Tuesday, March 02, 2010

Memaknai Perpisahan

Segumpal rindu melayang pada awan putih
Berarak menjauh
Membawa segaris senyum dihembus angin
Membentuk siluet asa terentang dihadapan
Menembus relung jiwa
Membisikkan kalimat...betapa kita telah berjarak,
…tapi tidak dengan hati...


Salah seorang teman, berkali-kali mengeluh, rindunya ia pada sosok yang berperan penting untuk jiwanya, begitu mendesak, bahkan tak jarang bisa ia tumpahkan dengan tangis. Sosok sahabat yang setelah sekian lama bersama, harus pergi diam-diam, dengan alasan yang mungkin tak dapat ia terima. Ini yang menyakitkan, sungguh tidak ada alasan yang masuk akal?

Berbicara tentang perpisahan, saya pun mengingat perpisahan dengan sejumlah kawan. Berbagai macam bentuk mengapa harus berpisah, dan karena kepindahan, itu paling sering dialami. Ketika rindu, kami kerap mengirim pesan singkat ataupun menelpon, menanyakan kabar, menanyakan segala kegiatan kami sejak berpisah. Saling memberi masukan ataupun ide, yang terkadang konyol, melenceng dari yang diharapkan, tapi sangat menyenangkan, untuk kemudian mengurai tawa, bersama-sama membayangkan masa lalu pada saat masih dalam satu ruang dan waktu. Setidaknya kami sadar, jarak kami tak mungkin bisa ditempuh dengan singkat, namun bisa begitu nyata dengan teknologi yang semakin sangat membantu. Apalagi jika hanya sekedar untuk mengungkap rindu, pun tak segan lagi. Karena memang saling merindukan.

Namun jika perpisahan terjadi disebabkan oleh kematian? Ah, jangan ditanya seperti apa rasanya. Saya pun beberapa kali mengalaminya. Pertama kali rasanya sakit luar biasa. Mendengar kabarnya saja, perasaan berkecamuk, berpikir bahwa dunia sepertinya tak ingin memberi kesempatan pada kami untuk bisa saling mencintai lebih jauh. Hingga melemparkan masing-masing kami pada ruang dan dimensi yang berbeda. Saya selalu terkenang akan kebersamaan tanpa bisa meluapkannya dalam bentuk nyata. Walau pada akhirnya menyadari, hal ini bisa terjadi pada siapa saja, apalagi jika baru pertama kali, wajar sakitnya begitu terasa. Lalu ketika berulang untuk kedua kalinya, saya pikir akan berkurang kadarnya, paling tidak saya telah tahu bagaimana rasanya. Ternyata tidak. Sakitnya pun masih diluar batas biasa. Hingga ketiga kali dan entah telah berapa kali, tetap berulang, walau pada kenyataannya saya selalu ‘sok gagah’ bisa menguasainya. Begitulah, berbilang tahun kepergian orang-orang yang dekat dan pernah mewarnai hidup saya, seperti tetap saja ada yang mengganjal.

Perasaan betapa, dalam hidup, ada peran seseorang yang bisa sangat berarti setelah kebersamaan tak dapat dengan mudah bisa terwujud. Semakin membilur, membekas, setelah seseorang itu, sama sekali tak dapat kita temui, bahkan untuk dijangkau.

Perpisahan, bagaimana pun bentuknya tetaplah akan menggoreskan rasa nyeri, yang kadarnya tidak bisa disamakan. Kadang seseorang menjadi sangat tidak terkontrol bahkan terus mengenang jika perpisahan itu tidak bisa dimengerti dengan nalar maupun jiwa. Terkadang mampu menembus alam bawah sadar, merasa bahwa sebenarnya pemeran utama dalam perpisahan itu adalah, diri sendiri. Alangkah menderitanya, alangkah tidak adilnya. Begitu?

Jangan berpikir bahwa ini tidak adil untukmu, justru untuk manusia lain, inilah keadilan itu. Kalimat ini terlontar ketika saya dan salah seorang sahabat saling mengingat bentuk-bentuk perpisahan yang pernah dialami. Belajar memaknai sebuah perpisahan itu lebih menyenangkan, ketimbang menggerutu, mempertanyakan mengapa tidak adil dengan jarak yang terbentang. Bukankah adil atau tidak, bukan merupakan hak sepenuhnya dari sisi pribadi kita untuk menilainya? Bukankah masih banyak ketidak-adilan orang lain yang justru kita syukuri sebagai bentuk keadilan untuk kita. Sebaliknya bahkan, mungkin saja itu membuat manusia lain merasakan bahagia. Mungkin saja.

Tengoklah ke belakang. Apa yang telah kita perbuat pastilah menghasilkan sesuatu sesuai keinginan kita atau sebaliknya. Itu lumrah. Lihatlah apa yang telah kita upayakan, semua berpulang pada kehendak dari segala pemilik kehendak. Lihatlah ke depan. Jalani saja. Jika menemukan betapa luas bentuk kebahagiaan itu, sisiri perlahan-lahan. Ketika semakin lapang menelusurinya, semakin banyak perasaan bersyukur yang akan dilontarkan. Bahkan untuk sebuah perpisahan.