Wednesday, September 17, 2008

Malu, Tak Pandai Bersyukur


Kemaren, di beranda seorang tetangga -yang sudah seperti saudara bagi saya-, kami berbincang pada keadaan cuaca di Sengata yang akhir-akhir ini semakin garang saja. Iya, garang. Karena cuaca panas ini telah kami rasakan sejak minggu kedua ramadhan. Dikatakan garang, karena sebelumnya, sejak awal ramadhan, hari-hari diliputi dengan cuaca yang begitu bersahabat, mendung, serta rintik hujan yang semakin deras. Alhasil pada minggu pertama, suasana berpuasa terasa melegakan, bahkan jalanan licin serta berlumpur ke arah luar kota Sengata, yang pagi-pagi telah saya tempuh untuk kegiatan pesantren kilat, tidak mengganggu sama sekali. Semua terasa menyenangkan. Setidaknya bagi sebagian orang.

Tapi ternyata, tidak semuanya merasakan hal yang sama. Ketika saya berbicara dengan salah satu kerabat saya di kota lain. Dia mengeluh hujan selalu turun setiap harinya ketika masuk bulan ramadhan. Segala aktivitasnya terganggu, jemuran tidak kering, serta enggan meninggalkan rumah, jika selalu khawatir akan keadaan yang selalu basah seperti itu.

”Susah deh kita! Mau keluar aja, selalu mikir akan hujan atau tidak, ya?”
”Kamu terlalu berlebih-lebihan...”
”Bukan. Jemuran pada belum kering, menumpuk! Belum rasa malas lain?”
”Apa tuh?”
”Jadi malas buat ngapa-ngapain.”

Saya pun tertegun. Satu sisi, selalu saja ada keluhan akan cuaca panas, membuat gerah untuk beraktivitas, apalagi jika sedang dalam keadaan berpuasa seperti ini. Segala kegiatan sepertinya akan memeras keringat serta memerlukan energi lebih. Namun di sisi lain, cuaca mendung serta hujan justru juga mampu membuat hal yang sama. Keengganan tetap menjadi bagian dari aktivitas dan masih saja menghasilkan rentetan keluhan lain. Pertanyaannya, kalau begitu pada bagian mana yang baik bagi kita? Ketika harusnya hujan turun atau panas menyengat? Apakah kita tahu? Apakah kita berhak?

@@@

Pagi ini, saya terpana. Langit begitu mendung. Angin bertiup sedikit kencang dari biasanya. Suara desau kibasan ranting mulai terdengar sejak adzan subuh bergema. Dan, hujan pun mulai turun semakin deras, disertai guntur yang menggelegar.

Lalu telpon saya berdering;
”Assalamu’alaikum, Mbak Rien,” suara disebrang menyapa saya.
”alaikumussalam, apa kabar?”
”Alhamdulillah, tapi kok hujan gini, ya?”
”Hujan salah, panas salah, yang bener mana ya, mbak?”
Kami pun tertawa malu. Sebagai manusia biasa, kami malu. Malu pada keadaan kami yang selalu menggerutu. Keadaan kami yang tak pandai belajar mensyukuri.

Lalu nikmat-Ku yang mana ingin kau ingkari