak pantas. Saya tidak bermaksud menggurui atau merasa paling bisa dan benar. Saya hanya berbagi, sedikit dari sekian yang saya ketahui. Karena ini juga menjadi cermin pola dan tingkah laku kita dalam menghadapi anak-anak sebagai amanah tak ternilai. Dan anak-anak juga bisa menjadi ujian bagi iman kita

Umm….saya jadi ingat, suatu sore diberanda masjid, ibu-ibu yang sedang liqo, terlihat bangga ketika anak-anaknya lengket dan gembira berdekatan mereka. Terbukti dengan ucapan salah satu dari mereka; “Aku bisa marah dan heran deh kalau ternyata anakku bisa deketnya sama pembantu. Lha aku ibunya kok, seneng dong digandoli”. Atau seorang temen saya yang juga bekerja diluar rumah berkata; “saya mulai kesepian nih! Anak-anak saya udah pada gede, jadi nggak mau ngebuntutin saya. Kayaqnya saya harus punya baby lagi deh!” *smile*

Sunday, May 13, 2007

Kebahagiaan Blogger

Ini blog pribadi! Mau diapakan juga adalah hak priority si pemilik. Duh, semoga tidak menyinggung siapa pun. *Smile*

Benar! Tidak ada satu pun perundang-undangan yang mengatur bahwa blogger harus begini atau harus begitu. Untuk terus up date atau hiatus pun adalah sah-sah saja. Mau dilewati ataupun dikomentari puluhan bahkan ratusan orang pun tidak akan menjadi perkara yang –sekiranya- meresahkan. Demikianlah blog dan pemiliknya berlaku menurut pemikiran saya.

Memasuki dunia blog, bukan tanpa alasan yang tidak jelas. Merasa diri khalifah dan kewajiban menyampaikan kebajikan walo hanya satu ayat, yang menjadi alasan idealis bagi saya. dan inilah satu hal yang tidak bisa dinilai dengan mata uang bahkan komentar yang membumbung. Menulis bagi sebagian orang adalah kegiatan dimana mereka menuangkan segala bentuk aktifitas didalam kehidupannya. Demi memperluas tali silaturahim, mengenalkan dunia mereka, dan lain sebagainya yang mendukung terciptanya sebuah ‘rumah maya’ yang disebut blog. Akhirnya ngarainya bermuara pada blog tidak lepas pada kegiatan penulis dalam menulis.

Salah satu postingan mailing list FLP, yang membuat saya sadar dan seperti inilah yang ingin saya sampaikan “darimana kita mengenal dunia sunyi tulis menulis ini….! Menulis bisa kita asumsikan dengan "kencing" karena kita sudah banyak "minum" artinya menulis adalah kerja lanjutan dari membaca. Orang banyak menulis sudah pasti dia banyak membaca”. Lalu menuilis untuk siapa Tetapi apabila menulis adalah sebuah kegiatan dakwah tentunya akan berbeda pula cara niat dan metode. Apalagi, apabila kegiatan menulis dijadikan seseorang menjadi rangkaian panjang aktivitas revolusi tentunya menulis merupakan kegiatan tanpa pamrih berharap pada uang belaka. Menulis akan menjadi ruh dan nafas dimana dia menyerukan kebenaran yang diyakini, bersifat ideologis dan tidak hanya bersifat trend seperti menulis artikel untuk media massa. Menulis dalam tujuan ini berbeda pula dengan menulis diary. (jazakallah buat akhi sholihin_nur)

Kebahagiaan dari seorang penulis lepas (blogger) adalah ketika adanya penghargaan dijeniskan pada kriteria tertentu dari seorang penulis yang mempunyai banyak buku (terlebih pada buku spiritual), mempunyai misi dan visi disetiap penulisannya, mau bertandang dan mengajak saya untuk belajar lebih banyak. Penulis buku spiritual ini berkenan memberikan komentarnya pada tulisan saya ini, berikut : Penulis yang tidak membodohi pembaca memang seperti “tukang sihir”. Nyaris seperti kapas yang ringan, melesat dan melayang. Subhanallah. Tersanjung. Saya jadi malu dan GeeR

Penulis yang tidak membodohi pembaca, itulah yang ingin saya ungkap. Menulis dan penulis adalah kaitan yang tidak bisa dilepaskan (jelas saja). Tapi penulis suka dikaitkan pada dunia khayalan. Bagi pribadi saya, tidaklah demikian. Menulis adalah ungkapan yang harus keluar seperti nafas, pelan dan pasti. Jujur tentu. Hal yang tetap bisa diajukan sebagai acuan adalah apapun yang kita lakukan adalah ibadah, pasti akan diminta pertanggung-jawabannya kelak. Lalu bagaimana jika apapun yang kita lakukan dalam hal ini adalah menulis diawali hingga dilanjutkan untuk tidak jujur, lalu ‘penulis membodohi pembaca’? siap bertanggung-jawab nantinya?

Saya juga masih seperti anak pitik dalam menulis, masih bau kencur dalam perblog-an (hingga SB diperlukan sebagai jendela, karena ketidak-familiaran blogger tidak seperti w********, atau …net), masih terseok-seok untuk BW (maafff).
Maka mari kita sama-sama belajar, untuk lebih bisa bertanggung-jawab pada apa yang kita lakukan. dan semoga kita bukanlah penulis yang membodohi pembaca.

Monday, May 07, 2007

Jenuh

If you go back in time
To the place in your mind
To the one who knew
A part of you
That you just couldn’t find…

David foster – when she dance


Saya type yang suka dengan mengenang hal yang indah dan mengesankan ketika kejenuhan tiba-tiba nomprok. Saya kan juga manusia, yang jenuh pasti ada. Walaupun bisa dikatakan kegiatan saya berputar pada dunia yang saya ciptakan dengan kebahagiaan yang –selalu- saya usahakan selalu ada.

Suatu hari, saya sedang berbincang-bincang dengan salah satu teman yang sejak awal kami ngobrol, insting saya mengatakan, dia menyembunyikan sesuatu. Sebut saja dia U. Dia adalah teman yang bisa saya ajak berdialog mengenai dunia penulisan yang kami sama-sama miliki. Kami bisa sama-sama memberi masukkan, dan juga bisa sama-sama mengkritik. Satu hal lagi, kami sama-sama menjaga tidak adanya interaksi mengenai bagaimana keluarganya, atau bla…bla…karena sudah disepakati tidak ada urusan privacy yang bisa dicolek dari kedua belah pihak.

Hingga, satu waktu, ditengah perbincangan kami, dia berbicara “mbak, bisa memberikan tausiyah buat saya? saya sedang jenuh!”. Dan tada! Seolah-olah saya langsung bisa melihat bagaimana dia selama ini dan apa yang membuatnya jenuh. Saya langsung menebak, dimana titik jenuhnya. Dia akhirnya jujur, bahwa selama ini dia harus berbohong pada semua orang, termasuk saya, karena dia jenuh pada status dan keadaannya sekarang. Mengalir lagi cerita darinya, bahwa ini dorongan karena teman-temannya terus mendesak, mengintimidasi, dan lain sebagainya. Dan tentunya aliran pernyataan ini diiringi permintaan maaf dia. Karena akhirnya dia mengaku dia seperti tersihir pada setiap kalimat saya, hingga dia bersikeras ingin jujur pada saya (saya seperti tukang sihir yak?).

Saya hargai kemauan U untuk berterus terang. Karena saya sadar bukan hal gampang buat dia untuk mengakui semuanya. Tapi (ada tapinya), saya kurang sreg bahkan cenderung tidak suka adalah U tidak jujur karena jenuh. Alasan yang sangat tidak bisa saya terima adalah, tidak jujurnya. Kenapa sih jenuh lalu berbohong? Bukankah ada riwayat, Ada seorang wanita yang datang pada Aisyah. Aisyah memuji wanita itu sebagai ahli ibadah yang luar biasa, karena saking tekunnya ia menyediakan tongkat untuk berpegangan jika ia sudah tidak kuat berdiri ketika sholat. Ketika hal itu disampaikan pada Nabi saw. Nabi bersabda : Jangan berlebihan, Allah itu tidak akan jenuh hingga engkau jenuh. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa Allah seperti prasangka hambanya (itu kenapa diharuskan untuk positive thinking), dan tidak menyukai hal yang berlebihan, makanya untuk apa berbohong jika merasa demikian? Sangat berlebihan jika harus tidak jujur.

Ketidak-sregan saya bertambah ketika U mengatakan kebohongannya juga agar perbincangan dengannya lebih seru saja. Darimana U bisa melihat serunya? Saya ungkapkan dengan tanpa dibuat manis, bahwa kesia-siaan yang akan dia peroleh jika menganggap dosa kecil ini adalah bumbu dalam perbincangan/dialog/whatever.

Bagaimana saya jika sedang jenuh? Saya akan sedikit berpaling dari hal yang membuat saya jenuh. Sedikit membenahi dan siap untuk kembali lagi. Atau bisa sedikit membuat tantangan yang sekiranya dapat membuat saya lebih bergairah untuk melakukannya. So simple? Yup, so simple!

Jenuh bukan alasan untuk kita memupuk kesia-siaan bukan?

Wednesday, May 02, 2007

Pahlawan (benar-benar) tanpa tanda jasa

Terpujilah…
Wahai engkau…
Ibu bapak guru…
Namamu akan selalu hidup …
Dalam sanubariku…
…la…la…teruskan sendiri…

Hymne Guru, diciptakan Sartono.

Hari ini di Indonesia adalah hari pendidikan. Saya ingat sekali, hari ini pada waktu puluhan tahun, ketika masih duduk dibangku sekolah. Dimana-mana sejak jauh-jauh hari, sudah dipersiapkan berbagai macam kegiatan untuk menyambut hari ini. Biasanya yang paling ngga ditinggal adalah upacara peringatannya, dengan lengkap menyanyikan hymne guru ini. Syahduuu banget. Dan lagu ini adalah salah satu lagu yang saya sukai. Entah kenapa, ada perasaan sendu mendengar atau menyanyikan lagu itu. Dan cepet hapal aja dengan lyricnya.

Senang dan sangat menyukai lagunya, ternyata bukan hal yang bisa membuat dada plong, ketika tadi pagi, pada salah satu televisi swasta, ditayangkan profil pencipta lagu ini. Pak Sartono. Beliau adalah seorang guru (juga) SMP yang telah mengabdikan separuh umurnya untuk pendidikan, tidak pernah sedikit pun mendapat royalty atau apalah yang bisa menghargai lagu hasil karyanya ini. Walaupun ada satu hal yang sangat menghibur dirinya, adalah pemberian sepeda motor yang dihadiahkan kepadanya (saya lupa oleh menteri atau siapa) pada masa pensiun ini. Dari gambaran ini, yang bikin saya tambah pengen nangis (cengeng amat yak!?) adalah beliau telah menjalani masa mengajar dan tidak bisa dikatakan pensiun. Kenapa coba? Karena kita semua tahu pensiun berarti tidak bekerja atau habisnya masa produktif seseorang dalam suatu instansi atau lembaga dengan diberikannya tunjangan selama hidupnya (itu yang saya tahu). Tapi ini tidak berlaku bagi pak Sartono. Karena selama beliau mengajar tidak pernah diangkat menjadi guru tetap atau pun PNS, alias guru tidak tetap -atau honor namanya pada jaman sekarang. Jadi tidak mungkin uang pensiun akan mengalir!

Beginilah dunia pendidikan dipandang sebelah mata. Orang-orang yang berkecimpung didalamnya pun hanya dapat berteriak dan menjerit dalam hati. Lalu pasti ada yang bergumam “kenapa juga mau aja dengan honor dan jabatan yang tidak tetapi masih aja ngajar? Kan udah tahu rugi?”. Sempit! Sesempitnya dunia yang memuat orang-orang untuk berpikir seperti ini. Bagi saya, ilmu itu tetap harus mengalir selama kita masih diberi kepercayaan untuk mendekap ruh kita. Dimana pun itu! Ketika seorang Sartono tetap ngeyel mengajar tanpa diangkat menjadi pegawai tetap atau PNS, dapat dibayangkan apa yang ada dihatinya. Beliau mengajar demi ilmu yang harus ia berikan pada anak didiknya, agar kelak bisa membuka mata dunia akan hal-hal sepele seperti ini. Lalu kenapa juga sekarang membongkar hal seperti ini? Kenapa tidak ikhlas saja dengan keadaan ini? Kalau tidak terangkat ke permukaan, mana bisa Indonesia maju pesat diatas landasan yang dulu pernah disiapkan pada jaman orde baru! Dan ikhlas bukan berarti membiarkan hal sewenang-wenang ini terjadi lagi pada generasi guru-guru baru yang akan terus bergulir.

Guru juga termasuk buruh yang teraniaya oleh ketidak-adilan system perundang-undangan yang diatur oleh yang berwenang. Ketidak-seimbangan apa-apa yang harus mereka dapatkan dari pengorbanan waktu dan tenaga mereka untuk memajukan pikiran dan otak generasi muda.

Okey…okey…lalu bagaimana dengan guru-guru yang banyak kita ketahui dari media telah melakukan hal-hal yang tidak senonoh kepada anak muridnya? Guru yang kasar, bisa menampar, memukul, menendang anak muridnya. Bahkan bisa berlaku lebih sadis! Inilah yang dibilang ketidak-seimbangan yang dapat mengakibatkan ketidak-mampuan ruh mengikat nafsu kufur. Bahasa sulit! Okey, mudahnya, jenis guru seperti ini cukup diberi bintang tanda jasa didalam penjara deh.

Jadi, kita sebagai generasi yang mau dianggap berhati nurani haruslah bisa menyikapi hal ini lebih arif. Paling tidak dalam lingkungan kecil sekitar kita dulu. Misalnya kepada guru anak kita yang walaupun sekarang masih ada di play group. Memberikan sedikit rasa asih kita pada mereka, dalam bentuk apapun.

Eumm…Bisa ngomong gini emang sudah melaksanakannya? Alhamdulillah, saya mencoba berusaha untuk bertanggung-jawab pada apa yang saya tulis. Dan ngga mau lah saya dikatakan omdo. Its mean Omong Doang.

Hormatilah mereka yang mempunyai pekerjaan sebagai guru, mau itu guru lukis, guru masak, guru menari, whatever. Karena ilmu yang ktita dapatkan melalui perantara mereka. Ga bisa dipungkiri apapun yang akan dipaparkan.

Saya juga guru. Bagi anak-anak saya dan orang yang mau berguru dengan sedikit ilmu cetek saya. *smile*

Terima kasih guru, semoga hidayah dan rahmat Allah selalu tercurah padamu, guru.