Thursday, April 15, 2010

Menyemai Harapan dalam Usia

Pada akhir januari yang lalu, bungsu saya mengatakan sesuatu yang membuat saya tersenyum geli, sambil memeluknya, “Mengapa tidak ada faiz, noval atau teman yang lain kerumah kita? Mereka tahu nggak sih, hari ini aku ulang tahun?”

Saya ungkapkan padanya, bahwa tidak mesti semua orang tahu hari ini, tanggal itu, kamu dilahirkan ke dunia, memasuki alam yang akan membawamu pada berbagai macam warna, dimana adakalanya kamu akan menemukan warna yang satu ini. Warna ketika semua bertepuk tangan, bersorak sorai, berdendang, sambil meniupkan lilin, memotong kue dan mendapatkan banyak benda dibungkus kertas cerah menggoda. Setelah itu, apa yang akan kamu rasakan? Kelelahan, kekenyangan, lupa mengingat telah melakukan apa selama 365 hari dalam hidupmu, terlanjur dibuai mimpi berselimut hadiah semu.

Dia baru berumur 5 tahun waktu itu. Jika dikatakan kecil untuk sebuah penjelasan moral, bertele-tele dan terlalu jauh untuk menyentuh sisi jiwanya, saya tak pernah berkecil hati. Dia bukan orang pertama, bukan anak kecil pertama yang pernah menerima penjelasan seperti ini. Ada sulung yang telah mengalaminya, dan dia mulai mengerti sebatas area pikiran seorang bocah beranjak remaja.

Ini bukan masalah egois atau pelit. Walau tak dipungkiri, ada kaitannya dengan uang yang akan terhambur tanpa arti. Ketika ia berusia 1 thn, kami merayakannya dengan seharian saya berkutat dengan adonan cake, dengan wajahnya yang terpampang di permukaan. Menyiapkan tumpeng dan tetek bengek lainnya. Kemudian kami pun berdoa bersama keluarga besar, ada kakek neneknya, sepupunya, juga anak-anak yang tidak mampu, juga cacat fisik dan mental. Khidmat, walau saya yakin, ia pun tak mengerti untuk apa segala kemeriahan pada waktu itu. Hanya sekali, ketika tiap-tiap mereka berusia 1thn. Selebihnya, saya sendiri berkutat dengan adonan kue, membuat makan malam, menyiapkan bingkisan sederhana –barang yang sangat mereka perlukan-, lalu duduk berempat, berdoa, dan mengurai kalimat-kalimat sederhana mengenai makna kelahirannya. Menyenangkan bukan berarti harus berfoya-foya, makan-makan, berlimpahan hadiah dan lain sebagainya, bukan?

Tidak mudah memang, memahamkan sesuatu yang mereka pandang adalah satu kesenangan. Tapi cukuplah lega ketika sejauh ini, mereka masih tidak terlalu ambil pusing dengan bentuk perayaan tersebut. Ketika suatu hari anak saya pulang membawa satu kotak kue dan bingkisan dari temannya yang berulang tahun, kami pun tetap menerimanya dengan mendengar ocehannya. Ketika mereka mendapat ucapan selamat dari kakek neneknya, dan kami, mereka pun tidak terlalu menghiraukan akan pentingnya ucapan itu selain tersenyum dan bertanya, “Hari ini umurku bertambah?"

Itu pula yang saya rasakan ketika seusia mereka. Bedanya, tidak pernah ada permintaan untuk bisa dimeriahkan, namun orang tua selalu ingin melakukannya. Dalam hidup selama 35 thn ini, telah dua kali orang tua berhasil melaksanakannya. Berhasil membujuk saya, berhasil mengumpulkan para kerabat, tetangga, teman sepermainan –sepermainan saya dan sepermainan orang tua-. Semua begitu menikmati, dan saya pun menikmati, meski dalam kebingungan. Bingung, mengapa harus dirayakan? Mengapa ada kado-kado yang rata-rata sama jenisnya? Ah, ternyata biasa saja.

Runyamnya, seiring sejarah perjalanan hidup, malah membuat saya semakin tak tenang menjelang tanggal kelahiran. Terlalu membayangkan kejadian aneh atau apalah yang mengisyaratkan semakin berkurangnya usia. Namun ada hal yang patut disyukuri, saya terbiasa menerima ucapan dari segelintir orang, yang saya yakin, mereka memang hapal dan mengingatnya. Itu saja dan itu lebih baik. Jujur, saya pun tak begitu menghiraukan. Semakin sedikit, semakin tenang dan bahagia rasanya. Hingga, setahun lalu, saya lupa tanggal lahir sendiri, ketika ada yang mengucapkan, saya pun terperangah, padahal waktu itu tengah menyiapkan kue ulang tahun salah satu teman baik. Bahkan beberapa hari yang lalu terkekeh, ketika mereka, ketiga lelaki itu, mendatangi saya yang dan membisikkan doa di telinga. Ups, bukankah menyenangkan ketika tidak mengingatnya?

Entah sampai dimana perjalanan hidup ini harus dilakoni. Usia hanya angka, menandakan sekian tahunlah kita telah diberi waktu untuk selalu mencoba menjadi yang terbaik diantara sekian yang terbaik. Angka dimana, tak mampu mengubah seseorang untuk bisa menjadi lebih baik, jika pada hakikatnya ia tak dapat mengerti bagaimana meraih hal-hal baik tersebut. Angka tak bisa menjamin kebahagiaan yang mungkin saja dicari, namun masih mengawang, menembus arakan mendung dalam hati, jika manusia begitu mandul memahami arti kebahagiaan itu sendiri. Angka hanya angka, tak melebihi atau mengurangi nilai kita dimata Sang Penilai Hati, jika itu semua tidak kita komulatifkan dengan muatan amal baik yang seharusnya menjadi pembesar, sebesar atau melebihi angka usia yang dimiliki. Lalu, tetap saja, apalah artinya sebuah angka, jika tak sedikit pun kita pandai memanfaatkannya.

Hari ini, mari menyemai bibit harapan paling indah, mulai menghitung mundur, memupuk dengan empati, menyiramnya dengan menilik dan merenungi segala yang telah diperbuat. Menggemburkan serta menyesuaikan takaran yang belum terselesaikan. Harapannya, prilaku tak berkenan, hati yang terkadang tak mudah ikhlas, jiwa yang kadang kala terombang-ambing, mampu dipangkas, dienyahkan, tak akan terulang lagi. Semoga dalam 365 hari kedepan, kita siap menuai tunas-tunas berisi kebaikan, serta hal positif jadi mengganda. Semoga, kelak tak ada lagi pertanyaan, sudah sejauh mana umur ini digunakan untuk bisa berarti? Semoga.



Note: terima kasih pada kedua Pangeranku, yang dengan lahap menyantap suguhan yang Raja persembahkan pada Ratu