Monday, December 08, 2008

Berkurban


Tidak gampang, mengikhlaskan sesuatu yang sangat kita sukai, untuk dipersembahkan, dimiliki oleh orang lain. Perlu ketegaran serta hati besar untuk bisa ditunaikan dengan baik. Tidak mudah! Bahkan untuk arti ini, seorang anak kecil pun perlu dididik awal atasnya. Karena jika ia telah dewasa, kerap tak mudah meluruskan pemikiran tanpa ternoda.

Itu pun jelas terlihat, hari-hari begitu menyita waktu, menjelang hari-hari perayaan kurban. Beberapa perempuan dan lelaki, meluangkan waktunya seharian, duduk dalam sebuah forum, dari cerah hingga lesu menjelang malam. Ini pengorbanan. Karena diantara mereka ada yang datang setelah selingan penganan kue-kue kecil tersaji, atau diantara mereka telah beredar sebelum palu diketuk.

Di tempat lain pun demikian. Berderet mobil, berkilo-kilo berakhir pada satu titik pun terlihat akhir-akhir ini. Titik kecil yang kerap diributkan menjelang Desember, karena isunya akan mengalami penuruan harga. Tempat penyimpanan dan pendistribusian BBM. Mereka berkorban keukeuh antri, dengan pergerakan yang tidak signifikan, karena memang tempat itu belum ada pasokan bensin yang telah dijanjikan akan datang sebentar lagi. Dari pagi hingga jelang senja, masih sama. Pasokan itu belum nampak. Ini pun pengorbanan bagi oknum lain. Demi melihat harga yang sedikit turun, pikiran nakal serta kesempatan yang terbuka lebar, membuat perlakuan bernama manipulasi. Membuatnya aman melimpah ditempat mereka.

Kita memang seringkali tidak dapat mengambil hikmah dari segala macam kisah yang pernah terjadi. Seringnya dijadikan dongeng pengantar tidur, sampai tertimbun selimut dan bantal di pagi harinya. Kisah-kisah itu hanya menjadi hiasan di bibir tanpa merasuk ke hati. Terlebih kisah dan hikmah itu seharusnya menyergap kita setiap waktu.

Kisah seorang kekasih Allah, nabi Ibrahim as., rela serta ikhlas menjalankan segala perintah Sang Nyata. Ia dambakan seorang buah hati bertahun-tahun dalam masa penantian. Ketika tiba dan selesai masa penantiannya, sang buah hati pun diminta dengan cara disembelih. Andai kita hidup pada waktu itu, apa yang akan kita lakukan?

Atau kisah ibu teladan, Siti Hajar. Air zam-zam yang mengalir dari telapak kaki sang buah hati, menandakan kekonsistenan serta ketajaman berpikir jernih seorang hamba. Ia begitu sadar serta yakin, apapun itu, pastilah berasal dari Sang Nyata.

Jaman kita memang telah berubah. Segala ucapan pengorbanan pun tak ayal selalu menyertai segala permasalahan di diri kita. Namun benarkah demikian? Pada kenyataannya, manusia seringnya tak mau kalah pada keadaan, dengan alasan, Allah tak akan merubah nasib seseorang jika manusia itu sendiri tak mau mengubahnya. Manusia pun gemar menghitung-hitung, sudah banyak yang dilakukan, dan tetap merasa aneh, jika masih saja disalahkan. Kita terlampau menganggap remeh arti pengorbanan itu sendiri.

Ketika masa duka menyelimuti, adakah pengorbanan menekan segala perih hati dalam bentuk kesabaran? Ketika masa suka menggelayuti, adakah pengorbanan membuang rasa angkuh, menepuk dada serta lantang bersuara; ’inilah aku’, bisa dilakukan? Lupa, khilaf dan wajar jika ada reaksi, itu selalu kita jadikan tameng.

Disayatnya leher hewan kurban, semoga, beriringan dengan tersayatnya rasa angkuh, sombong, takabur serta menaburkan derita menjadi sebuah cerita untuk minta dikasihani. Dikulitinya pun, dengan menggunakan mata pisau yang paling tajam, setajam kepercayaan kita pada yang menciptakan hewan itu. Percaya, begitu tanpa noda kasih yang diulurkan selama ini. Dan sungguh bukanlah hewan itu yang akan sampai padaNya, ia hanya sebagai alat keikhlasan kita dalam menjalani apa yang dinamakan berkurban. Dan sungguh, ketaqwaan serta nilai spiritual berlebih di dalam berkurban itu yang akan menghampiri tahtaNya paling mulia. Karena apapun itu, berkurban perlu dihayati demikian indah, hingga sampai masa pertemuan dengan-Nya nanti.