Good Bye, My Sister...
Kemaren, saya masih melihat senyumnya mengembang, sambil menggenggam tangan saya dan menempelkan ke pipinya, “Assalamu’alaikum mbak!”. Seorang gadis belasan tahun, tingginya sebahu saya, kulitnya hitam, dan wajahnya manis. Matanya bulat, santun dengan kerudung putih yang selalu ia kenakan setiap kali saya mengunjungi sekolahnya untuk membimbing ia dan teman-temannya.
Nama gadis itu mengingatkan saya pada nama seorang artis, yang beken pada saat ia dilahirkan, Sinta Bella. Lalu, ketika saya tanya dan ia sebutkan namanya, saya tersenyum dan dibalas senyum malu menyembul dari sudut bibirnya. Senyum malu seorang gadis yang berbeda 18 tahun dari umur saya.
Ia tekun. Setiap kalimat yang keluar dari bibir saya, ia telaah dengan baik. Setiap saya tatap matanya ia serius menatap balik dalam mata saya. Hingga sesi diskusi bisa sukses saya pancing pertanyaan-pertanyaan, yang pada awalnya enggan ia bagi.
Sejak minggu ketiga desember lalu, saya tidak bertemu dia lagi. Karena memang kami merencanakan untuk off dulu sebelum ujian. Hingga pagi hari pada awal januari, sebuah kabar datang, ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Kala itu, saya pun sedang terserang demam, tidak enak badan, apalagi cuaca memang tidak bersahabat. Dengan perasaan bersalah, saya hanya bisa meneleponnya. Menanyakan kabarnya, lalu menitip doa dan kangen saya buat dia dan teman-temannya. “Terima kasih, mbak. Udah mau nelpon saya.”
Nama gadis itu mengingatkan saya pada nama seorang artis, yang beken pada saat ia dilahirkan, Sinta Bella. Lalu, ketika saya tanya dan ia sebutkan namanya, saya tersenyum dan dibalas senyum malu menyembul dari sudut bibirnya. Senyum malu seorang gadis yang berbeda 18 tahun dari umur saya.
Ia tekun. Setiap kalimat yang keluar dari bibir saya, ia telaah dengan baik. Setiap saya tatap matanya ia serius menatap balik dalam mata saya. Hingga sesi diskusi bisa sukses saya pancing pertanyaan-pertanyaan, yang pada awalnya enggan ia bagi.
Sejak minggu ketiga desember lalu, saya tidak bertemu dia lagi. Karena memang kami merencanakan untuk off dulu sebelum ujian. Hingga pagi hari pada awal januari, sebuah kabar datang, ia terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Kala itu, saya pun sedang terserang demam, tidak enak badan, apalagi cuaca memang tidak bersahabat. Dengan perasaan bersalah, saya hanya bisa meneleponnya. Menanyakan kabarnya, lalu menitip doa dan kangen saya buat dia dan teman-temannya. “Terima kasih, mbak. Udah mau nelpon saya.”
Berlalu, sampai pertengahan januari, saya hanya mendapat kabar dari smsnya, bahwa dia tidak bisa mengikuti kegiatan kami seperti biasanya, karena kondisinya yang masih sangat lemah. Saya balas, “Iya de, Mbak ngerti. Cepet pulih ya! Setelah kelar rihlah, mbak dan teman-teman akan jenguk ya. Salam sayang dari mbak”
Yah…saya memang telah menjenguknya. Selesai tiga pekan berturut-turut saya harus berada dilapangan untuk menyegarkan keadaan binaan, saya memang bisa juga menembus rumahnya yang jauh dipelosok. Saya bersama-sama temannya, berkumpul dalam salah satu ruang sempit pada bagian rumah sederhana milik orang tuanya.
Saya memang menjenguknya. Namun, ia tidak bisa menghampiri saya sambil menggenggam tangan saya lalu menempelkan pada salah satu pipinya. Saya hanya bisa melihat senyumnya dalam kaku. Matanya yang basah oleh air mata perpisahan. Tubuhnya yang bersih mulai ditutup kain kafan. Ia membeku. Dan saya memang telah menjenguknya.
Saya teringat kamu. Karena dia pergi juga karena merasakan sesak yang teramat sakit. Dia tidak bisa bernafas. Keadaan ekonomi keluarga yang seadanya menyebabkan terlambatnya pertolongan yang diberikan. Karena, ternyata dia telah merasakan sakit ini sejak lama. Namun tetap hanya bisa dirasakan dan dipendam, mengingat ayahnya hanya bekerja di kebun dan ibu hanya ibu rumah tangga. Subhanallah.
Kalau sekarang hati saya memang tertaut pada sosok mungil ini, walau hanya 7 pertemuan kami melewatkan dengan berdiskusi, tapi ikatan hati saya padanya susah untuk digambarkan. Dalam limbung saya coba menyeka airmata dan melihatnya sekilas. Saya tidak kuasa. Saya tidak mau mengiringinya dengan sesegukan yang pastinya akan sakit.
Selamat jalan, De’. Walau 7 pertemuan kita lalui, tapi banyak hal yang telah kita bagi. Senyum kecil dan kerlinganmu tetap ada dihati. Cukuplah, hati dan jiwamu melayang bersama indahnya kebersamaan kita. Cukuplah, saya menyertaimu walau sesaat. Titip rindu untukmu, serta sahabat yang masih menanti.
“Alangkah sunyinya syurga, jika kita hanya meminta keselamatan bagi kita sendiri. Alangkah sepinya sungai yang mengalir didalamnya, jika kita tidak berusaha mengajak mereka bermain dipinggiran kecilnya. Maka, ajaklah saudaramu yang lain, kelak kalian akan bercengkrama, bercanda dan berkasih-sayang didalamnya, selayaknya ketika kalian saling berkasih-sayang ketika masih berada didunia pinjaman ini.”
mengenang almarhumah, gadis mungil yang telah pergi. Rindu akan sosoknya yang menanti dengan senyum di sudut bibirnya.